KESAH.ID –  Pernah disebut sebagai Amsterdam Klein, Samarinda sejak semula merupakan kota air. Namun paradigma pembangunan yang tak ramah air semenjak masa orde baru, membuat Samarinda tumbuh menjadi Kota Banjir. Sebutan sebagai Kota Tepian, membuat warga dan pemerintah Kota Samarinda pupus memorinya tentang rawa-rawa. Hilangnya rawa-rawa yang direklamasi menjadi daratan belum dikompensasi dengan penyediaan ruang tangkapan air yang memadai hingga saat ini. Genangan air pada tempat yang tidak dikehendaki masih akan menjadi persoalan bagi warga, pemerintah dan Kota Samarinda.

Samarinda adalah Kota di Tepian Aliran Sungai, KITAS, dengan aliran sungai utamanya Sungai Mahakam. Namun ada juga anak-anak Sungai Mahakam yang menjadi wilayah permukiman perdana seperti Sungai Karangmumus dan Sungai Karang Asam, baik Karang Asam Besar maupun Karang Asam Kecil.

Label Samarinda sebagai Kota Tepian menguat setelah pada tanggal 21 Januari 1988 pada saat HUT Kota Samarinda, pemerintah Kota Samarinda memperkenalkan akronim TEPIAN. Teduh, Rapi, Aman dan Nyaman menjadi sebuah harapan dan keinginan bersama yang ingin diwujudkan oleh Kota Samarinda.

Tepian bukan hanya akronim tapi juga ruang nyata, karena di tepi sungai kemudian muncul tempat-tempat warga untuk berkumpul, menikmati sore dan malam hari sambil memandang sungai dan kesekitarannya.

“Ke tepiankah?” ajakan ini menjadi populer diantara warga Kota Samarinda untuk menyebut jalan-jalan atau pergi nongkrong membuang waktu di tepian sungai. Yang paling ramai adalah tepian sungai depan Kantor Gubernur, dan di Jalan Muso Salim.

Namun jauh sebelum itu sebenarnya kata tepian sering dipakai untuk menyebut tempat dipinggir sungai yang ada dermaga, atau tempat persinggahan perahu atau kapal. Tepian artinya menepi, singgah entah untuk menurunkan atau menaikkan barang serta keperluan lainnya.

Samarinda berkembang dari pengertian tepian seperti ini. Karena dari dulu banyak disinggahi oleh perahu atau kapal dari luar. Perahu datang dan kemudian menepi di Samarinda, hingga kemudian Kota Samarinda tumbuh menjadi Kota Bandar yang denyut ekonominya berbasis pada perniagaan.

Di aliran Sungai Karangmumus ada daerah tepian sungai yang disebut Tepian Lempake. Dulu memang merupakan tempat pemberhentian perahu, tempat petani dan peladang dari Gunung Lingai, Lempake, Muang, Benanga dan lain-lain membawa hasil bumi melalui sungai ke Pasar Segiri, atau pasar lain yang ada di tepian Sungai Karangmumus.

Tapi pengertian tepian semacam ini kemudian hilang ketika mulai terjadi transisi transportasi, dari angkutan air ke angkutan darat. Gencarnya normalisasi sungai yang digalakkan lagi menjelang berakhirnya masa jabatan Walikota Sjahrie Jaang dan sepanjang kepemimpinan Andi Harun dengan membangun banyak taman di tepian sungai baik Sungai Mahakam atau Sungai Karangmumus, membuat istilah tepian dalam benak warga Samarinda adalah ruang terbuka atau ruang publik di tepi sungai dengan pembatas antara air dan darat berupa beton.

Tepian sungai yang terhubung dengan rawa-rawa tempat berdirinya rumah-rumah panggung

BACA JUGA : Sayur Gori

Normalisasi memang membuat sungai dan anak sungai di Kota Samarinda kehilangan morfologi dan fisiologi aslinya. Warga Kota Samarinda kehilangan memori rupa sungainya yang semula. Fakta geohidrologi yang menjadi dasar penamaan Samarinda.

Samarinda berasal dari kata sama randah/rendah. Artinya permukaan airnya sama tinggi dan sama rendah dengan permukaan sungainya.

Nama itu muncul dari latar belakang perkembangan Kota Samarinda. Mulainya permukiman atau perkampungan berkembang di area pasang surut, dataran banjir dari sungai dan anak sungai. Daratan Samarinda di masa perdana adalah rawa-rawa, tempat air sungai meluap atau tempat air dari dataran tinggi ditampung. Sebagian menjadi rawa pasang surut, sebagian lainnya adalah rawa permanen.

Air yang terhubung akan berlaku hukum kapiler, maka air rawa dan air sungai akan sama permukaan. Dari sinilah muncul sebutan sama randah/rendah.

Diatas dataran banjir atau rawa-rawa inilah permukiman perdana berkembang dalam bentuk rumah-rumah panggung yang dilengkapi dengan jalan berupa jembatan panjang untuk saling berhubungan.

Disaat musim penghujan dan rawa digenangi air, perkampungan akan nampak seperti kampung air. Namun ketika air surut dan rawa ditumbuhi semak dan rerumputan, perkampungan seperti berada di padang semak/rumput.

