KESAH.ID – Pohon asam yang tumbuh jarang-jarang, konon menjadi asal usul dari sebutan Semarang. Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini tumbuh menjadi kawasan permukiman, niaga dan kebudayaan atas pertemuan dari berbagai kebudayaan lewat perniagaan. Jejak pertemuan kebudayaan antara masyarakat lokal dan pendatang atau imigran dari China begitu kuat. Sebagian kuliner khas Semarang yang legend merupakan akulturasi dari kuliner kaum peranakan China.
Pinginnya setelah mudik ke Purworejo beberapa hari akan menyempatkan diri untuk pergi ke ‘Negeri Khayangan’ Wonosobo. Namun ternyata kesempatan itu tak datang, saya urung mampir untuk menghirup aroma belerang di Dieng.
Jalan kearah Wonosobo dari Purworejo hanya dilewati karena mesti segera menuju Semarang, Kota Metro terbesar kelima di Indonesia yang jumlah penduduknya dua kali lebih banyak dari Kota Samarinda.
Semarang terbilang akrab untuk saya sejak kecil, karena teman bermain saat liburan adalah anak Semarang yang datang berlibur ke rumah neneknya di Purworejo. Rumahnya berdekatan dengan rumah saya.
Selain wingko babad dan loenpia, Semarang identik dengan bandeng. Ketika teman kecil saya datang berlibur ke rumah kakek neneknya biasanya datang membawa oleh-oleh bandeng.
Seingat saya, pertama kali saya ke Semarang untuk urusan general check up di Rumah Sakit Elisabeth sebagai syarat untuk masuk sekolah berasrama di Mertoyudan.
Setelah itu saya mampir kesana karena ada kegiatan yang diselenggarakan di kota ini.
Namun setelah tahun 2002, saya terbilang sering ke kota ini karena ada kerabat yang tinggal disana. Hampir setiap tahun saya ke Semarang.
Sama seperti halnya Kota Samarinda, Semarang identik dengan air berlebih saat musim penghujan. Semarang dalam berbagai literatur melekat dengan banjir, sebuah kenyataan yang dengan lugas disampaikan dalam lirik lagu Jangkrik Genggong yakni Semarang kaline banjir atau Semarang sungainya banjir.
Belanda memang pernah menjuluki ibukota Jawa Tengah yang berada di pantai utara Jawa itu sebagai Venetia van Java atau Venesia dari Jawa karena banyaknya anak sungai yang menggalir di kota ini seperti halnya Kota Venesia di Italia.
Semarang yang daerahnya berbukit-bukit dan bagian rendahnya terbentuk karena sedimentasi memang terancam oleh dua banjir yakni banjir karena air laut atau rob dan banjir karena air permukaan di musim penghujan.
Menurut cerita, Semarang bermula dari wilayah pelabuhan di gugusan kepulauan-kepulauan kecil bernama Bergota. Karena sedimentasi, pulau-pulau kecil itu kemudian menyatu dan membentuk daratan baru pada wilayah yang sekarang dikenal sebagai Semarang Bawah.
Daratan yang terbentuk dari pengendapan itu ditumbuhi pepohonan karena kesuburannya. Salah satunya adalah pohon asam yang tumbuh berjarak atau arang dalam bahasa Jawa.
Asem yang arang itu lama kelamaan menjadi sebutan yakni Semarang.
Selain sebutan sebagai Venetia van Java, Semarang juga sering disebut sebagai Port of Java. Sejak jaman kerajaan wilayah Semarang sudah mempunyai pelabuhan. Di pelabuhan itu mendaratlah rombongan Laksamana Cheng Ho pada sekitar tahun 1405.
Mereka waktu itu singgah ke Semarang karena juru mudinya sakit hingga memerlukan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Rombongan Cheng Ho beristirahat di sebuah gua yang kemudian dikenal dengan nama Goa Batu.
Cheng Ho melanjutkan perjalanannya, juru mudi yang tengah memulihkan kesehatan ditinggal dan diberi sebuah kapal untuk menyusulnya. Namun kemudian justru betah tinggal di Semarang.
BACA JUGA : Ketiban Sial
Untuk mengenang Cheng Ho, juru mudi bernama Wang Jing Hong itu kemudian membuat patung dan meletakkannya dalam gua. Kini tempat Cheng Ho pernah singgah dan tinggal kemudian menjadi kelenteng dengan nama Sam Poo Kong.
Di kelenteng ini tersimpan peninggalan Cheng Ho untuk menunjukkan bukti jejak bahwa sang pelaut itu pernah singgah di Semarang. Salah satu peninggalannya adalah jangkar kapal yang dinamakan Kyai Jangkar.
Jejak perjumpaan dengan masyarakat China di Semarang memang cukup menonjol. Selain kaya dengan kuliner hasil akulturasi budaya China dan Jawa, Semarang mempunyai Kawasan Pecinan yang cukup luas.
Permukiman pertama masyarakat China memang dimulai dari kedatangan armada Cheng Ho. Rombongan ini mendarat di kawasan pesisir di daerah Simongan. Setelah itu pendatang lain dari China juga tinggal di daerah itu sehingga berkembang menjadi permukiman.
