KESAH.IDCita rasa makanan setiap daerah berbeda-beda karena resep atau cara masak dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi, sosial dan budaya, termasuk politik. Masakan Jawa Tengah dan Yogyakarta yang kemudian dikenal manis-manis, salah satunya dipengaruhi oleh sejarah kolonial. Politik tanam paksa, membuat lahan pangan masyarakat saat itu tersingkir oleh tanaman tebu, tembakau dan lainnya. Pangan menjadi mahal sehingga masyarakat berkreasi dengan olahan makanan yang salah satu bahannya adalah air tebu. Seiring dengan jaman, berbagai inovasi lahir, ragam rasa semakin berkembang. Dan daerah yang dulu dikenal masakannya manis-manis, kini juga dikenal dengan sajian yang pedas mampus.

Karena berasal dari Jawa, sewaktu tinggal di Manado saya sering makan hati kalau mereka mulai membandingkan antara makanan Jawa dan Manado. Sebagai pemuja makanan pedis, dengan muka agak mencibir, mereka pasti akan Jawa bilang makanan Jawa manis-manis.

Sebetulnya dalam hati mau menolak anggapan itu, tapi ya sudahlah, karena lebih baik berkilah kalau makanan Jawa manis karena di Jawa, terutama Yogyakarta dan Jawa Tengah dulu banyak pabrik gula.

Alasan ini tidak murni dari pikiran saya, melainkan hasil kulikan yang diterbitkan lewat edisi khusus Tempo yang membedah kekhasan masyarakat Nusantara dengan pendekatan etno ‘gastronomi’ history. Salah satu temuannya, ciri khas makanan sebuah daerah kerap dipengaruhi oleh politik kolonial dan interaksinya dengan bangsa lain.

Kebiasaan orang Jawa menyukai masakan yang manis-manis erat kaitannya dengan politik tanam paksa oleh Kolonial Belanda yang bangkrut setelah perang melawan Diponegoro.

Pada politik tanam paksa, petani di Jawa diwajibkan untuk menanam komoditas ekspor seperti tebu dan kopi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kebanyakan petani dipaksa menanam tebu dan kopi, sementara di Jawa Barat kebanyakan menanam teh dan kopi. Selama penerapan politik tanam paksa di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada ratusan pabrik gula.

Akibat kebijakan itu sebagian besar lahan sawah dipakai untuk menanam tebu, efeknya produksi beras menurun dan masyarakat kesulitan memperoleh beras. Akibatnya mereka kerap memakai air perasan tebu untuk memasak kebutuhan karbohidrat.

Lahirlah kuliner semacam gudeg dan bacem-baceman.

Dua jenis makanan yang memang manis dan kemudian menjadi ciri khas, terutama Gudeg yang kemudian menjadi salah satu ikon pariwisata di Yogyakarta.

Padahal terus terang saja, walau lahir dan tumbuh tak jauh dari Yogyakarta, saya sebenarnya tak terlalu akrab dengan gudeg.

Di Purworejo, kampung halaman saya, sayur nangka itu lebih dikenal dengan nama Jangan Gori atau sayur gori, masakan umum namun kurang bergengsi.

Di rumah saya, buah nangka lebih sering dibiarkan menua dan kemudian dipetik untuk dimakan sebagai buah. Jarang dipetik waktu muda karena menurut bapak kalau sering dipetik ketika buahnya muda maka akan rusak.

Lagi pula cara masaknya tidak seperti gudeg yang kering, sayur gori dimasak dengan kuah santan yang banyak. Biasanya memang dimasak dalam panci besar dan kemudian dipanaskan berulang-ulang hingga kuahnya berkurang dan sayurnya menjadi lunak.

Seingat saya yang dulu sering memasak seperti gudeg Yogya hanya Mbah Kaji, tetangga sebelah rumah yang memasak sayur nangka dengan kendil, dimasak lama dan mungkin diberi gula jawa banyak sehingga berwarna kecoklatan.

Mbah Kaji yang hanya tinggal berdua di rumah besarnya itu sering mengantar masakannya ke rumah saya. Saya selalu suka dengan antarannya, bukan hanya gudeg tetapi juga yang lainnya. Memakan makanan pemberian tetangga memang selalu lebih enak.

Tapi sayur gori yang selalu saya suka justru bukan versi gudeg yang berwarna kecoklatan, lunak dan manis, melainkan hasil olahan Mbah Somo. Rasa gorinya lebih otentik, karena Mbah Somo selalu memasak dalam panci besar dan gorinya dicincang kecil-kecil. Gori dimasak dengan santan yang encer dan tidak terlalu lama sampai over cook. Rasanya masih krenyes-krenyes.

Sayur gori ala Mbah Somo ini miroso dimakan dengan nasi pera hangat, disiram dengan kuah banyak-banyak lalu disantap dengan lauk ikan asin dan sambal terasi.

Itu sayur gori terbaik yang ada dalam memori rasa saya.

BACA JUGA : Revolusi Trump

Jadi maaf saja walau Purworejo merupakan wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Yogyakarta, gudeg sebenarnya tidak terlalu dekat dengan budaya makan di lingkungan saya kecil itu.

Tapi karena dianggap dekat dengan Yogya, maka ketika di perantauan saya dianggap tahu seluk beluk gudeg dan punya memori rasa yang dalam dengannya.

Alhasil saya mesti mempelajari gudeg, ya gudeg karena yang ada di kepala saya adalah sayur gori.

Gudeg yang identik dengan Yogyakarta ternyata punya sejarah yang panjang, resepnya sudah ada sejak jaman Kasultanan Yogjakarta dan Kasunanan Surakarta eksis. Resep gudeg ditemukan saat Penembahan Senopati melakukan babat alas, hutan belantara yang disebut Alas Mentaok untuk mendirikan Kerajaan Mataram.