Catatan di masa Hindia Belanda menyebutkan kalau Kota Samarinda membentang dari muara Sungai Mumus hingga muara Sungai Karang Asam, dengan lebar wilayah kurang lebih 500 meter dari tepian Sungai Mahakam.

Dengan demikian Samarinda waktu itu berada dalam lingkungan tanah atau dataran yang basah, tanah lembek yang terbentuk dari sedimentasi Sungai Mahakam serta rawa-rawanya. Maka pemerintah Hindia Belanda kemudian mengatur air dengan membuat kanal-kanal, seperti kota-kota di Belanda. Samarinda pun pernah disebut sebagai Amsterdam Klein , atau Amsterdam mini.

Sampai dengan masa-masa awal orde baru, pembangunan di Kota Samarinda masih menyadari kondisi lingkungan yang berair. Masih banyak jejak-jejak rumah panggung dan permukiman yang jalan atau gangnya berupa jembatan panjang atau telihan.

Namun lama kelamaan kesadaran bahwa Samarinda adalah sama randah/rendah menjadi luntur. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat, terutama karena kedatangan masyarakat dari luar dengan budaya daratan, membuat kearifan lokal Samarinda menghilang. Kanal yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tak kelihatan lagi, ada yang hanya tersisa sebagai parit, tapi ada yang berubah menjadi jalan raya.

Samarinda yang merupakan Kota Bandar kemudian bercita-cita menjadi Kota Metropolitan dengan bangunan beton yang tinggi-tinggi. Model bangunan yang tak mungkin diciptakan di tanah berawa-rawa. Tata air yang dulunya memberi ruang pada air untuk parkir sementara sebelum mengalir ke sungai, kemudian berubah. Kanal, got, parit atau saluran air kemudian difungsikan sebagai saluran drainase, saluran pengering. Air di daratan Kota Samarinda secepat mungkin diupayakan untuk dibuang ke laut.

Rawa-rawa ditimbun, dikeringkan menjadi daratan dengan tanah atau batuan yang digali dengan meratakan perbukitan yang mengelilingi Kota Samarinda. Dan ruang air kemudian hilang, ruang resapan air di perbukitan dan ruang tangkapan air di rawa-rawa perlembahan. Pembangunan Kota Samarinda menjadi tidak ramah air, menghilangkan ruang air tanpa mengkompensasinya. Akibatnya Kota Samarinda menjadi salah satu kota yang paling cepat tergenang di musim penghujan.

Dulu genangan air merupakan sahabat bagi Samarinda, kini menjadi musuh.

Rawa dianggap lahan nganggur, hingga kemudian ditimbun. Padahal dulu sebelum permukiman Samarinda menjadi padat, lahan rawa dipertahankan dengan dimanfaatkan untuk budidaya lahan basah. Masyarakat bercocok tanam di rawa atau area pasang surut, yang ketika genangan airnya turun meninggalkan sedimen yang subur, material organik dari hutan tropis dataran rendah yang dibawa oleh aliran Sungai Mahakam.

Konsepsi pembangunan yang berbasis daratan atau kontinental, membuat rawa-rawa di Kota Samarinda direklamasi. Banyak diantara lahan rawa yang luas kemudian menjadi kawasan perumahan/real estate, fasilitas umum dan sarana lainnya.

Permukiman dengan rumah yang merangsek ke badan sungai, rumah-rumah ini akan digusur saat proyek normalisasi aliran sungai dilakukan oleh pemerintah.

BACA JUGA : Pemakan Segala 

Panas setahun diguyur hujan sehari, peribahasa ini mungkin cocok untuk mengambarkan bagaimana praktek pengembangan permukiman atau kawasan di Kota Samarinda yang selama ratusan tahun sangat memperhatikan dinamika air, kemudian hilang dengan dinamika pembangunan di masa orde baru yang cenderung menganggap kota sebagai daratan.

Budaya air menjadi larut di Kota Samarinda walau menyebut diri sebagai Kota Tepian dan warganya memang suka ke tepian. Samarinda yang mulanya kota air menjadi kota banjir.

Mengatasi banjir menjadi prioritas beberapa walikota terakhir di Kota Samarinda. Dan upaya mengatasi banjir menjadi sangat kentara di masa pemerintahan Walikota Andi Harun pada periode pertamanya. Hampir semua tepian jalan digali untuk membuat saluran air yang dalam dan lebar.

Dalam jangka pendek memang kelihatan. Aliran air seperti lancar dan genangan dengan cepat surut. Namun dalam jangka panjang keberhasilan ini bisa jadi merupakan awal dari masalah yang akan lebih berat. Karena konsep drainase, adalah konsep untuk mengeringkan genangan sehingga keseimbangan air menjadi terganggu.

Dengan sistem drainase, siklus air akan terganggu karena salah satu bagian yakni peresapan dan penampungan atau penangkapan air menjadi hilang.

Ekosistem dataran Samarinda yang terbaik adalah basah. Maka Samarinda butuh ruang air, dataran yang sengaja disediakan untuk digenangi agar tanah Kota Samarinda memancarkan aroma kesegaran air. Tidak memberi ruang kepada air demi mengusir banjir akan membuat aroma tanah Samarinda berbau dan berasa debu.

Penulis : Wahyu Musyifa

Editor : Yustinus Sapto Hardjanto

Sumber Gambar : Wahyu Musyifa