KESAH.ID – Sebagai ideologi atau keyakinan , vegetarian dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, hewan, bahkan kesehatan tubuh dan jiwa mereka. Tapi karena pola makan mereka tidak melibatkan daging, tidak selalu berarti lebih sehat. Yang menghindari daging dan yang sangat suka daging, bisa sama-sama tidak sehat. Karena dalam urusan makan yang paling penting adalah keseimbangan karena tubuh perlu mengasup protein, karbohidrat, vitamin dan lemak sehat serta nutrisi lainnya dalam jumlah seimbang sesuai kebutuhan tubuh

Jebakan seharusnya, ya banyak kali dalam obrolan-obrolan apalagi sudah ngalor-ngidul dengan referensi yang terbatas kita digoda untuk bicara yang seharusnya.

Uraian yang seharusnya ini muncul karena dipancing pertanyaan. Ya namanya ditanya, sering kali kita berupaya untuk memberi jawaban.

Ambil contoh saja saat nongkrong-nongkrong. Bahasan di tongkrongan biasanya random, terkecuali nongkrong dengan agenda. Dasarnya nongkrong memang pertemuan informal, maka bahasannya tidak terbatas. Setelah muter sana-sini, makanan atau kuliner sering menjadi ujung percakapan.

Ngomongin makanan memang mengasyikkan, karena semua orang butuh dan doyan makan.

Dan seperti banyak hal lainnya, makanan juga berurusan dengan politik, ideologi dan spiritualitas. Karena makan dan makanan dalam perjalanan evolusi kemudian melampaui biologi, makanan erat dengan kebudayaan, bahkan identitas sebuah kelompok.

Dalam pelajaran biologi misalnya disebutkan manusia adalah omnivora, pemakan segalanya.

Namun dalam tradisi makan kemudian muncul sekelompok orang yang mengusung pola makan vegan atau vegetarian.

Ada berbagai alasan yang diungkapkan oleh mereka yang memilih menjadi vegetarian. Dari sisi kesehatan pola makan ini dianggap lebih sehat, karena tumbuhan kaya dengan serat, vitamin dan mineral. Memakan tumbuh-tumbuhan bisa mengurangi resiko penyakit jantung, kolesterol tinggi, diabetes, obesitas dan hipertensi.

Alasan lain tidak bersifat biologis, tetapi ideologis seperti mencegah ekploitasi binatang, mensejahterakan binatang atau mengurangi penderitaan binatang.

Ada juga alasan lingkungan, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca, menjaga lingkungan dan lain-lain.

Selain itu ada juga yang menerapkan pola makan vegan karena alasan religius, teologis atau spiritual.

Tapi benarkan menjadi vegan atau vegetarian yang dalam bahasa biologi disebut herbivora itu lebih baik dari menjadi omnivora?

Tidak juga, walau ada yang sering memakai alasan bahwa dulu nenek moyang kita adalah pemakan tumbuhan, tidak berarti kita harusnya juga makan tumbuh-tumbuhan belaka.

Selama ratusan ribu tahun, manusia telah berevolusi dan ketika menjadi manusia modern, manusia telah menjadi pemakan segala.

Jikalau sekarang kemudian banyak orang menjadi bermasalah karena makanan, itu bukan soal apa yang dimakan melainkan pola makannya.

Salah satu bentuk pola makan yang buruk dan berkembang secara umum adalah makan berlebihan. Ya berlebihan, buktinya limbah atau sampah makanan {domestik} menjadi salah satu penyumbang limbah atau sampah terbesar.

Makanan memang berkembang menjadi salah satu industri terbesar. Orang makan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik atau biologi melainkan juga untuk kesenangan, kenikmatan, gengsi dan lain sebagainya.

Makanan kemudian menjadi mesin pembunuh. Satu dari lima kematian global, konon disebabkan oleh pola makan yang buruk karena mengkonsumsi gula, garam dan daging berlebihan.

BACA JUGA : Marc Pecco

Dalam banyak hal kita memang suka menglorifikasi suatu kelampauan yang sangat jauh dari jaman kita. Dengan mudah kita sering mengatakan orang dulu dulu, dulu sekali itu panjang umur. Dan diberilah contoh sosok ini dan itu yang umurnya ratusan tahun. Benarkah?.

Tidak benar juga, di jaman dulu, dulu sekali justru harapan hidup tidak terlalu tinggi. Resiko kematian sangat besar. Orang mudah mati karena dipatuk ular, diseruduk babi hutan, terkena duri dan kemudian infeksi. Di Indonesia sendiri sampai sekitar tahun 70-an, resiko kematian perempuan masih sangat tinggi, banyak ibu meninggal ketika melahirkan.

Salah satu penemuan yang kemudian secara signifikan meningkatkan harapan hidup manusia global adalah penemuan antibiotik, obat untuk infeksi. Dan kemudian juga penemuan vaksin, serta obat-obatan lainnya.

