KESAH.ID – Ancaman paling nyata yang mengerogoti pondasi pendidikan tinggi adalah sikat atau watak dari para elitnya baik di dalam instusi maupun di dalam pemerintah yang tidak punya integritas akademik yang tinggi. Marwah pengajar tertinggi yakni guru besar, tuan guru atau meneer dijebol oleh kepentingan politik, sosial dan kultural yang menganggap jabatan guru besar sebagai kehormatan, gengsi atau level sosial atas ketimbang pencapaian akademis lewat jam mengajar, penelitian bermutu dan pengabdian masyarakat yang dalam.
Dua kata yang punya tempat khusus di memori saya ialah Meneer dan Enci. Bukan karena biasa mendengar merek jamu Nyonya Meneer, atau karena biasa memanggil penjualnya dengan sebutan Tacik.
Dua kata ini menjadi istimewa ketika saya tinggal di Minahasa, tepatnya di Pineleng daerah perbatasan antara Kota Manado Dan Kabupaten Minahasa {Induk}.
Disana untuk pertama kali saya mendengar sebutan Meneer bagi guru laki-laki dan sapaan Enci untuk guru perempuan.
Dalam bahasa Belanda, meneer adalah sebuah untuk laki-laki dewasa yang terhormat. Mungkin padanannya dalam bahasa Indonesia adalah tuan.
Sedangkan Enci bukan berasal dari bahasa Belanda melainkan diserap dari bahasa China. Enci artinya kakak perempuan.
Fakta ini menjadi menarik untuk saya karena sebutan untuk guru berasal dari dua bahasa yang berbeda dan artinya juga sangat berbeda. Meneer sebutan untuk guru laki-laki punya nuansa hormat, sementara Enci sebutan untuk guru perempuan punya nuansa kedekatan.
Dan sebutan Meneer dan Enci ini berlaku mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Di Universitas Sam Ratulangi tempat saya sering ikut nongkron bareng mahasiswa saya mengenal baik beberapa meneer dan encinya.
Kenapa dua kata yang berasal dari bahasa berbeda itu kemudian menjadi sebutan untuk guru, di Sulawesi Utara?.
Konon Manado dulu di jaman kolonial dipimpin oleh Belanda namun pembangunan infrastrukturnya banyak dikerjakan oleh masyarakat China. Masyarakatnya kemudian terbiasa berinteraksi dengan orang Belanda dan China yang kemudian kata-katanya banyak diserap dalam bahasa sehari-hari orang Minahasa dan Manado.
Meneer adalah sebutan untuk pemimpin atau yang dipertuan, sementara Enci {cici, tacik} adalah sebutan untuk saudara yang lebih tua. Dan kemudian kata ini menjadi sebutan untuk guru hingga dosen dalam konteks sebagai orang yang dihormati.
Guru, dulu merupakan profesi yang sungguh dihormati. Maka seseorang sering memanggil guru dengan sebutan Tuan Guru.
Saya ingat waktu kecil dulu ketika banyak orang bertamu ke rumah. Ketika mereka mengetuk pintu dan saya datang membukakan, beberapa diantaranya kerap bertanya “Kanjeng Romo ada?”
Bapak saya sering dipanggil Kanjeng Romo karena berprofesi sebagai guru. Bahkan gurunya para guru karena bapak mengajar di SPG, Sekolah Pendidikan Guru.
Guru sebagai sosok yang dihormati tercermin dalam kerata bahasa, dimana guru kerap diartikan sebagai ‘Yang digugu dan ditiru’.
Raden Mas Soewardi Soerjodiningrat, Bapak Pendidikan yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara kemudian membuat semboyan pendidikan “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
Menurutnya seorang guru atau pendidik di depan harus bisa menjadi panutan, pemimpin atau suri tauladan, di tengah harus bisa membangun atau membangkitkan semangat dan di belakang harus bisa mengikuti sambil memberikan dorongan atau motivasi.
Dengan demikian figur seorang pendidik atau guru adalah seseorang yang dapat menjadi pemimpin yang baik karena menjadi suri tauladan atau panutan, mampu menggugah semangat, niat dan memberikan dorongan moral bagi masyarakat sekitar agar menjadi lebih baik. Menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama dan lingkungan.
BACA : Jorge Mumet
Dalam dunia akademik, gurunya para guru juga mendapat penghormatan yang sangat besar. Seorang pendidik di perguruan tinggi akan mengejar gelar guru besar untuk membuktikan kualifikasinya sebagai seorang pengajar atau peneliti.
Guru Besar atau Tuan Guru bukanlah gelar strata pendidikan karena telah menamatkan mata kuliah dalam tingkatan tertentu. Guru Besar adalah soal pengalaman, perjalanan panjang dalam pengajaran dan penelitian. Pengalaman mengajar yang diakui dan pengalaman penelitian yang direview oleh peer group, atau ahli-ahli sebayanya.
Output seorang Guru Besar adalah insentif yang besar karena membimbing mahasiswa tingkat doktoral, kinerja tertinggi seorang pengajar. Selain itu dengan menjadi Guru Besar seseorang berpeluang lebih besar untuk menjadi nara sumber, pembicara dalam berbagai seminar, lokakarya, workshop dan lain-lain di luar kampus.
Namun di Indonesia, outputnya menjadi lebih. Guru Besar akan memperoleh insentif sosial yang besar, status sosialnya dalam masyarakat menjadi meningkat. Guru Besar akan dianggap bukan hanya sebagai orang pintar tapi juga bijaksana.
