KESAH.ID – Obrolan politik tak pernah surut, beberapa tahun sebelum pemilu presiden dan legislative 2024 sudah mulai mengencang. Usai pilpres ternyata tak mereda karena diikuti oleh pemilu kepala daerah serempak. Politik dimana-mana, sosok yang mendadak politikpun tiada dua. Pada sisi lainnya kehidupan politik ternyata tak membaik.
Bersandar di dinding yang saat hujan terasa lembah karena atap diatasnya menyisakan ruang untuk air masuk di selanya, Alul menatap nanar deret pusara tak jauh di depannya yang sebagian tak terawat.
Kopi yang dipesannya mulai disinggahi lalat karena gelasnya jarang diangkat untuk disesap isinya.
Karena terdiam cukup lama, saya pun membuka inisiatif untuk mulai berbual.
Saya mulai mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke 32. Sejarah kepresidenan di Amerika Serikat juga mencatat dirinya sebagai satu-satunya presiden yang terpilih empat kali, dua kali lipat dari yang diperbolehkan oleh konstitusi Amerika Serikat.
Dia mengatakan “In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way”
Sengaja saya kutip dalam bahasa aslinya walau mungkin pengucapannya tidak sempurna. Selain matematika, pelajaran bahasa Inggris tak terlalu saya suka ketika duduk di bangku sekolah.
Alul pun tersentak mendengar ucapan saya yang meminjam kata-kata politikus paling licin di Amerika Serikat itu.
“Makanya hentikan saja tahapan pemilu, kalau calonnya cuma satu. Langsung lantik saja,” sambarnya seusai saya melafalkan kata-kata Franklin D. Roosevelt itu.
Kini saya yang tersentak mendengar kata-kata Alul yang entah maksudnya apa.
Saya mencoba mencernanya, arah mana yang hendak dituju oleh kalimat yang terucap dari mulutnya yang sedari tadi membisu itu.
“Pasti kotak kosong ini,” tebak saya.
Ternyata betul, Alul merana karena sedang diserang oleh netizen gegara postingannya di media sosial yang terus menerus menggugat tendensi soal kemungkinan seorang kandidat melawan kotak kosong dalam pilkada serentak 2024 ini.
Alul seperti shock karena tak menduga akan disebut sebagai orang cerewet, banyak mulut saja.
Rupanya ada yang menulis di kolom komentar postingannya begini “Kalau jago, kenapa kamu tidak maju untuk menjadi lawannya,”
Anjrit, sambaran komentar netizen itu memang seperti angin ribut. Semua disapu tak perduli kalau komentarnya bernada jumping conclusion.
Rata-rata orang memang cara berpikirnya begitu ketika berhadapan dengan kritisisme atas kondisi tertentu. Seolah yang mengkritisi dianggap punya niat tertentu. Kalau mengkritisi pilkada maka dianggap sebagai orang yang ingin mencalonkan diri. Kritisisme dianggap sebagai ‘sarik’ atas orang lain.
Di-sariki banyak orang sebenarnya hal biasa untuk Alul. Sejak kecil pikirannya memang sering agak-agak lain dari yang lain. Kalau bicara soal politik, nada pikirannya memang lebih banyak minornya.
Alul selalu merasa kalau politik harus rasional.
Baginya pilkada yang diiikuti salah satunya oleh kotak kosong jelas tidak rasional walau diijinkan oleh konstitusi. Seperti halnya Franklin D. Roosevelt, pilkada dengan kotak kosong bagi Alul bukanlah kebetulan atau tidak disengaja.
Kalaupun kelihatan seperti terjadi begitu saja, itu semua memang direncanakan begitu. Biar masyarakat luas melihat seolah-olah itu alamiah belaka.
BACA JUGA : Politik Kosong
Saya berusaha menyelami pikiran Alul yang resah menghadapi kejumudan politik menjelang pilkada 2024 ini.
Walau bukan merupakan pengamat politik yang mumpuni, saya tetap memperhatikan kehidupan politik sesuai dengan kapasitas otak saya yang terus terang memang kerap tak paham pada logika permainan politik praktis.
Menjelang pemilu legislatif 2024 lalu, logika di pemikiran otak saya masih bisa menerima ketika partai-partai membuka pintu pendaftaran untuk caleg 2024. Sebab partai butuh melengkapi daftar panjang calon anggota legislatif dari partainya untuk disetor ke KPU dan disahkan.
Melengkapi jumlahnya yang begitu banyak tentu saja cukup sulit sehingga membuka pintu untuk orang di luar partai menjadi masuk akal untuk dijadikan sebagai jalan keluar. Sebab kalau tidak dipenuhi bisa-bisa keikutsertaan partai dalam pemilu dibatalkan.
Tapi jika cara itu kemudian diterapkan untuk menghadapi pilkada serentak untuk saya menjadi tidak masuk akal. Otak waras saya tidak bisa menerima karena yang dibutuhkan oleh partai hanya satu orang.
Masak tidak ada orang di partainya yang mampu atau layak untuk diajukan menjadi calon?.
Bukankah partai adalah kawah candradimuka untuk mengodok calon-calon pemimpin?.
“Itu dia, masak partainya puluhan lalu yang maju cuma satu pasangan?” gugat Alul.
Ya, menjelang pilkada serentak 2024 ini partai-partai kebanyakan bertindak seperti calo, atau bahkan biro jodoh.
