KESAH.IDSimbiosis antara politikus dan agamawan di tahun politik lewat proyek ketakutan akan memakai kesempatan apapun sebagai peluru untuk menimbulkan ketakutan massal yang akan dikapitalisasi menjadi dukungan pada kelompok tertentu agar memenangkan kontestasi politik

Alam semesta cenderung menuju ketidakteraturan, cenderung menjadi kacau atau entropi.

Dalam alam semesta bisa terjadi tabrakan antar galaksi. Orbit planet cenderung tidak teratur namun karena siklusnya lebih panjang dari manusia maka terlihat seperti teratur.

Namun di alam semesta ada sebuah sistem yang melawan entropi itu. Kehidupan berusaha menurunkan ketidakteraturan.

Kehidupan dimulai dari sel dan seluruh sel sama. Keteraturan dimungkinkan dengan energi yang diserap atau diperoleh dari luar dalam sistem yang terbuka.

Meski sel bisa mati namun mempunyai kemampuan regenerasi. Yang mati digantikan oleh yang baru dengan sifat yang kurang lebih sama. 

Kehidupan menjadi semakin banyak dan kompleks. Ada banyak kepunahan namun spesies baru yang lahir juga lebih banyak.

Bumi atau dunia sekurangnya telah mengalami 5 kali kepunahan massal, namun laju kepunahan kalah dengan laju spesiasi.

Maka sejauh ini bisa dikatakan kehidupan di bumi berhasil melawan entropi. Ada semakin banyak alternatif untuk mempertahankan kehidupan.

Masalahnya antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lain selalu berkompetisi. Kehidupan sering dipertahankan dengan cara mengorbankan kehidupan yang lain. 

Kompetisi ini sangat terlihat dalam kehidupan binatang. Selain memakan binatang lainnya, binatang juga berkompetisi dengan sesamanya untuk berebut makanan, memperebutkan wilayah, pasangan dan lainnya.

Manusia juga demikian, walau kemudian manusia menemukan jalan evolusi yang berbeda karena kemampuan membangun kerjasama dalam jumlah yang besar, kehidupan manusia kemudian jauh lebih teratur ketimbang binatang lainnya.

Hal itu dimungkinkan karena homo sapiens mempunyai kemampuan membuat aturan. Dan makin besar kelompok makin banyak pula aturannya.

Salah satu pengaturan yang paling universal adalah seks. 

Seks atau seksualitas yang sangat lebar itu kemudian disederhanakan menjadi dua yakni laki-laki dan perempuan. Dan hubungan seksual hanya dibenarkan jika terjadi diantara keduanya. 

Hubungan seks kemudian dilembagakan dalam perkawinan yang  hanya sah dan halal jika terjadi antara laki-laki dan perempuan. 

Hubungan seks bersifat reproduktif dengan tujuan  meneruskan keturunan agar masa depan manusia terjamin, tidak punah.

Seks sebagai fungsi reproduktif ini kemudian menjadi ‘dogma’, dianggap sebagai satu-satunya model hubungan seksual yang wajar bahkan mulia.

Dalam faktanya, tujuan hubungan seksual antar manusia ternyata tidak bersifat reproduktif melainkan rekreatif, untuk menghasilkan kesenangan dan kepuasan, bukan keturunan.

Yang berperilaku semacam ini bukan hanya manusia melainkan juga beberapa jenis primata seperti orang utan, simpanse dan bonobo. Lumba-lumba juga ditenggarai bisa merasakan kesenangan seksual.

Sementara hewan pada umumnya justru setia pada konsep hubungan seksual untuk meneruskan keturunan. Mereka hanya berhubungan seksual pada saat tertentu. Diluar masa itu, betina tidak akan ramah pada jantan yang mendekat.

Sementara manusia bisa berhubungan seks setiap saat, kapan saja dia mau. 

Dan fakta lain, manusia tidak hanya tertarik secara seksual kepada sesamanya, melainkan juga bisa tertarik kepada mahkluk hidup lainnya bahkan benda mati.

Maka ada seseorang yang horny pada mobil, terangsang ketika melihat jembatan dan ada yang menikahi menara Eiffel serta robot.

Hanya saja dalam aturan manusia pada umumnya, jenis relasi seksual yang non heteroseksual dianggap sebagai penyimpangan, tidak normal.

