KESAH.ID – Kampanye dan advokasi anti rokok berhasil melampaui wilayah kesehatan. Aksinya bahkan berhasil mendapat dukungan politik kebijakan dari menteri keuangan. Setelah sebelumnya kementerian informasi melarang iklan rokok yang ekplisit di media, giliran berikutnya menteri keuangan mendukung upaya mengurangi konsumsi rokok dengan cara menerapkan kenaikan cukai hasil tembakau dengan prosentase tinggi. Tetapi selalu ada jalan lain ke Roma. Harga rokok mainstreams yang melonjak kemudian memunculkan popularitas tembakau linting dan rokok-rokok murah, rokok yang mungkin diproduksi oleh industri rumahan. Perokok kemudian beralih, membeli produk rokok murah. Penerimaan negara dari cukai hasil tembakaupun terkonstraksi dua tahun belakangan ini.
Dalam kebudayaan manapun anak-anak kecil selalu menjadi obyek larangan untuk mengkonsumsi ini dan itu. Ada banyak hal yang dianggap tidak pas atau tak layak dinikmati oleh anak-anak.
Kopi misalnya,dulu anak-anak dilarang minum kopi karena kopi dianggap sebagai minuman orang tua. “Cepat tuan anti,” begitu cara orang tua melarang anak-anaknya ikut mencicipi kopi.
Saya ingat waktu kecil dulu juga dilarang makan brutu ayam. Katanya nanti cepat pikun.
Tapi tak semua orang tua kekeuh dengan larangan seperti itu. Kadang-kadang ada saja orang tua yang longgar.
Mbah saya termasuk salah satu diantaranya, utamanya untuk urusan coba-coba menghisap tembakau.
Waktu kecil dulu, saya dan teman-teman sepermainan memang sering sembunyi-sembunyi belajar merokok. Kadang yang kami isap memang rokok beneran, tetapi sering juga batang ketela kering, atau rambut jagung kering yang digulung dengan kulitnya.
Rokok waktu itu memang masih murah. Pabrik rokok rumahan juga ada di sekitar rumah saya. Jadi kalau main-main kesana kami bisa mengambil satu atau dua batang.
Semakin bertambah umur, semakin besar keinginan untuk coba-coba merokok.
Makanya dulu saya senang sekali jika ada undangan kenduren lalu bapak saya menyuruh saya yang pergi. Tak pikir panjang lagi pasti saya akan bilang iya. Soalnya di kendurenan biasanya akan disajikan rokok. Rokok akan ditaruh dalam gelas, sehingga saya bisa mengambil dua atau tiga batang sekaligus lalu saya simpan dalam lipatan sarung.
Saya rutin merokok sejak duduk di bangku SMA. Pagi-pagi sambil menunggu kendaraan umum untuk pergi ke sekolah, saya menghisap sebatang. Jika cepat sampai di sekolah, biasanya saya nongkrong lebih dulu di warung tak jauh dari pintu gerbang sekolah untuk mengepulkan asap bersama beberapa teman.
Pulang sekolah juga demikian. Setidaknya waktu itu sehari saya merokok kurang lebih 5 sampai 6 batang.
Bapak dan ibu tahu kalau saya merokok. Tapi mereka hanya marah kalau menangkap basah, memergoki ketika saya tengah mengepulkan asap.
Bapak saya bukan perokok aktif tapi perokok sosialita. Jadi kadang membeli rokok lalu menghisapnya jika ada tamu yang perokok. Sisa rokok biasanya disimpan dalam lemari.
Saya kadang-kadang mengambil satu dua batang. Namun kadang keterusan sehingga bapak sadar kalau rokoknya berkurang dengan cepat. Sekali dua kali saya dimarahi karena hal itu.
Rokok yang terkenal waktu itu tidak beda-beda jauh dari sekarang. Ada Djarum Kudus, dengan Djarum Super dan Filtra. Djarum Super terkenal sekali, sementara Filtra akhirnya disuntik mati. Lalu ada Gudang Garam yang terkenal karena sigaret kretek tangan Gudang Garam Merah. Sedangkan sigaret kretek mesinnya adalah Gudang Garam Internasional dan Gudang Garam Coklat. Djarum Kudus juga punya sigaret kretek yang terkenal yakni Djarum 76.
Perusahaan rokok lainnya yang terkenal adalah Bentoel. Tampil khas dengan rokok yang lebih pendek dan gemuk lewat Bentoel Biru.
Dan tentu saja H.M Sampoerna yang mahsyur dengan Djie Sam Soe dan Sampoerna Hijau.
