KESAH.ID Apa yang membuat media digital atau online bertahan melawan para konten kreator?. Salah satunya adalah advertorial atau pokir dari pemerintah baik eksekutif maupun legislatif. Iklan dan tarif yang dikenakan pada pelanggan tak lagi menjadi pilihan, karena sudah beralih ke moda lainnya. Masyarakat lebih bersedia membayar bukan untuk informasi berita melainkan hiburan yang disiarkan oleh OTT seperti Vidio, Netflix serta lainnya. Tempo dengan jurnalisme khas-nya berjuang agar tak tergulung oleh kecenderungan ini sembari mencari cara agar tetap bisa bertahan.

Jangan salah sangka, judul diatas sama sekali tak diniatkan untuk mengejek Tempo, majalah berita yang kini sedang hot lewat rubrik bocor alus itu.

Tempe memang sering dipersepsikan kurang positif gara-gara Sukarno di masa revolusi dalam pidatonya pernah menegaskan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang lembek seperti tempe.

Akibat semangat revolusioner itu tempe kemudian jadi analogi dari lemah, cenggeng, lembek dan lainnya. Muncul sindiran seperti mental tempe, pemuda kelas tempe, pasukan tempe dan lain-lain.

Padahal mestinya tempe itu membanggakan. Sebab tempe walau bahannya tidak asli dari Indonesia, olahan dari kedelai ini murni lahir di Nusantara. Sebagai makanan atau sumber energi, kandungan tempe terbukti juga joss dan menyehatkan. Tempe juga selalu enak, rasanya tak pernah bosan untuk menyantapnya.

Dan yang paling penting, tempe tak lekang oleh jaman. Karena olahan dari tempe terus bisa diperbaharui. Pizza dan burgerpun bisa dikreasi dari tempe.

Maka soal tempe saya tak akan mengikuti persepsi Sukarno. Saya lebih suka mengenang dan mengikuti pikiran teman saya ketika SMP. Namanya tak perlu disebutkan karena dia bukan bapak bangsa dan tak ingin juga jadi pahlawan.

Teman saya yang satu ini dari kecil pikirannya memang cenderung usil.

Dan salah satunya ketika dia memplesetkan slogan Tempo yakni enak dibaca dan perlu. Dia kemudian membuat hiasan di buku dengan huruf yang dipotong dari majalah Tempo.

Majalah tempo edisi lama itu ditilepnya dari Pastoran.

Dulu dia, saya dan beberapa teman lainnya di penghujung SMP memang sering tinggal di Pastoran, di ruang belakang. Dan kami selalu membaca majalan Tempo. Majalah yang kami ambil dari lubang angin WC pastor. Salah seorang pastor yang keturunan Belanda suka membaca majalah saat di WC.

Sampul majalan itu Tempo itu digunting oleh teman saya dan kemudian ditempel di buku sekolah yang covernya polos. Sepintas dari jauh seperti tulisan Tempo. Namun ketika diamati lebih jauh ternyata O-nya diganti dengan E, sehingga terbaca TEMPE. Jadilah Tempe, enak dimakan dan perlu.

Sejak saat itu saya menumbangkan pengaruh Sukarno, persepsinya pada tempe. Sayapun kemudian tak setuju dan meradang jika ada yang mengatakan “dasar tempe”, “mental tempe” dan lainnya.

Terus terang nasionalisme saya pada tempe memang tinggi. Pertama karena Nenek saya adalah pembuat dan pedagang tempe. Nasionalisme itu tidak luntur ketika kelak saya tahu kalau kedelai untuk bahan tempe itu diimport dari Amerika Serikat.

Kedua, karena saya dibesarkan oleh tempe. Ya tempe adalah salah satu bahan utama untuk lauk dan sayuran yang disajikan di meja makan sedari saya kecil. Jaman saya kecil itu jaman susah, masih banyak keluarga yang sering makan hanya berteman nasi dengan jelantah dan parutan kelapa.

Telur ayam itu istimewa apalagi dagingnya.

