KESAH.ID11 Agustus 1996 malam Budiman dan kawan-kawan dijemput sejumlah orang tak berseragam dari rumah Benny Sumardi tempatnya disembunyikan oleh Romo Sandy dari kejaran aparat. Budiman dan PRD dituduh sebagai biang kerusahan Kudatuli. Menjadi ‘tahanan politik’ Orde Baru adalah titik transformasi Budiman dari politik jalanan ke politik elit di pemerintahan.

Semua orang berubah, Budiman Sujatmiko pun demikian.

Mungkin lebih tepat menyebut perubahan itu sebagai transformasi, karena perubahan membuat berbeda dari keadaan sebelumnya. Menjadikan dirinya seperti diri yang baru dengan harapan menjadi semakin lebih baik.

Meski demikian ada beberapa bagian dari perubahan yang oleh publik atau sekelompok orang tertentu dianggap sebagai sebuah khianat.

Budiman Sujatmiko berada dalam orbit perbincangan publik mulai dari aktifismenya. Aktivis mahasiswa yang kemudian mendeklarasikan berdirinya Partai Rakyat Demokratika tau PRD.

Keberanian yang hampir tak diduga oleh banyak orang karena pada saat itu hegemoni regim orde baru pada semua aspek kehidupan terutama politik masih kuat-kuatnya.

Budiman dan beberapa temannya kemudian ditahan.  Ikut menambah daftar tahanan ‘politik’ versi orde baru.

Setelah dibebaskan dari tahanan, Budiman Sujatmiko melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Budiman Sujatmiko sebelumnya drop out dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada karena aktivismenya. Dia kemudian meneruskan pendidikan di Fakultas Ilmu Politik Universitas London dan Magister Hubungan Internasional di Universitas Cambridge.

Sekembalinya dari kuliah di luar negeri, Budiman bergabung dengan PDIP dan mendirikan Relawan Perjuangan Demokrasi {REPDEM} sebagai organisasi sayap partai.

Dari tahun 2009 hingga 2019, Budiman Sujatmiko duduk sebagai anggota DPR RI mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah VIII.

Pada pemilu 2019 oleh partai ditugaskan untuk mewakili daerah pemilihan Jawa Timur. Budiman gagal kembali ke Senayan sebagai wakil rakyat.

Tak lagi aktif sebagai wakil rakyat, Menteri BUMN kemudian menunjuk Budiman sebagai Komisaris PTPN V.

Kiprahnya sebagai komisaris tidak terlalu terdengar. Budiman justru muncul dengan gerakan lain yang berbeda dengan apa yang selama ini dilakoninya. Dia kemudian berkecimpung dalam dunia inovasi dan teknologi.

Bukit Algoritma nama sebuah proyek besar yang diinisiasi olehnya dengan rencana pendanaan kurang lebih 18 trilyun rupiah.

Proyek yang disebut sebagai Silicon Valley-nya Indonesia ini tak berjalan mulus. Dan Budiman Sujatmiko kemudian memberi kejutan baru dengan menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden.

Budiman menyeberang dari PDIP yang menunjuk Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada pemilu 2024.

Dukungan ini tidak main-main karena tak lama setelah menyatakan dukungan, Budiman Sujatmiko kemudian mendeklarasikan PRABU kelompok relawan yang dipimpin olehnya untuk memenangkan Prabowo.

Langkah ini dipandang kontroversial karena Prabowo Subianto dikenal sebagai salah satu sosok yang memburu Budiman Sujatmiko dan kawan-kawan di masa Orde Baru.

BACA JUGA : Tempo Tempe

28 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 27 Juli 1996 pagi hari kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Menteng diserbu oleh massa.

Massa yang disinyalir merupakan pendukung Surjadi, Ketua Umum PDI hasil kongres Medan merangsek masuk sambil melempari batu. Di dalam gedung bertahan pendukung Megawati, Ketua Umum PDI hasil kongres Kemang.

Bentrok berlangsung kurang lebih satu setengah jam sebelum berhasil dilerai oleh aparat. Petugas mengisolasi lokasi bentrokan. Dari kejauhan bisa dilihat sekitar gedung yang berantakan itu dipenuhi oleh aparat dengan seragam anti huru-hara.

Berbagai kelompok massa pendukung Megawati kemudian berdatangan dan berkumpul di luar lingkaran penjagaan aparat. Makin siang jumlahnya lebih banyak, mencapai ribuan. Mereka berorasi dan bernyanyi menyampaikan protes.

Jumlah massa semakin bertambah dengan kehadiran masyarakat setempat terutama wong cilik.

Sekitar pukul dua siang terjadi lempar melempar batu kembali. Aparat TNI dan Polri kemudian membalas dengan menembakkan gas air mata, menyemprot dengan water canon dan memukul dengan pentungan.

Massa tercerai berai ke berbagai arah. Kerusuhan di depan Kantor PDI meluas seiring dengan gerakan massa yang dipukul mundur oleh aparat. Sepanjang jalan yang dilewati oleh massa, berbagai simbol kekuasaan politik dan ekonomi dirusak atau dibakar.

Dalam rekaman peristiwa berjudul Wilayah Kekerasan Di Jakarta {2009} yang disusun oleh Jerome Tadie peristiwa di depan Kantor PDI itu digambarkan mirip dengan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Juli ini kemudian dinamakan sebagai Kudatuli, singkatan dari kerusuhan dua tujuh juli.

