KESAH.ID – Bertumbuh dari kawasan tepian aliran sungai, Kota Samarinda kemudian berkembang sebagai kota dengan konsepsi daratan. Area tepian sungai kemudian dianggap sebagai area kumuh dan penuh dengan hal yang seba ilegal. Tepi sungai kemudian menjadi fokus normalisasi lewat pembersihan area dari permukiman untuk kemudian dibangun menjadi ruang terbuka hijau yang sebagian difungsikan sebagai ruang ketiga, ruang interaksi warga selain di rumah dan diruang kerja. Akankah upaya ini bisa mengembalikan budaya air yang pernah menjadi dasar tumbuh kembangnya Kota Samarinda?.
Yang selalu ketiban sial dari berkembangnya sebuah kawasan permukiman yang kemudian menjadi kota besar pastilah rakyat kecil. Bisa saja disebut sebagai orang lokal atau malah masyarakat adat.
Sebagai yang telah beranak pinak dalam waktu yang lama di sebuah tempat; budaya, kebiasaan dan adat istiadat termasuk pola penghidupan mereka sudah mapan. Tak mudah untuk move on tatkala arus baru melanda daerah itu.
Geliat ekonomi atau industri baru selalu datang dari luar. Masyarakat tempatan selalu saja tidak siap mengantisipasi, ikut serta di dalamnya hingga mereka kemudian terpinggirkan.
Perkotaan di Kalimantan Timur umumnya berkembang dari permukiman di tepian sungai. Namun setelah jaman kemerdekaan ekonomi dan infrastruktur yang berkembang mengikuti cara dan kebiasaan di Jawa. Paradigma pembangunannya bernuansa daratan.
Masyarakat pendatang yang membuat Samarinda berkali-kali mengalami booming penduduk karena era industrialisasi, membawa kebiasaan dan budaya permukimannya masing-masing. Perlahan wajah arsitektur dan lingkungan permukiman di Samarinda berubah.
Dari tepian sungai, permukiman berubah ke arah daratan bahkan merangsek hingga perbukitan.
Rumah yang tadinya disangga tiang kemudian menjadi rumah beralaskan pondasi.
Lahan basah, area cekungan yang selalu tergenang diuruk menjadi daratan untuk tapak permukiman. Rawa menjadi nama perumahan, entah Rawa Sari, Rawa Indah maupun Rawa Makmur.
Permukiman pinggir sungai bukan area premium lagi. Rumah yang bergengsi adalah rumah-rumah yang berada di tepi jalan raya.
Yang tetap tinggal di tepian sungai lama-lama termarjinalkan. Permukiman pinggir sungai selalu dianggap sebagai daerah slum area, atau kawasan kumuh.
Ya permukiman pinggir sungai menjadi kumuh karena tak disentuh pembangunan. Pemerintah umumnya berpikiran yang tinggal di pinggir sungai harus disingkirkan, terkecuali kalau itu adalah hotel atau pusat perbelanjaan dan rumah ibadah.
Kisah keberhasilan pembangunan, janji-janji politik sewaktu pemilu tak terwujud di tepian sungai. Gang, jalanan, sumber air dan sumber energi lainnya berantakan.
Kisah permukiman pinggir sungai kemudian menjadi narasi kesialan beruntun. Di musim hujan kebanjiran, di musim panas gerah dan sering memerah karena dilanda kebakaran hebat. Dan sepanjang hari entah musim panas atau hujan selalu didera cemas akan tibanya saat gusuran.
Tata kelola ruang atau lahan memang tak berpihak pada rakyat jelata.
Permukiman di pinggir sungai selalu dituduh tak sesuai peruntukan. Walau mereka berada di sana karena tugas sejarah, budaya dengan segala kesejarahannya tak dianggap menjadi bagian penting dari kebijakan ruang dan wilayah.
Telah berada turun temurun mereka yang bermukim di pinggir sungai dianggap sebagai penyerobot ruang air, mengokupasi ruang sungai. Selain dituduh menjadi pencemar air sungai, penyebab banjir, mereka juga dianggap sebagai pencoreng wajah kota.
Atas nama program mengatasi banjir, mereka kemudian diusir agar sungai bisa di-normal-isasi. Sungai dikeruk, dilebarkan, kelokan diluruskan, dibendung dan ditembok atau diturap kanan-kirinya
Atas nama membangun peradaban, ruang kanan-kiri sungai yang semestinya menjadi ruang ekologi, ruang perlindungan dan keamanan sungai kemudian ditata dengan konsep estetik.
BACA JUGA : Kamisan Yogya
Ruang-ruang hasil gusuran di pinggir sungai secara konsepsual dalam berbagai dokumen akan dikembangkan menjadi Ruang Terbuka Hijau yang kemudian disertai dengan Jalan Inspeksi untuk melakukan pengawasan atau monitoring sungai.
Namun konsep green development pada prakteknya kerap menjadi grey development. Ruang terbangun yang dibersihkan dari bangunan kemudian dibangun lagi. Unsur hijaunya tak beda jauh dengan kondisi sebelumnya. Perkerasan lahan atau permukaan di area bekas gusuran pinggir sungai ternyata juga masif.
Pengusuran permukiman pinggir sungai yang dilandasi oleh semangat ecosentris kemudian mewujud dalam proyek-proyek yang antroposentrik.