Obat-obatan dan teknologi kesehatan kemudian menjadi salah satu penyumbang penting dalam peningkatan harapan hidup.

Coba ingat-ingat cerita yang belum seratus tahun lewat, cerita tentang orang yang sakit tapi dianggap kesambet, kena guna-guna, ketempelan setan dan lain-lain. Kisah ini muncul karena penyakit atau gangguan kesehatannya belum bisa dideteksi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

Jadi tak perlu heran jika sekali lagi ada yang mengkaitkan kesehatan atau harapan hidup dengan kebiasaan manusia di masa yang sangat lampau, masa ketika manusia belum mempunyai banyak teknologi. Manusia di masa itu memang cenderung memakan tumbuh-tumbuhan.

Pada suatu masa manusia memang berada di bagian tengah dari rantai makanan, belum menjadi penguasa di puncak. Tentu saja konsumsi dagingnya sangat rendah karena tak mungkin menangkap rusa, membunuh banteng, anoa dan lain-lain. Manusia belum punya kemampuan untuk mengalahkan jenis binatang ini.

Maka yang mungkin dimakan oleh manusia hanyalah tumbuh-tumbuhan, entah daun, buah, bunga, pucuk dan lainnya.

Tumbuhan termasuk jamur tidak melawan atau lari menghindar.

Jadi daging yang pertama dikenal oleh manusia kemungkinan adalah kerang-kerangan karena mudah ditangkap. Makanya di daratan sering ditemukan kumpulan kulit kerang dalam jumlah yang banyak dan telah menjadi fosil.

Sedangkan binatang besar, yang pertama dimakan oleh manusia justru sumsumnya, karena binatang buas hanya meninggalkan tulang.

Namun ketika manusia mulai mengenal api, dan kemudian mengalami revolusi kongnitif, manusia kemudian mampu menemukan senjata, alat tangkap dan lain-lain untuk berburu. Dan sejak saat itu daging binatang semacam rusa, anoa, kijang, babi hutan dan lain-lain makanan yang lazim untuk manusia.

Dengan senjata dan teknologi, manusia yang termasuk dalam kelas medioker kemudian berada di puncak piramida makanan. Manusia menjadi pemakan segala. Ya segala, bukan hanya tumbuhan, binatang, jamur, dan lumut, tetapi juga bakteri.

BACA JUGA : Sayur Gori

Kegemaran manusia makan daging makin meningkat ketika mampu menghasilkan daging sendiri, bukan lagi berburu dari alam liar. Manusia mulai mendomestifikasi binatang menjadi binatang ternak dengan tujuan untuk dikonsumsi.

Kegemaran memakan daging berlebihan memang kemudian menjadi masalah. Kanker misalnya menjadi salah satu masalah yang makin hari makin membesar. Selain itu juga kelebihan lemak, kelebihan berat badan dan lain-lain.

Kenapa manusia kemudian menjadi sangat gemar daging seperti halnya harimau dan singa, padahal gigi manusia lebih mirip kambing.

Banyaknya masalah karena konsumsi daging merah berlebihan ini kemudian muncul semacam ‘gerakan’ dalam kebiasaan makan, cara makan yang dilabeli sehat. Sehat karena rendah konsumsi daging atau bahkan tidak mengkonsumsi makanan hewani sama sekali.

Yang fanatik kemudian menggangap ini cara makan tersehat.

Tapi benarkah?.

Tidak benar juga, sebab manusia dalam perjalanan evolusi  telah berubah dari mahkluk herbivora menjadi mahkluk omnivora.

Jadi tubuh manusia tetap butuh makanan bersumber hewani.

Jadi sehat dalam soal makan bukan karena makan makanan nabati, tetapi makan yang seimbang.

Cara makan yang baik adalah tidak berlebihan, berlebihan nasi, berlebihan sayur atau berlebihan lauk.

Agaknya kita sering punya anggapan yang salah. Tumbuhan dan buah-buahan tidak dianggap berbahaya, atau sekurangnya lebih tak berbahaya dibanding daging, telur, susu dan lainnya.

Padahal tidak begitu, ada juga zat buruk yang terkandung dalam tumbuhan, entah daun, buah, umbut atau umbinya.

Salah satunya adalah kandungan gulanya.

Dan faktanya, kini gula menjadi salah satu mesin pembunuh paling efektif.

Maka dalam kehidupan ini, tidak boleh kita terlalu miring ke kiri atau ke kanan. Realitas hidup selalu berada dalam spektrum. Ada ruang diantara kanan dan kiri.

Jadi jangan terbiasa untuk cepat beranggapan bahwa yang ini lebih baik dari yang itu. Karena kalau kita terbiasa begitu maka patut dicurigai kalau kita punya bakat besar jadi ektrimis.

note : sumber gambar – KOMPAS