Sehari setelah peristiwa itu, Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa anggota Komnas HAM melakukan investigasi atas kejadian Sabtu Kelabu itu. Mereka memimpin tim investigasi HAM dalam peristiwa Kudatuli.

Dalam catatan Komnas HAM, peristiwa itu menewaskan 5 orang, 149 luka-luka dan 23 orang hilang. Salah satu orang yang diduga kuat dihilangkan setelah peristiwa Kudatuli adalah Wiji Thukul, seorang penyair yang memimpin divisi propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaaan Partai Rakyat Demokratik.

Investigasi dari Komnas HAM mencatat ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli. Enam bentuk pelanggaran itu adalah pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat; pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut; pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi; pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia; dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

Oleh para pegiat HAM kasus Kudatuli diupayakan untuk diakui oleh negara dan pemerintah sebagai pelanggaran HAM serius, namun ternyata kasus ini tak pernah diurus dan diusut secara serius oleh negara.

Bahkan ketika orde baru telah dilengserkan dan Megawati salah satu sosok sentral dari peristiwa ini menjabat sebagai Presiden. Pun ketika PDI Perjuangan kemudian menjadi partai pemenang dan berhasil mendudukkan Joko Widodo sebagai Presiden selama dua periode.

Puncaknya ketika sosok yang dituduh sebagai dalang yakni Budiman Sujatmiko meninggalkan PDI Perjuangan dan kemudian bergabung untuk medukung Prabowo Subianto yang dimasa orde baru merupakan salah satu penggerak mesin pembunuh demokrasi.

BACA JUGA : Nasi Literasi 

Apa hubungan Budiman Sujatmiko dan PRD dengan Megawati sehingga Budiman dan kawan-kawannya dituding sebagai biang peristiwa 27 Juli?.

Tidak ada yang istimewa sebenarnya karena dalam pusaran perseteruan antara Megawati dan Surjadi, Budiman dan kawan-kawan hadir sebagai pihak yang peduli pada PDI Megawati yang dikuyo-kuyo oleh Regim Orde Baru.

Regim Orba memang bermaksud membantu Surjadi merebut kembali PDI dari tangan Megawati. Namun Megawati kukuh bertahan dan kemudian mendapat dukungan serta simpati dari kelompok di luar PDI.

Pada Juli 1996, Sutiyoso mengijinkan Megawati menempati Kantor PDI dengan syarat tidak boleh memobilisasi massa ke jalanan. Sebagai gantinya pendukung Megawati setiap hari menggelar Mimbar Demokrasi di halaman Kantor PDI.

Sekelompok aktivis termasuk dari PRD aktif berorasi. Bukan hanya mengutuk intervensi pemerintah pada PDI tapi juga mengkritik Suharto, Dwi Fungsi ABRI dan perilaku politik ekonomi orde baru lainnya.

22 Juli 1996, Panglima ABRI Feisal Tanjung menilai Mimbar Demokrasi di depan Kantor PDI sebagai tindakan ‘subversif’. Surjadi diberi angin untuk mengambil alih. Pemerintah dan ABRI meniupkan tuduhan gerakan demokrasi ini sebagai ‘lagu lama PKI’.

Mimbar Demokrasi kemudian dilarang. Surjadi kemudian bertemu dengan Suharto dan muncul tuduhan adanya ‘setan gundul’ yang memperalat PDI untuk kepentingannya sendiri.

Tuduhan yang merupakan kata ganti ‘PKI’ ini nampaknya ditujukan pada organisasi payung yang menamakan diri MARI atau Majelis Rakyat Indonesia. MARI merepresentasikan ragam spektrum masyarakat sipil yang sebagian besar dianggap ‘kiri’ dan mengkritik keras regim Orde Baru.

Baru sehari dideklarasikan, Kudatuli terjadi. Dan PRD, Budiman Sujatmiko dan teman-temannya kemudian diburu karena dianggap sebagai dalang dalam peristiwa ini.

Ada perintah dari para petinggi ABRI, untuk menemukan Budiman dan kawan-kawan hidup atau mati. Perintah tembak ditempat bahkan dimaklumatkan oleh mereka.

Dalam ketakutan, Budiman Sujatmiko dan kawan-kawan kemudian disembunyikan oleh Ignatius Sandyawan Sumardi.

Rohaniawan kelahiran Jeneponto yang memimpin Institut Sosial Jakarta ini melindungi Budiman dan kawan-kawan di safe house yang adalah rumah tinggal Benny Sumardi, kakaknya sendiri.

Namun persembunyian Budiman kemudian terbongkar ketika salah satu kurir PRD ditangkap aparat. Budiman dan kawan-kawan, Romo Sandy dan kakaknya kemudian diangkut oleh aparat TNI untuk diinterogasi.

Budiman kemudian diadili dan divonis 13 tahun penjara. Namun Budiman Sujatmiko yakin regim orde baru tak akan lama lagi bertahan. Dan keyakinan itu kemudian terbukti. Suharto tumbang dua tahun kemudian karena di penghujung kekuasaan menindas aspirasi demokrasi rakyat dengan sangat kuat.

Sampai dengan hari ini aktivis peduli HAM masih terus memperjuangkan penyelesaian kasus Kudatuli. Namun Budiman Sujatmiko sang bintang ternyata memilih untuk berada dalam posisi nyaman, berada bersama dengan sosok yang dulu bersebrangan dengannya dimasa sang mantan mertua berkuasa.