Politik memang perlu lobi, tapi itu bukan percaloan.
Saya mencoba mengajak Alul menganalogikan partai sebagai klub bola. Karena klub-klub yang hebat selalu mencoba mencetak pemain hebat lewat akademi sepakbolanya, bukan dengan menikung klub lain lewat iming-iming transfer yang maha besar.
Lihat saja, 7 pemain sepakbola yang tercatat sebagai pemegang trofi terbanyak, 4 diataranya yakni Lionel Messi, Adres Iniesta, Sergio Busquet dan Gerard Pique adalah pemain Barcelona hasil didikan dari Akademi La Masia, milik klub sepakbola Barcelona.
Dengan mendidik sendiri calon-calon pemain bintangnya, Barcelona mampu memainkan sepakbola sesuai dengan filosofi klub-nya, sebab pemainnya sejak dini sudah dididik dalam filosofi itu.
Tak heran jika kemudian Barcelona mencatatkan diri sebagai yang paling banyak menyumbang pemain dengan berjibun trofi. Selain empat pemain didikan akademi La Masia, dua pemain lainnya yakni Maxell dan Dani Alves juga tercatat sebagai pemain Barcelona.
Sekarang kembali ke pilkada, para calon yang muncul baik yang kemudian mengemuka dan yang lainnya tenggelam itu hasil didikan sekolah partai mana?.
Kebanyakan dari mereka drop out. Meloncat dari partai ini ke partai itu. Atau mirip guru besar abal-abal, yang tidak mempunyai jam terbang mengajar yang panjang, penelitian yang dalam dan pengabdian masyarakat yang tulus tiba-tiba saja dianugerahi gelar professor.
Pun begitu di partai. Tiba-tiba seseorang bisa punya jabatan ini dan itu tanpa terlihat jelas rekam jejak panjangnya di partai tersebut. Selalu ada karpet merah untuk sosok-sosok tertentu yang tak terbukti pernah mendapat label ‘wonder kid’ dari sekolah politik.
BACA JUGA : Oseng Mercon
Alul makin bersandar pada tembok, basah di baju karena lembabnya tembok tak dirasakan. Tubuhnya panas karena otaknya serasa mendidih. Gelas kopi yang isinya mendingin dibiarkan saja hingga jadi kolam renang untuk lalat yang tergelincir ke dalamnya.
“Pendidikan politik kita gagal. Konstituen atau masyarakat dianggap fans para idol. Masyarakat dipesona oleh daya tarik persona dengan rejeki. Pilkada dipromosikan sebagai peristiwa besar bagi-bagi rejeki untuk pemilih,” terang Alul agak panjang.
Ah, Alul mulai meloncat lagi ke politik transaksional. Money politics.
Benar juga, partai memang tak mau membuang uang untuk talent scouting. Bahkan lebih buruk lagi mereka menunggu sang talent datang mendaftar untuk membawa uang.
Jika sang talent beruang. Niscaya banyak yang bersedia menjadi ‘relawan’ tim pemenangan. Sebab walau namanya relawan, sang talent tetap akan menghormati waktu dan tenaganya. Semua akan ada biaya penggantian.
Memang tidak ada makan siang gratis dalam politik. Walau makan siang yang dijanjikan kemudian sering dikoreksi harga per paketnya.
Membuka pintu bagi yang ingin maju untuk mendaftar sepertinya menunjukkan keterbukaan partai untuk mendapatkan calon terbaik. Tapi anggapan itu tak terbukti, karena bagaimana partai menyeleksi mereka yang mendaftar tak pernah jelas untuk masyarakat. Yang sering ditunjukkan lewat berita atau postingan lainnya adalah kehadiran sosok-sosok dan kemudian foto-fotonya.
Keaktifan partai untuk melakukan penjaringan pada dasarnya adalah bentuk kemalasan untuk melakukan pengembangan dan seleksi dari dalam. Jauh lebih mudah hanya membuka pintu dan menunggu orang datang untuk meminang.
Harapan untuk munculnya calon berkualitas menjadi setipis rambut. Alulpun mulai mengelus-elus rambutnya yang mulai rontok di bagian tengah. Dari belakang mulai kelihatan membotak.
Laju kebotakan rambut Alul makin cepat karena kepalanya sering overheat gara-gara memikirkan orang-orang yang mendadak politik. Kemunculan banyak nama yang tak dikenal namun tiba-tiba punya ambisi kekuasaan, membuat akal sehat Alul memberontak.
Jalan menuju kekuasaan memang sesak. Namun yang lebih menyesakkan ternyata ada yang berupaya untuk menutup jalan untuk yang lainnya. Alul pusing karena pemilu langsung yang merupakan satu-satunya persaingan dalam demokrasi telah diciderai oleh mereka yang mau menang tanpa bertarung dengan lawan.
Mereka lebih memilih bersaing dengan benda mati, ketimbang beradu gagasan dengan calon lainnya.
Untuk apa buang uang kalau pemilu hanya diikuti oleh satu pasangan calon melawan kotak kosong.
Kenapa tak langsung dilantik saja?. Tanya Alul dalam hati.
“Sudahlah Lul, kenapa kamu cerewet sekali soal politik,” Entah suara itu datang dari mana tapi Alul mendengarnya dengan jelas lalu mulai meminum kopinya yang telah dingin dan dipolusi oleh lalat.
note : sumber gambar – KOMPAS