KESAH.IDKecenderungan munculnya kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah menjadi sebuah penanda bahwa demokrasi terus dikikis oleh serangkaian manipulasi politik yang sedemikian telanjang namun sulit dihentikan karena tak ada norma-norma hukum yang dilanggar.  Seorang calon yang dengan sengaja menutup peluang munculnya lawan atau menang jauh sebelum pencoblosan jelas tak bisa dianggap sebagai yang terbaik karena tidak ada pembandingnya.

Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Timur 2024 terancam melawan kotak kosong. Berita tentang hal ini sangat ramai karena dari tiga kandidat yang awalnya menguat, satu orang telah menyatakan tak akan melanjutkan, sementara satu orang lainnya seperti kesulitan untuk mendapatkan dukungan dari partai.

Hanya ada satu kandidat yang lewat postingan resmi maupun tidak resmi terlihat berakrab ria dengan para petinggi partai di Jakarta. Kita semua tahu soal Pemilu Kepala Daerah, apapun dan seberapa kuat dukungan dari daerah tetap saja yang menentukan rekomandasi adalah Ketua Umum Partai di Jakarta sana.

Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2015 hingga sekarang, tren pasangan calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat. Tahun 2020 lalu ada 25 pasangan calon kepala daerah melawan kotak kosong di seluruh Indonesia.

Pada pemilu kepala daerah serentak 2024 ini untuk Kalimantan Timur saja potensi kandidat pasangan calon melawan kotak kosong bisa terjadi di pilkada tingkat provinsi Kaltim, Kota Samarinda, Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Memang hal ini baru merupakan tenggara namun bukan tak mungkin hal itu akan terjadi karena kandidasi nampaknya bukan merupakan prioritas bagi kebanyakan partai.

Bisa dikatakan partai-partai di Kalimantan Timur gagal melakukan tugas pokoknya yakni mempersiapkan calon pemimpin. Tugas pendidikan politik dan pengkaderan tidak berjalan dengan baik sehingga partai kesulitan mencari kadernya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.

Akhirnya partai-partai cenderung hanya menawarkan perahu untuk dipakai oleh calon atau pasangan calon dari partai lainnya. Partai menjual putus dukungan.

Dengan peluang seperti itu maka akan muncul kandidat atau calon pasangan yang kemudian bisa memborong mayoritas dukungan dari partai dan tidak menyisakan dukungan yang cukup untuk kandidat pasangan yang lain.

Bacaan atas kemungkinan ini sebenarnya sudah dilihat oleh beberapa calon, sehingga ada yang lebih dahulu memasang kaki melalui jalur independen.

Isran Noor dan Hadi Mulyadi, sebelum tahapan pilkada berlangsung telah aktif mengumpulkan dukungan dari masyarakat Kaltim, telah dibentuk beberapa posko untuk menggalang dukungan dari masyarakat namun ternyata urung mendaftar.

Yang mendaftar melalui jalur independen justru petanahana Walikota Samarinda dan Bontang.

Tanda-tanda membangun skenario melawan kotak kosong dalam Pilkada Kaltim 2024 sebenarnya sudah terlihat lewat pernyataan yang sering diucapkan oleh salah seorang kandidat untuk melanjutkan koalisi pilpres 2024 ke pilkada 2024.

Partai besar dan menengah kemudian diborong. Menyisakan hanya satu partai besar dan partai kecil yang memungkinkan untuk mengajukan calon lainnya.

Namun sang pemborong partai tetap juga menggoda partai tersisa untuk bergabung, membangun koalisi besar bahkan besar sekali.

Akibatnya satu calon pasangan kandidat yang tersisa seperti kesulitan untuk memperoleh kepastian memperoleh tiket untuk maju dalam kontestasi pilkada Kaltim 2024 ini.

BACA JUGA : Narasi Maritim

Melawan kotak kosong memang dimungkinkan, tidak ada undang-undang atau peraturan yang dilanggar oleh situasi ini. Tapi jelas situasi ini bukanlah situasi yang ideal untuk demokrasi mengingat sejak reformasi kita telah memilih untuk membangun demokrasi multi partai.

Jumlah partai setelah reformasi melonjak dari  ajeg 3 partai di masa orde baru menjadi puluhan partai yang jumlahnya bertambah banyak menjelang pemilu.

Tak pelak lagi Indonesia kemudian menjadi negara paling demokratis, dalam soal partai lebih maju dari Amerika Serikat. Sebab negeri kampium demokrasi itu dari dulu partainya hanya dua, Demokrat dan Republik.

Tapi demokrasi mudah terkikis.

Lewat buku How Democracies Die {2018}, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengingatkan soal itu. Mereka berdua mengatakan demokrasi sering mati perlahan-lahan oleh pengikisan secara bertahap terhadap norma-norma politik dan institusi.

Dalam kasus Indonesia ambil contoh saja soal istilah koalisi dan oposisi. Istilah ini sebenarnya tidak kontekstual untuk demokrasi kita karena sistem yang kita pilih adalah presidensial. Tapi dalam perbincangan sehari-hari, politik kita seperti politik parlementer.

Gara-gara tak mau repot dalam pemilu karena pemilu akan berlangsung dua putaran, partai-partai kemudian membatasi siapa yang boleh mencalonkan lewat electoral threshold. Hasilnya partai cenderung tidak ngotot untuk mengajukan calon melainkan mencari sekutu yang lebih besar kemungkinannya memenangkan pemilu.