Tentu saja ini salah kaprah, sebab Guru Besar adalah kategori dalam dunia akademik, dunia keilmuan tertentu. Maka menyebut label seseorang sebagai Guru Besar dalam acara-acara non akademis sebenarnya sebuah kerancuan.
Tapi karena jumlah Guru Besar tidak banyak maka tidak salah jika kemudian gelar itu menjadi terhormat di mata masyarakat. Apalagi masyarakat kita yang berlatar feodalistik, gelar Guru Besar kemudian jadi gelar kebangsawanan baru di masyarakat {feodal} modern.
Jumlah Guru Besar tidak banyak karena syaratnya sulit. Tidak semua pengajar di perguruan tinggi bisa memperoleh atau mendapat pengakuan itu.
Sebelum menjadi seorang Guru Besar, pengajar mesti mengumpulkan kredit yang banyak dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian.
Perlu waktu sepuluhan tahun untuk berkarier dalam dunia akademik, mengajar secara aktif. Selain jam terbang dalam mengajar, calon Guru Besar juga harus mempunyai publikasi di jurnal internasional yang terpercaya.
Walau punya pengalaman riset yang panjang namun jika hasil risetnya hanya berada dalam rak menjadi tak berguna. Hasil riset mesti direview oleh rekan-rekan sejawatnya, harus divalidasi oleh sesama ahlinya.
Dan jurnal ilmiah internasional kemudian menjadi syarat karena publikasi artikel disana akan melewati proses peer review yang dalam.
Dan disinilah masalah timbul ketika jumlah mereka yang menafsu menjadi Guru Besar jumlahnya besar namun tradisi menulis di jurnal ilmiah begitu kecil.
Padahal seharusnya dalam dunia akademik, tradisi penelitian dan publikasi justru menjadi salah satu hal yang paling mudah karena memang itu DNA dari pendidikan tinggi.
Masalahnya untuk menghasilkan artikel ilmiah yang bermutu mesti dilandasi oleh sistem yang bermutu, riset yang juga bermutu. Dan untuk itu diperlukan dana atau alokasi anggaran besar.
Kecukupan fasilitas dan anggaran ini yang kemudian menjadi salah satu persoalan besar dalam dunia riset akademik di Indonesia.
BACA JUGA : Ronaldo Messi
Dalam kanal youtubenya, Rheinal Khasali menceritakan perjalanan panjangnya untuk memperoleh pengakuan sebagai guru besar. Administrasinya panjang dan semua syarat yang telah dipenuhi bisa sia-sia jika tak punya akses pada yang mengurusnya.
Menurut Rheinal dokumen yang telah diserahkan bisa terus berada di tumpukan terbawah sehingga tidak dibaca oleh yang berwenang.
Sebuah tulisan yang beredar di grup WA dan kemudian dijadikan bahan tulisan oleh Dahlan Iskan juga menceritakan kisah yang sama. Seorang dosen yang mendapat tugas belajar agar bisa meraih gelar akademis untuk memenuhi syarat menjadi Guru Besar ternyata berdarah-darah.
Dahlan Iskan sendiri awalnya tak percaya sehingga berupaya mengkonfirmasi cerita yang bombastis itu. Namun nyatanya terbukti benar, walau disusun seperti cerita pengalaman dan kejadian dalam kisah itu benar adanya.
Kisah Guru Besar harusnya tentang ilmu pengetahuan atau sains tapi prosesnya sungguh berlawanan dengan aspek-aspek mendasar ilmu pengetahuan.
Rheinald Kasali menyebut soal salah sangka pada label Tuan Guru ini. Guru Besar oleh masyarakat dianggap sebagai gelar terhormat di wilayah publik. Padahal gelar ini merupakan gelar fungsional, seorang Guru Besar bukanlah orang yang tahu segala-gala, bijak dalam segala hal. Guru Besar memang ahli, tapi hanya dalam bidang tertentu. Dan karena keahliannya itu maka dia bisa mendidik dan membimbing untuk melahirkan ahli-ahli baru.
Bocor alus Tempo membuktikan kebenaran ini. Ada banyak orang yang memperoleh atau bahkan melakukan manipulasi agar mendapat kedudukan atau pangkat sebagai Guru Besar. Yang digunakan untuk meraihnya bukan jam terbang mengajar dan publikasi hasil penelitian yang direview oleh rekan sejawatnya, melainkan uang dan kekuasaan.
Ada banyak Meneer Palsu di republik ini, begitu temuan dari investigasi Tempo yang menelisik data hingga ke luar negeri.
Informasinya mungkin bukan hal yang baru, tetapi selama ini tersembunyi dibalik kabut mendung dunia pendidikan tinggi yang amat rapi menjaga kehormatan.
Merefleksikan hal itu, seorang guru besar dari Universitas Dian Nuswantoro menyebut perguruan tinggi telah runtuh martabatnya dari segi etik, hukum maupun politik.
Para elit di perguruan tinggi disebut oleh Supriadi Rustad sebagai kambing congek , sifat yang diwarisi dari penguasa pribumi di jaman kolonial yang berlaku sebagai suruhan penjajah karena keputusannya dikendalikan oleh kepentingan tuan kolonial.
Kambing congek lebih memilih akrab dan memberi jalan untuk mereka yang punya kuasa atau uang, pengaruh dan jabatan politik ketimbang mendukung koleganya sendiri yang sudah membuktikan dedikasi dalam dunia pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kepada yang mesti didukung sang kambing congek justru bengis.
Maraknya guru besar abal-abal, meneer palsu merusak sendi dasar perguruan tinggi yakni watak atau perangai ilmiah. Padahal disitulah hakekat pendidikan tinggi.
note : sumber gambar – KOMPAS