KESAH.ID – Untung saja pilkada Kaltim 2024 urung diikuti oleh kotak kosong. Namun Kota Samarinda sebagai ibukota provinsi Kaltim tak bisa menghindarkan diri dari kotak kosong. Kota yang melabeli diri sebagai pusat peradaban ternyata gagal membangun adab demokrasi. Elemen-elemen demokrasi yang punya hak dan kewajiban untuk memajukan calon pemimpin ternyata tak cukup punya nyali untuk bertarung dalam kontestasi. Demokrasi telah dibajak oleh mereka yang ketagihan kekuasaan, karena kuasa itu indah.
Dalam bahasa aslinya, Karl Max menyatakan “Die Religion ….. ist das Opium des Volkes”. Yang dalam terjemahan bahasa Indonesia artinya Agama …. adalah opium bagi masyarakatnya.
Lewat pernyataan ini Karl Max mengambarkan cara kerja agama seperti opium pada orang sakit atau cidera. Yakni mengurangi rasa sakit dan memberi ilusi yang menyenangkan.
Namun pernyataannya kemudian dipelintir dan lebih sering diartikan sebagai “Agama adalah candu”.
Maknanya kemudian bergeser kearah kecanduan.
Walau begitu intepretasi ini kemudian secara kebetulan memang mengungkapkan realita dalam masyarakat. Bahwa kecanduan terhadap agama memang ada.
Manusia memang mudah kecanduan atau ketagihan terhadap sesuatu yang mengenakkan, menyenangkan, menenangkan dan lainnya.
Hal-hal yang bisa memberi sensasi pada diri selalu diinginkan kembali, terus menerus bahkan kalau bisa sampai mati.
Maka tak heran pula jika ada yang mengatakan kuasa adalah candu.
Enaknya kekuasaan itu melebihi kekayaan. Maka kaya dan sekaligus berkuasa sungguh tiada duanya.
Seorang teman yang sudah almarhum pernah memberikan gambaran soal kaya dan berkuasa kepada saya.
Katanya, seorang yang tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia tetap kalah terhadap orang yang punya kuasa. Orang kaya bisa saja pulang pergi melalui jalan dengan pengawalan, tapi tetap tak bisa menutup jalan atau melawan arah. Sementara penguasa bisa.
Bahkan ketika menjadi penguasa tertinggi, bandar udara sekalipun bisa ditutup olehnya. Penerbangan lain akan dialihkan atau menunggu dengan putar-putar di udara.
Baru-baru ini Sekjen Partai Keadilan Sejahtera mengatakan “Kekuasaan itu indah, kawan-kawan,”
Kita semua tahu selama sepuluh tahun terakhir ini PKS menempatkan diri sebagai partai non pemerintah, tidak bergabung dengan pemenang pemilu. Alhasil PKS tidak mempunyai menteri dalam kabinet, tidak mendapat jatah ini dan itu.
Karena tak berada dalam lingkaran kekuasaan, rompi yang dipakai oleh kader PKS menyebabkan kepanasan.
Sekjen PKS kemudian memastikan jika berkuasa nanti maka rompi yang diberikan akan lebih ‘gila’ modelnya.
Benar memang kekuasaan itu indah, sehingga banyak yang ingin berkuasa atau ikut serta.
Di Indonesia representasi kuasa adalah candu mewujud lewat koalisi dalam pemilu. Yang ingin berkuasa kemudian menyatukan banyak partai, semua diborong agar lebih gampang memenangkan pemilu.
Dan setelah pemilu, yang kalah selalu diberi kesempatan untuk bergabung dengan yang menang.
Paska pemilu 2024, Partai Nasdem, PKB dan PKS pun merapat ke Koalisi Indonesia Maju yang berhasil memenangkan Prabowo – Gibran. KIM kini dikenal sebagai KIM Plus.
Meski indah kekuasaan itu selalu rawan. Pohon yang kekarpun selalu bisa ditebang.
Namun KIM sudah vaksinnya yakni pengalaman dari sesepuhnya selama 10 tahun menguji rumus sederhana bagi kue.
Kue kekuasaan yang dibagi-bagi terbukti ampuh. Bahkan hampir membuat kursi kekuasaan diperpanjang.
BACA JUGA : Yogya Gaya
Ligna sebuah merek mebel pernah terkenal dengan branding “Kalau sudah duduk susah berdiri,”.
Iklan mebel ini relevan sekali dengan kekuasaan. Duduk di atas kursi kekuasaan memang membuat seseorang susah untuk meninggalkannya.
Jarang sekali seseorang yang berhasil duduk di kursi Wakil Rakyat, Bupati, Walikota, Gubernur atau Presiden tidak mencalonkan diri kembali. Andaikan pencalonannya kembali bakal terhambat maka selalu dicari jalan lain agar tetap bisa terlaksana.
Wakil Rakyat biasa akan pindah partai atau bahkan pindah level. Seperti yang sedang duduk di kursi DPRD Provinsi kemudian mencalonkan kembali untuk bertarung di kursi DPRD Kota atau Kabupaten. Tak peduli anggapan soal turun kelas, yang penting peluang menangnya lebih besar.