Dan penyimpangan selalu dianggap membahayakan, bisa menghancurkan keteraturan yang akan mengancam masa depan manusia.

BACA JUGA : Belajar Dari Tiongkok Tak Mesti Jadi Komunis Apalagi Ateis.

Meski sains telah memberikan bukti yang adekuat soal spektrum seks dan seksualitas namun norma atau aturan sosial, kebudayaan dan religi pada umumnya masih menempatkan orientasi seksual sesama jenis (lesbian dan homo seksual), ke semua jenis (biseksual) dan identitas seksual transgender sebagai penyimpangan yang negatif.

Orientasi dan identitas seksual semacam ini dianggap sebagai kutukan dan penyakit menular. Mereka yang melakukannya akan ditempatkan atau dipandang sebagai tidak manusiawi. 

Dalam hukum tertentu, kaum ini bahkan halal darahnya untuk dibunuh.

Pandangan ini begitu kuat bahkan institusi kesehatan yang seharusnya mendasarkan diri pada pengetahuan biologi, alih-alih melakukan pendidikan seksual yang benar malah melakukan sosialisasi anti LGBT.

Sosialisasi yang bukannya mendedah realitas LGBT secara biologis dan neurosains melainkan menyorot LGBT dari moralitas yang berbasis kebudayaan dan agama.

Pada sisi lain mulai muncul gerakan yang berbasis sains untuk melakukan sosialisasi tentang realitas LGBT. Gerakan yang mendorong pengakuan bahwa orientasi dan identitas seksual LGBT merupakan hal asasi, hal bawaan yang harus diakui sama dengan hak-hak asasi lainnnya.

Oleh kelompok penentangnya yang menutup diri terhadap pengetahuan ilmiah, kampanye LGBT selalu dianggap sebagai upaya menghancurkan dunia, merusak moral anak-anak muda.

Tak heran jika kemudian rencana kedatangan Coldplay, grup musik ternama di dunia kemudian ditentang.

Coldplay ditentang karena ditenggarai pernah mengibarkan bendera LGBT dalam konser-konsernya.

Menerima kedatangan Coldplay dianggap sebagai mengakui LGBT. Atau secara sengaja mendatangkan marabahaya karena bakal menulari penontonnya dengan kecenderungan yang dianggap menyimpang. 

Agar semakin meyakinkan penolakan terhadap kedatangan Coldplay untuk melakukan konser di Indonesia ditambah dengan label ateis.

Sehingga menurut para penentangnya, kedatangan Coldplay ke Indonesia akan membawa dua virus buruk untuk generasi muda dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kenapa seks non heteroseksual begitu menakutkan, masih dianggap sebagai wabah layaknya virus nan ganas. Hingga kemudian kita kerap melakukan tindakan yang secara logika menjadi sesat, berlebihan bahkan cenderung memalukan?.

BACA JUGA : Kiri Baru, Marxisme Abad 21 Tiongkok

Dalam buku berjudul How Fear Work (2018) Frank Furedi menjelaskan asal usul munculnya rasa takut dan implikasinya pada kehidupan bersama.

Dia memakai istilah culture of fear atau budaya ketakutan karena dalam masyarakat ada banyak jenis ketakutan yang bersifat massiv. Ketakutan sendiri sering kali diproduksi secara sengaja.

Ketakutan bersama selalu berkembang. Dulu orang takut pada binatang buas, takut kelaparan massal, takut pada bencana, takut pada wabah penyakit dan lain-lain.

Ketakutan-ketakutan ini sangat mempengaruhi masyarakat, baik secara pikiran maupun perilaku.

Dalam beberapa sisi ketakutan melahirkan implikasi positif, seperti lahirnya budaya lumbung pangan untuk mencegah ancaman kelaparan karena gagal panen.

Juga berbagai macam prosedur pencegahan maupun penanganan penyakit, sehingga wabah yang dulu menyebabkan kematian dalam jumlah besar bisa dieliminir.

Dunia yang beragam dengan berbagai kelompok didalamnya juga dipenuhi dengan kompetisi. Dunia yang penuh dengan manusia yang saling bersaing kepentingannya kemudian membuat Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Homo homini lupus.