Apalagi daging sapi, wah jarang sekali. Seingat saya dulu di rumah bisa masak daging sapi cukup banyak kalau ada sapi tetangga yang sakit. Entah salah makan atau apa sehingga harus disembelih.

Sebelum disembelih, biasanya ada yang berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan untuk nempil.

Karena akrab dengan tempe, referensi masakan dan lauk hasil olahan dari tempe melekat erat di kepala saya. Makanya saya jadi sensitif jika ada yang merendahkan tempe.

Oh, iya di masa kecil saya, bukan hanya tempe dele yang saya akrabi tapi juga tempe koro dan tempe mlanding. Tempe mlanding yang dibacem itu enak sekali kalau dimakan dengan juadah atau untuk menemani mengunyah geblek yang kenyil-kenyil itu.

BACA JUGA : Cerewet Politik 

Tempo seperti tempe, memang enak diucapkan, mudah diingat.

Didirikan kurang lebih 50 tahun yang lalu, Goenawan Mohamad menjadi sosok paling terkenal diantara para pendirinya. Lewat Tempo, Goenawan dikenal melalui Catatan Pinggir.

Sejak awal berdirinya, Tempo memang punya filosofi sendiri yang berbeda dengan majalah-majalah yang lebih dahulu ada waktu itu.

Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Usamah, dan Christianto Wibisono, sepakat untuk mengubah corak majalah. Majalah mingguan yang terbit waktu itu bercorak seperti supermarket. Didalamnya memuat apa saja yang mereka rasa layak untuk dipublikasikan.

Tempo ingin membuat sejarah, memunculkan corak baru walau dilandasi oleh kenekatan dengan melahirkan majalah mingguan yang hanya berisi berita.

Tempo ingin dikenal sebagai majalah berita bukan cerita.

Maka di majalah tempo tidak ditemukan rubrik dapur, teka-teki silang, komik, cerita pendek, kotbah dan lain-lain.

Walau memperkenalkan sesuatu yang baru, Tempo bukanlah ide yang orisinil. Pendirinya tidak menafikan fakta bahwa gagasan tentang Tempo termasuk namanya terpengaruh oleh apa yang berkembang di luar negeri.

Di tahun 1933, Henry Luce mendirikan majalah Time di Amerika Serikat. Majalah yang kemudian menjadi model bagi majalah lainnya seperti Newsweek, L’Express dan Der Spiegel.

Time dan Tempo sama saja, artinya adalah waktu. Dan dalam dunia penerbitan waktu dengan segala variasi maknanya memang lazim dipergunakan sebagai nama di seluruh penjuru dunia.

Para pendiri Tempo tidak mengawali penerbitan majalahnya seperti para politisi yang akan mengajukan diri sebagai calon dalam kontestasi pemilu. Politisi biasanya melakukan survey lebih dahulu, pendiri Tempo tidak.

Maka ada kekhawatiran soal apakah filosofi yang dipakai oleh Tempo akan berhasil atau tidak dalam menarik perhatian pembacanya.

Sebagai majalah berita, Tempo ingin menyajikan informasi tidak hanya dengan menjejali data atau fakta bagi pembacanya. Tempo membawakan berita sebagai cerita, sebuah stimulan yang disukai oleh kebanyakan orang karena akan membawa pembacanya dalam sebuah kejadian.

Agar berita bisa dihadirkan sebagai cerita, maka jurnalisnya mesti mengulik sebuah kejadian secara mendalam. Istilahnya melakukan investigasi.

Karena filosofi ini kemudian Tempo di masa regim orde baru dibredel atau dibekukan dua kali.

Tahun 1982, Tempo dibredel karena pemberitaan tentang pemilu. Tempo mengkritik sangat tajam kedudukan Golkar sebagai kendaraan politik orde baru. Waktu itu Golkar sudah pasti memang duluan sebelum pemilu, dan kemenangan Golkar adalah jaminan bagi Suharto untuk dipilih kembali menjadi presiden.

Tempo berhasil terbit kembali, namun lagi-lagi dibredel pada tahun 1994. Menteri Penerangan Harmoko yang berlatar belakang jurnalis yang mengumumkan keputusan itu. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Suharto soal pembelian kapal bakas dari Jerman Timur.