Menjelang pilkada serentak 2024 ada yang menarik di Kalimantan Timur. Para petahana yang terancam tidak diusung atau didukung oleh partai atau gabungan partai yang menghantar ke kursi kekuasaan kemudian berjaga-jaga dengan mendaftarkan diri sebagai calon dari jalur perseorangan.
Petahana Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim yang tetap berpasangan membuat posko-posko pengumpulan dukungan. Walau pada akhirnya ternyata tidak jadi mendaftar.
Dan setelah itu berbulan-bulan berada dalam ketidakpastian bahkan terancam tak bisa maju karena partai-partai hampir berhasil diborong semua oleh calon lawan.
Beruntung menjelang tikungan akhir, dua partai yakni PDIP dan Partai Demokrat memberikan tiket. Pasangan Isran Noor dan Hadi Mulyadi berhasil mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Kaltim 2024.
Pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur 2024 urung diikuti oleh kotak kosong.
Dan tagline serta slogan “Pahamlah Ikam” kembali bergema.
Sementara untuk pilkada Kota Samarinda sebagai ibukota Kaltim, sejak semula adem ayem saja. Petahana yang mengandeng salah satu penasehat terdekatnya mendaftarkan diri di jalur perseorangan.
Pendaftaran ini seperti mengunci jalur.
Partai bukannya berlomba mencari figur untuk didaftarkan sebagai calon walikota, namun malah sibuk menyodorkan calon wakil wali kota. Sementara kursi calon walikota justru ditawar-tawarkan ke petahana untuk maju melalui jalur partai.
Keputusan MK soal ambang batas tak menarik partai untuk memajukan calonnya sendiri.
Partai nampaknya terkunci oleh hukum besi pemilu, karena menjelang tahapan pilkada lembaga konsultan politik telah mengumumkan hasil survey tingkat kepuasaan warga terhadap petahana yang luar biasa tinggi.
Meski bukan rumus fisika atau matematika, namun tingkat kepuasaan warga yang tinggi selalu menjadi alarm bagi lawan bahwa petahana susah dikalahkan terkecuali sang lawan punya tawaran perubahan yang luar biasa.
Pemilu presiden 2024 memberi pelajaran, calon yang dianggap sebagai penerus dari presiden yang tingkat kepuasan masyarakat terhadapnya begitu tinggi bisa memenangkan pemilu dengan mudah.
Yang membawa tawaran perubahan memang cukup mendapat suara, namun jauh untuk menang. Dan bahkan setelah pemilu, pembawa isu perubahan terus dihabisi secara politik.
BACA JUGA : Semarang Seharian
Di KPU Samarinda yang mendaftar lewat jalur partai dan jalur perseorangan adalah satu calon walikota yang sama, hanya beda calon wakil walikotanya.
Dan sejak semula petahana walikota Samarinda menyatakan jika dicalonkan oleh partai maka akan memilih jalur partai. Pendaftaran di jalur perseorangan akan dibatalkannya.
Ternyata partai-partai parlemen maupun non parlemen di Kota Samarinda tak punya nyali. Merekapun merapat ke petahana walikota, yang coba menggalang kekuatan untuk mencalonkan calonnya sendiri tak mencukupi ambang batas suara yang sudah direndahkan oleh MK.
KPU Samarinda terus berupaya memunculkan calon lain dengan membuka kembali pendaftaran calon walikota dan wakil walikota lewat jalur perseorangan. Namun tetap tak ada yang mendaftar.
Dengan telah dilakukannya tahap penentuan nomor urut untuk pilkada Kota Samarinda 2024, maka pemilihan kepala daerah Kota Samarinda akan melawan kotak kosong.
Kotak kosong mendapat nomor urut 1 dan Andi Harun – Saefuddin Zuhri mendapat nomor urut 2.
Pahamlah ikam, kalau pilkada melawan kotak kosong itu artinya omong kosong.
Omong kosong karena kotak kosong jelas bukan lawan yang sepadan. Kotak kosong tidak punya visi misi dan tak bisa berkampanye untuk meraup suara atau pemilih.
Bahwa pernah ada kisah kotak kosong menang, tapi itu anomali atau kelainan. Pada umumnya kotak kosong jelas-jelas akan kalah.
Yang paham kemudian akan melawan. Memang mulai ada sedikit gerakan yang muncul untuk memenangkan kotak kosong. Namun gerakan ini masih bersifat sporadis dan belum terkonsolidasi dengan baik.
Sedangkan sang lawan kotak kosong sudah bergerak masif dengan buzzer dan influencer yang sejibun jumlahnya. Mereka menguasai ruang darat dan ruang udara, termasuk ruang media massa.
Gerakan memenangkan kotak kosong demi menjaga demokrasi agar tidak dikooptasi oleh penguasa menjadi sebuah tantangan besar untuk mengkonsolidasi diri dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Menyelamatkan demokrasi selalu berpacu dengan waktu dan jaminan logistik yang rendah. Para pembajak demokrasi paham hal itu sehingga mereka selalu tenang-tenang saja menunggangi demokrasi agar tetap nyaman duduk di kursi kekuasaan, karena kekuasaan adalah candu.
note : sumber gambar – MEDIAKALTIM