Dengan kesimpulan ini, negara harus hadir untuk melindungi warganya dari ancaman. Maka militer perlu diperkuat untuk melindungi dari serangan pihak luar. Untuk damai harus siap berperang.

Selama berabad-abad masyarakat dunia khawatir dengan ancaman perang. Termasuk ketika dunia terbelah menjadi dua blok, Nato dan Pakta Warsawa yang terus melakukan perang dingin, saling pamer kekuatan senjata pemusnah massal.

Setelah era perang dingin dunia relatif damai. Masih ada perang namun umumnya perang saudara. Sektor pangan juga relatif aman, ancaman penyakit juga dengan cepat diatasi akrena kemajuan teknologi kesehatan.

Dunia justru lebih dicemaskan dengan ‘kemerosotan moral’ dan lunturnya religiusitas karena perkembangan pengetahuan dan teknologi yang sedikit banyak telah merampas ruang Tuhan.

Kaum moralis dan religius terutama yang kental memegang dogma yang ortodoks terus memasang wajah murah, mengeluh dunia semakin permisif pada ‘penyimpangan dan dosa’.

Temuan ilmu biologi dan neurosains yang menyatakan bahwa homoseksual dan kecenderungan perilaku seksual lain bukan merupakan penyimpangan melainkan bagian dari variasi evolusi seksual dianggap sebagai kesesatan. 

Fakta biologis bahwa seks merupakan hasil kerja otak kemudian ditolak. Dan penyampaian fakta itu kepada publik dianggap sebagai kegiatan untuk menyuburkan perilaku seksual menyimpang.

Sedangkan kelompok yang sadar dan menerima LGBT kemudian dianggap sebagai juru promosi. Maka kaum heteroseksual yang peduli pada hak hak LGBT juga akan ikut dituduh sebagai penghancur dunia atau racun bumi.

Padahal kelompok LGBT sebenarnya tidak besar. Karena pada umumnya manusia terlahir heteroseksual. Jadi orientasi seksual non hetero tidak akan mengakibatkan kepunahan manusia. 

Namun LGBT kemudian menjadi menakutkan karena ketakutan yang tidak beralasan yang dipompakan oleh kelompok-kelompok penentangnya. Tuduhan-tuduhan dan anggapan yang salah dan berlebihan terhadap LGBT yang kemudian menimbulkan ketakutan.

Apalagi kelompok semacam ini kerap menyertai penolakan dengan ancaman-ancaman. Seperti hendak mengerahkan massa, mengepung atau memblokade tempat tertentu, melakukan persekusi dan lain-lain.

Penolakan kelompok tertentu atas rencana konser Coldplay di Jakarta bahkan bukan sekedar ekpresi budaya ketakutan melainkan juga merupakan sebuah politik dan proyek ketakutan.

Memasuki tahun politik ada banyak kelompok kepentingan yang berusaha menebarkan gambaran suram masa depan bangsa dan negara. 

Pemimpin dan pemerintah yang akan memasuki periode pergantian kemudian bisa dianggap sebagai biang kegagalan. Jika amplifikasi ketakutan ini berhasil maka akan memberi keuntungan kepada lawan politik yang siap bertarung untuk menggantikannya.

Aktor politik dan agamawan profesional (mencari hidup dari agama) memang kerap bersimbiosis untuk menciptakan masyarakat yang ketakutan. 

Media massa dan media sosial menjadi alat yang sempurna untuk menciptakan fearfull society.

Pelaku proyek ketakutan benar-benar paham bahwa berhasil menciptakan ketakutan akan membuat masyarakat menjadi tidak rasional. Dan masyarakat yang tidak rasional akan dikapitalisasi menjadi pendukung yang fanatik.

Kebenaran obyektif menjadi tidak penting bagi mereka. Dengan kebenaran kolektif atau komunal, maka fakta-fakta yang ditemukan oleh sains atau ilmu pengetahuan dengan mudah ditolak.

Dengan alasan kehadiran Coldplay akan merusak moralitas bangsa dan kaum muda, kaum penolak konser Coldplay sebenarnya tengah menjelma sebagai virus perusak nalar dan rasionalitas warga  bangsa dan negara Indonesia.

note : sumber gambar -HULONDALO.ID