Tak lama setelah Suharto lengser, Majalah Tempo terbit kembali bahkan kemudian juga melahirkan Koran Tempo. Masih mengusung model jurnalisme yang sama, Tempo yang kali ini tidak bisa dibreidel sering mengalami teror. Salah satu yang paling horor adalah ketika mengangkat isu soal Rekening Gendut Para Jenderal.

Benar, Tempo memang mudah diingat karena laporan-laporannya yang menggigit pihak=pihak tertentu.

BACA JUGA : Downtrading Rokok 

Tempo memang kerap ‘dibekukan’ karena gaya jurnalistik yang melawan kebekuan bahasa versi penguasa. Oleh penguasa, bahasa kerap dijadikan sebagai wahana politik semata untuk memperkuat doktrin-doktrinya.

Sukarno dikenal sebagai orator ulung, memikat lewat pidato-pidato. Namun dia cenderung memakai singkatan-singkatan yang membuat masyarakat membicarakannya tanpa kedalaman pikiran. Bahasa bukan lagi percakapan atau kontemplasi, tapi pengulangan dari yang diucapkan oleh penguasa.

Ketika berganti regim dari orde lama ke orde baru, penguasaan terhadap bahasa menjadi semakin brutal. Suharto juga suka memakai akronim yang sangat bercorak militer karena akronim yang dipakai meneruskan kebiasaan dari dokumen-dokumen militer.

Kedua regim ini sama-sama memiskinkan bahasa.

Tempo melakukan perlawanan lewat bahasa sehingga berita atau laporannya tidak memiskinkan pikiran.

Dalam dunia jurnalistik dikenal istilah jurnalisme sastrawi. Sama seperti model jurnalisme lainnya, fakta tetap dimuliakan. Namun dalam jurnalisme sastrawa, fakta disajikan dengan formula. Berita ditulis dengan gaya sehingga enak dinikmati sebagaimana halnya sebuah cerita.

Enak dibaca dan perlu mungkin slogan yang umumnya dikenal oleh pembaca Tempo. Namun dibalik itu semua sebenarnya ada slogan 4 J, Jujur, Jernih, Jelas dan Jenaka.

Tempo memang tempe, bernas dan bergizi. Selalu enak disantap dan dinikmati sebagai lauk dan sayur, juga sebagai camilan.

Hanya saja dengan semua upayanya, musuh dari narasi versi berita tempo bukan lagi regim penguasa melainkan jaman.

Paska reformasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan cepat berkembang. Internet mengalami perkembangan yang tak tertahankan. Semua menjadi serba online, virtual dan digital.

Informasi dan pengkabaran meledak lewat web serta media sosial. Karakter diet informasi masyarakat berubah. Semua menjadi serba cepat dan serba mudah.

Menyajikan berita yang bercerita jelas butuh waktu, usaha yang lebih dan juga biaya yang besar. Dan jelas Tempo mulai kedodoran menanggung semua itu.

Masyarakat lebih memilih yang serba instan, apa-apa yang lagi viral. Maka yang lebih cuan adalah para konten kreator yang jeli mengudar cerita dan narasi yang tidak serba dalam, tanpa kritisisme. Yang penting adalah engagement dan viewer karena dari sanalah adsense dan endorse akan berkembang.

Perjuangan Tempo semenjak setengah abad lalu makin berat.

Ada banyak kelompok penerbit yang sama tua atau lebih muda dari Tempo bertumbangan. Tak kuat lagi menanggung beban visi misinya. Peralihan dari media konvensional ke media digital tak selalu berlangsung mulus, terutama dalam kesediaan masyarakat untuk membayar informasi yang diperolehnya.

Media digital atau online yang sampai saat ini bertahan adalah media yang bukan bertekun memikirkan bagaimana berita membawa kemaslahatan, melainkan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk melestarikan hubungan dengan ‘penguasa’ agar pokir atau advetorialnya bisa makin besar dari waktu ke waktu.

Semoga Tempo tetap bisa bertahan tanpa mengkhianati filosofinya.

note : sumber gambar – VOI