Kaderisasi kemudian terkikis karena yang dicalonkan bisa saja bukan orang partai, mirip kelakuan tim sepakbola nasional kita yang gemar melakukan naturalisasi untuk mengejar prestasi.

Cara instan inilah yang kemudian dipakai oleh partai. Yang diandalkan bukan lagi pemahanan terhadap ideologi, platform atau visi misi partai melainkan ketokohannya.

Di dalam pemilu presiden yang baru lalu, Gibran Rakabuming Raka adalah contohnya.

Pencalonan Gibran yang adalah kader PDIP oleh Golkar menjadi salah satu contoh nyata pengikisan demokrasi secara legal. Yang dilibatkan untuk mengurangi nyawa demokrasi bukan hanya partai tetapi juga institusi negara yakni Mahkamah Konstitusi.

Dan jika ditelisik lebih jauh maka Presiden termasuk sebagai yang terlibat juga. Karena sengaja tak sengaja, langsung tidak langsung, Presiden turut memuluskan jalan bagi Gibran untuk maju dalam kontestasi pemilu presiden 2024 yang lalu.

Jauh-jauh hari sebelum tahapan pemilu mulai memanas, Presiden kerap menyuarakan keinginannya agar pemilu berlangsung dalam satu putaran. Ada beberapa alasan, misalnya soal keamanan dan persatuan bangsa. Pemilu sebelumnya memang membuat masyarakat terpecah-pecah.

Alasan berikutnya tentu anggaran. Pemerintah atau negara ingin pemilu berlangsung cepat agar tak membuang banyak uang. Keinginan ini tentu diamini oleh partai-partai, karena kalau pemilunya berlarat-larat kantong mereka juga bakal kering kerontang.

Dan lembaga-lembaga riset atau penelitian politik kemudian terlibat. Ada proses perception engineering untuk mewujudkan keinginan presiden. Dan betul pemilu yang diikuti oleh 3 pasangan kandidat presiden dan wakil presiden ternyata berhasil berlangsung dalam satu putaran.

BACA JUGA : Meneer Palsu

Sat-set adalah slogan yang dipakai oleh pasangan Ganjar – Mahfud tapi kalah. Hanya saja slogan ini nampaknya dipakai oleh mereka yang akan maju dalam pilkada serentak 2024 ini.

Beberapa sosok menjadi sangat sat- set untuk mengumpulkan dukungan, aktif sekali. Hari-harinya diisi dengan silaturahmi dengan partai ini dan partai itu, ditingkat daerah dan nasional sampai lupa kalau sedang punya tanggungjawab sebagai wakil rakyat.

Menang satu putaran menjadi sebuah keharusan.

Hanya saja kemenangan satu putaran akan jauh lebih gampang jika tak punya lawan. Dengan melawan kotak kosong seorang kandidat sudah menang duluan sebelum pemilu.

Bahwa benar bisa saja kotak kosong menang, tapi amat jarang. Kotak kosong menang itu adalah pengecualian, bukan hal yang normal.

Kalau seorang kandidat kalah melawan kotak kosong jelas hal itu merupakan tanda ketololan. Entah yang tolol dirinya atau tim-nya.

Kandidat yang melawan kotak kosong jelas leluasa karena lawannya adalah benda mati. Benda mati tak punya logistik. Sementara kandidat dengan logistiknya bisa lebih leluasa mempengaruhi calon pemilihnya. Tak perlu kampanye, perbanyak saja berbuat ‘baik’ dengan mengunjungi, bersilaturahmi dan membagi ini itu untuk pemilihnya. Dari situ saja seorang kandidat akan terlihat jauh lebih baik dari kotak kosong yang hanya bisa diam bengong.

Namun membiarkan sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah diikuti oleh kotak kosong menandakan demokrasi kita tak lebih dari omong kosong.

Kita mempunyai hampir semua infrastruktur untuk mewujudkan demokrasi. Jika kemudian pemilu diikuti oleh kotak kosong sebagai lawan maka kerja-kerja demokrasi dari lembaga atau institusi-institusi ini patut dipertanyakan.

Politik boleh saja penuh dengan omong kosong, tapi jika pilkada kemudian diikuti oleh kotak kosong maka omong kosongnya menjadi penuh dengan kebohongan.

Menang dalam kontestasi melawan kotak kosong sejatinya bagai raja duduk di tahta dengan mahkota palsu. Posisi yang direbut atau dimenangkan dalam kontestasi menjadi kurang legitimasi, tidak tervalidasi dengan kuat.

Setolol apapun seseorang yang menang melawan kotak kosong, tetap akan lebih terlihat pintar di mata masyarakat pemilihnya karena bandingannya adalah benda mati.

Tak ada politik jika pilkada berlangsung dengan melawan kotak kosong.

Pergi ke TPS untuk memilih diantara dua kolom dimana salah satunya kosong adalah penghinaan untuk akal sehat. Kenapa harus memilih kalau salah satunya jelas bukan pilihan.

Oleh karenanya pilihan saya sudah jelas, saya akan memilih akal sehat dengan cara memilih untuk tidak memilih.

note : sumber gambar – KOMPAS