Antroposentrik karena tujuannya lebih untuk mengembangkan ruang ketiga di sebuah kota yang tak mampu menjaga lapangan, alun-alun atau banyak ruang publik terbuka lainnya karena lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur.
Lahan adalah komoditas, hingga kemudian lahan publik yang tersisa adalah pinggir sungai. Bukit menghijau dimatangkan menjadi perumahan, rawa-rawa ditimbun menjadi daratan, lapangan menjadi tempat mendirikan bangunan dan bahkan kuburan, tempat tulang belulang bersemayam pun juga tak aman dari rencana pemindahan.
Dibangun dengan uang publik, ruang-ruang gusuran di pinggir sungai yang dibangun kembali dalam konsep estetika kota berperadaban ketika proyek selesai akan disebarkan berbagai citra yang seolah merubah wajah kota.
Gambar dan narasi serba wow akan bertebaran di dunia virtual. Narasi memuji-muji dan melambungkan harapan itu lupa kalau dibalik semua itu ada sekelompok rakyat yang tertimpa sial karena terusir dari ruang hidup dan penghidupannya.
Tapi begitulah sebuah kota, walau mengusung slogan sebagai pusat peradaban selalu pintar menyembunyikan kekejaman paradigma dan kebijakan.
Dan benarkah area yang direncanakan menjadi ruang ketiga itu sungguh-sungguh akan menjadi pusat interaksi warga kota yang sesungguhnya?.
Ada banyak area tepian sungai yang dinormalisasi kemudian disulap menjadi taman dengan segala namanya. Hanya saja taman-taman itu umumnya menjadi ramai di sore dan malam hari, pagi dan siang sepi. Di taman-taman itu juga dibangun amphiteater, ruang berpanggung yang bisa dipakai untuk pertunjukan.
Seingat saya dulu sebelum taman tepian depan Kantor Gubernur Kaltim direnovasi, ruang amphiteaternya malah diduduki pedagang untuk jualan.
Kisah-kisah taman di tepian kemudian bukan tentang kebudayaan, tentang peradaban dan perkembangan ekonomi kreatif lainnya melainkan tentang keributan dengan tukang parkir, keributan antar pengunjung, pengamen yang mengganggu dan aksi-aksi kriminal lainnya.
Tepian sungai yang ‘diperadabkan’ lewat pembangunan tak begitu saja merubah imagi atau citra tepian yang sekian lama dibiarkan berantakan.
Ruang ketiga yang beradab memang menjadi tantangan dari kota-kota yang warganya makin hari makin bergegas berlomba-lomba mempertahankan hidupnya. Jalanan mulai dari jalan utama hingga gang-gang yang selalu riuh dan sibuk membuat tekanan hidup ada di mana-mana. Warga butuh ruang alternatif untuk melepaskan itu semua.
BACA JUGA : Marc Mandalika
Air dimanapun selalu memanggil. Sungai, danau, pantai dan rawa adalah destinasi yang menarik perhatian. Dan Kota Samarinda mempunyai modal besar karena berada di tepian aliran Sungai Mahakam, salah satu sungai permanen di Indonesia.
Air Mahakam memang tak jernih sebagaimana imaji kebanyakan orang. Tapi tetap saja ketenangan dan keluasan airnya menarik perhatian.
Di luar itu, peradaban besar Kalimantan Timur juga dibangun oleh Mahakam. Selain budaya hutan, Kalimantan Timur juga kaya dengan budaya air.
Upaya untuk menata kawasan tepian sungai menjadi ruang ketiga, ruang bertemu komunitas setelah rumah dan tempat kerja patut diacungi jempol. Langkah ini merupakan langkah yang benar karena masyarakat memang butuh ruang terbuka, ruang yang setara untuk mengada bersama.
Hanya saja imaji tentang ruang ketiga kerap tak berpijak pada paradigma setempat, ekologi lingkungan dan budaya yang telah tumbuh berabad-abad ditempat itu. Penataan ruang selalu melakukan lompatan karena imaji visi dan misi penguasa yang berpadu dengan kegenitan para perancangnya.
Ruang ketiga bukan menghadirkan ruang yang hilang dan dirindukan masyarakat. Melainkan menghadirkan ruang baru yang kemudian kerap sarat dengan ‘produktifitas’, nuansa ekonomi yang kuat sekali.
Dari ruang-ruang ini pemerintah ingin menghasilkan uang, uang dengan cara yang paling gampang yakni pungutan.
Ruang ketiga yang seharusnya merupakan ruang nyaman, aman dan gratis tidak sepenuhnya terwujud. Ruang bersyarat ini kemudian tak mungkin setiap waktu diakses oleh semua orang secara setara.
Padahal adalah tuga pemerintah atau tugas negara untuk menyediakan ruang ketiga sebagai ruang terbuka dan setara yang bisa diakses oleh semua warganya sewaktu-waktu.
Kota Samarinda mendeklarasikan diri sebagai Kota Peradaban dan pembangunan ruang ketiga bisa menjadi jalan untuk membangun peradaban baru di Kota Samarinda. Peradaban yang berpijak pada kondisi geohidrologi yang telah melahirkan kota ini sebagai kota yang berbudaya air.
Akankah gencarnya upaya Kota Samarinda menata kawasan tepian sungai bakal membawa Samarinda kembali menjadi kota dan masyarakat yang berbudaya air dengan menghormati serta menghargai sungai sebagai air kehidupan?.
note : sumber gambar – RRI