Hutan yang dibabat itu ditumbuhi banyak pohon nangka dan pohon kelapa. Dari kedua bahan itulah gudeg dibuat dan kemudian dijadikan sumber makanan untuk para prajurit yang bekerja membabat hutan dan membangun kerajaan.

Gudeg konon berasal dari kata ‘hangudeg’, sebuah teknik memasak dengan cara mengaduk menggunakan centong kayu besar. Nangka muda yang dimasak dalam wadah besar, diberi santan dan gula itu terus diaduk-aduk dalam waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan masakan yang kering.

Tentu saja resep gudeg berkembang, gudeg di jaman pembangunan Kerajaan Mataram pasti berbeda dengan yang disajikan di jaman setelah kemerdekaan ketika Yogyakarta kemudian dikenal sebagai Kota Wisata.

Gudeg pada masa ini disajikan dengan krecek dan lauk, seperti ayam, telur dan tempe tahu baceman. Lezat lah untuk kebanyakan orang. Makanan para pekerja ini kemudian menjadi makanan para wisatawan. Seporsi gudeg komplit harganya lumayan juga. Membawa oleh-oleh bakpia patuk atau bakpia kukus rasanya lebih murah daripada oleh-oleh gudeg komplit.

Seingat saya di masa saya kecil itu, lewat majalah atau koran, saya membaca gudeg yang terkenal di Yogyakarta adalah gudeg Bu Tjitro.

Itu saja pengetahuan saya, soal rasanya yang miroso saya belum pernah merasakannya.

Jadi ketika merantau dan kemudian diajak bicara gudeg di tanah rantau, pengetahuan saya terbatas. Referensi saya lebih ke sayur gori, dan masakan Mbah Kaji yang secara fisiologi mendekati gudeg Yogyakarta.

Masalahnya saya menikmati masakan Mbak Kaji tanpa dasar-dasar gastronomi. Menikmati saja, masakan yang tak pernah dimasak oleh ibu saya. Dan bagi saya apapun pemberian tetangga pada saat itu pasti saya anggap enak, sehingga makan saya juga lahap.

Makanya saya jadi repot ketika kemudian pindah ke Samarinda lalu diajak makan di sebuah rumah makan yang menyajikan gudeg. Sulit bagi saya memberi jawaban ketika ditanya bagaimana rasanya dibanding dengan gudeg yang di Jawa.

BACA JUGA : Marc Pecco

Resep atau cara pengolahan makanan memang selalu lahir dalam konteks tertentu. Yang dipertahankan dan diberi nilai kemudian menjadi makanan tradisional yang punya karakter atau kekhasan tertentu.

Dan jaman tentu saja terus berputar, perjumpaan dan pengaruh-pengaruh baru juga masuk. Pasti akan terjadi inovasi atau pengembangan yang kemudian membuat dunia kuliner di sebuah daerah menjadi dinamis.

Kini di Jawa dengan mudah menemukan jejak pengaruh dari makanan Minahasa atau Manado, resep yang disebut rica-rica. Dari namanya saja sudah kelihatan kalau ini masakan pedas mampus. Rica dalam bahasa Melayu Manado berarti cabai.

Rica entok dan rica bebek terkenal sekali di Jawa, lalu disusul oleh rica bekicot. Padahal di Minahasa dan Manado, yang terkenal adalah rica ayam dan babi rica. Tentu saja bumbu rica Jawa yang diadaptasi dari rica Minahasa atau Manado tak persis sama.

Regim pariwisata dan gaya hidup memang bisa membuat pergeseran peta kuliner, terutama yang disajikan di resto, warung atau kios. Makanan pedas di Jawa terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta tak lepas dari hal itu. Sambal yang dulunya cenderung manis kini dibuat semakin pedas, para penyuka sambal bahkan bisa menuruti kemauan lidahnya di warung sambal-sambalan.

Anak-anak muda, para pengguna media sosial mempunyai sumbangsih pada kegemaran mencari rasa pedas, sensasi rasa baru. Pengaruh budaya dari luar seperti dari Jepang dan Korea, membawa variasi rasa yang lebih beragam dalam kuliner Jawa dan Indonesia pada umumnya. Termasuk rasa pedas yang punya level-level. Sebenarnya bukan hanya pedas tetapi juga rasa manis tertentu seperti teriyaki atau bulgogi.

Akulturasi budaya memainkan peranan besar dalam spektrum rasa dan dinamika dunia kuliner.  Kuliner terus berkembang melalui perpaduan budaya, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Jika kita pergi ke Yogya sekarang ini, kita akan melihat bagaimana oseng dan gudeg mercon menjadi bukti nyata bagaimana kuliner tradisional beradaptasi dengan selera masyarakat yang semakin menyukai rasa pedas.

Oseng memang umumnya diberi cabai, tapi tak semeledak oseng mercon pedasnya. Dan gudeg yang memang manis, baik karena sejarah maupun kepentingannya agar awet. Tapi pedasnya gudeg bukan pada nangkanya melainkan sambal krecek pedas, areh dengan lombok utuh atau sambal untuk melengkapi sensansi baru.

Dunia kuliner terus akan berkembang dan mungkin kita mesti mengoreksi anggapan tentang makanan tertentu, apa yang dulu kita kenal mungkin tidak lagi valid untuk menilai yang tengah berkembang saat ini. Memori rasa kita mungkin sudah berbeda dengan apa yang disajikan di meja warung, resto, kedai dan kafe-kafe. Atau bahkan mungkin diatas meja makan yang disajikan oleh ibu bapak kita.

note : sumber gambar – JOGYAKEREN