Peninggalan kawasan itu sebagai pecinan ditandai dengan kelenteng besar yang dikenal sebagai Kelenteng Gunung Batu atau Sam Poo Kong. Posisinya yang dulu di pesisir lama kelamaan menjadi jauh ke daratan karena pendangkalan. Kelenteng Sam Poo Kong berada tak jauh dari Jembatan Banjir Kanal Barat.
Tahun 1742 terjadi pemberontakan dari masyarakat pecinan di Simongan. Mereka kemudian dipindahkan ke kawasan pecinan, kawasan yang kini dikenal sebagai Gang Baru.
Ciri pecinan terlihat dari bangunannya serta perniagaan di sebuah pasar yang dikenal sebagai Pasar Gang Baru.
Di pasar berupa gang panjang ini sejak pagi ramai pedagang yang menjual aneka kebutuhan pangan campuran antara makanan Nusantara dan makanan China serta percampuran antara keduanya.
Walau namanya Pasar Gang Baru namun pasar ini merupakan salah satu pasar tertua di Semarang. Umurnya lebih dari 200 tahun.
Uniknya meski di kawasan pecinan namun banyak kaum pribumi atau masyarakat lokal yang turut berjualan. Hal ini tak lepas dari sejarah kebijakan kolonial Belanda yang mengawasi pecinan waktu itu.
Berada dalam pengawasan yang ketat masyarakat China yang ditempatkan di kawasan pecinan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karenanya mereka mengundang warga pribumi untuk berjualan di kawasan pecinan.
Lapak-lapak masyarakat pribumi yang berjualan sayuran, daging, buah dan lainnya mengambil tempat di depan rumah-rumah orang China, berjejer sepanjang Gang Baru.
Lama kelamaan kemudian terbentuk pasar yang dinamai Gang Baru, pasar tradisional yang ramai di pagi hari.
Kehadiran pasar ini kini menjadi daya tarik tersendiri, selain dikenal sebagai pasar tradisional yang bersih, lokasi dan komoditas yang dijual disana bernuansa estetis. Pasar Gang Baru menarik untuk dikunjungi sebagai salah satu destinasi wisata yang unik.
BACA JUGA : Yogya Gaya
Pada akhir pekan, mulai Jum’at sampai Minggu dari sore hingga malam di ujung Gang Baru, yakni Gang Warung ada juga keramaian. Masih di kawasan pecinan, komunitas warga pecinan menyelenggarakan pasar malam yang disebut sebagai Pasar Semawis.
Pasar malam ini lebih menjual makanan dan minuman jadi, makanan dan minuman terutama yang dihasilkan oleh masyarakat peranakan. Namun ada juga kuliner-kuliner Semarang lainnya yang legend dijual disana.
Pasar Semawis terbilang masih baru, pasar malam ini diinisiasi oleh kelompok bernama Kopi Semawis. Sebuah kelompok yang mempunyai tujuan merevitalisasi kawasan pecinan sebagai kawasan wisata sejarah dan budaya.
Dimulai dari tahun 2004, mulanya bernama Pasar Imlek Semawis karena dirancang untuk menyambut tahun baru Imlek.
Namun karena sambutan masyarakat yang antusias, Pasar Semawis akhirnya digelar setiap akhir pekan dan kemudian menjadi salah satu ikon kuliner dan wisata baru di Semarang.
Kawasan yang mempunyai 11 kelenteng ini memang tepat menjadi destinasi wisata budaya dan sejarah karena kekhasannya. Berada tak jauh dari Kota Lama Semarang, kawasan pecinan yang mempunyai beberapa gang yang populer ini juga dihiasi oleh rumah-rumah tua dengan arsitektur yang khas yakni atap berbentuk pelana kuda.
Pusat loenpia pertama di Semarang juga berada di salah satu gang di kawasan ini yakni Gang Lombok.
Mengenal Semarang dalam seharian bisa dilakukan di kawasan pecinan yang dibagi menjadi tiga daerah yakni Pecinan Lor, Pecinan Kidul dan Pecinan Wetan ini. Pagi dan sore atau malam hari kehidupan disini bisa dinikmati lewat pasar tradisional dan pasar malam.
Siangnya bisa melipir sebentar untuk mengunjungi Kelenteng Sam Poo Kong yang dihiasi patung Cheng Ho dalam ukuran yang sangat besar. Setelah itu bisa pergi menikmati kawasan Kota Lama yang mempunyai peninggalan arsitektur kolonial Belanda yang sebagian masih utuh dan menunjukkan kemegahannya.
Semarang kaline masih tetap banjir sebab banjir memang tak bisa diusir. Tapi penataan kawasan air di Kota Semarang nampaknya dilakukan dengan sangat serius. Banjir kanal diberi ruang air yang sangat luas sehingga air yang berlimpah kiriman dari bukit-bukit di Semarang tatkala hujan bisa diatur agar tak berkumpul di satu tempat dalam waktu bersamaan.
Dan Semarang juga getol merevitalisasi jejak pertemuan antar komunitas yang kemudian meninggalkan jejak kebudayaan. Wilayah Kota Lama, Kauman dan Pecinan yang terhubung sebagai wilayah silang budaya kini menjadi salah satu ikon budaya Semarang karena kesalingleburan sebagaimana nampak dalam berbagai wujud kuliner legendaris Semarang.
note : sumber gambar – IDNTIMES