Masih ada pabrik lainnya yang cukup terkenal seperti Wismilak, Norojono, Sriwedari dan lain-lain namun tak pernah melampaui nama Djarum, Gudang Garam dan Sampoerna.
BACA JUGA : Oseng Mercon
Seperti halnya kopi, tembakau bukan tanaman asli dari bumi nusantara. Namun mother earth tanah nusantara walau bukan ibu kandungnya mampu menghasilkan berbagai jenis daun tembakau yang mahsyur hingga manca negara.
Bersama dengan kopi, tembakau menjadi mesin uang bagi kolonial Belanda dan menyisakan banyak kisah nestapa tentang kerja paksa. Di Pulau Sumatera ada banyak catatan tentang pekerja-pekerja diangkut dari Jawa untuk dipekerjakan di pekebunan tembakau atau kopi disana.
Daerah Sumatera Timur yang meliputi Aceh, Langkat, Asahan, Deli Serdang hingga Labuan Batu menjadi pusat perkebunan tembakau. Di buka pertama oleh Jacob Nirenhuis, usahanya berkembang pesat hingga berdiri Deli Maatschappij di tanah konsesi yang diberikan oleh Sultan Deli.
Tembakau Deli kemudian termashyur sebagai salah satu tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu.
Tembakau kelas dunia lainnya juga dihasilkan oleh Temanggung dan Madura.
Pasar tembakau dunia yang dikuasai oleh VOC kemudian terkonstraksi. Komoditas tembakau surut secara ekonomi. Dan di Sumatera, kebun tembakau kemudian berganti menjadi kebun karet.
Setelah era kolonial, tembakau masih menjadi tanaman rakyat. Konsumsi tembakau di dalam negeri tetap tinggi. Selain rokok, tembakau juga digunakan sebagai pelengkap sirih pinang.
Merokok kemudian menjadi bagian dari budaya dan tradisi nusantara terutama di Jawa. Kisah tentang peracik rokok menjadi populer. Dalam kisah tradisional peracik rokok digambarkan lewat cerita Roro Mendut. Versi modernnya muncul dalam serial Netflix dengan judul Gadis Tembakau.
Kedekatan tembakau dengan kehidupan masyarakat Nusantara tercermin dalam rokok khas Indonesia yang disebut kretek. Sebutan ini muncul dari tembakau yang diberi tambahan cengkeh dan bahan lainnya sehingga saat dihisap memunculkan bunyi yang kemudian dideskripsikan kretek-kretek.
Ketika berkembang menjadi industri rokok kretek kemudian dibedakan menjadi Sigaret Kretek Tangan dan Sigaret Kretek Mesin atau rokok non filter dan rokok filter.
Selain rokok kretek ada juga rokok siong atau rokok klembak menyan. Rokok ini dikerjakan dengan tangan dan masih terkenal di daerah Jawa Tengah terutama kedu bagian selatan.
Disamping rokok industri, masyarakat juga membuat rokok sendiri. Rokok linting buatan sendiri itu dikenal dengan sebutan tingwe atau nglinting dewe.
Seingat saya ada juga yang merokok memakai pipa cangklong, walau jarang. Di kampung halaman saya hanya ada satu Eyang Sepuh yang dikenal merokok dengan pipa cangklong. Saya sering mencium aroma harum rokoknya karena rumahnya tak jauh dari rumah saya.
Meski menjadi salah satu komoditas andalan petani dan selalu memasukkan para produsen rokok dalam daftar orang terkaya di Indonesia, rokok dan tembakau perlahan-lahan dimusuhi. Rokok terutama dipandang negatif karena dianggap memunculkan banyak penyakit baik bagi perokok maupun orang lain lain yang menghirup asapnya {perokok pasif}.
Kampanye anti rokok atau anti tembakau pun menguat di Indonesia.
BACA JUGA : Cerewet Politik
Kampanye anti tembakau atau anti rokok perlahan-lahan mengambil kemerdekaan para perokok. Rokok semakin dibatasi dalam ruang publik, perokok tak bebas lagi mengepulkan asapnya.
Yang pertama dibebaskan dari rokok adalah lingkungan instansi kesehatan dan pendidikan, kemudian diikuti oleh sistem transportasi umum. Menjelang awal tahun 2000-an mulai muncul ruang khusus merokok di fasilitas-fasilitas publik. Penerbangan pun steril dari asap rokok.
Ketika kencang-kencangnya kampanye anti rokok, sebagai perokok saya mulai merasakan persepsi negatif atas kebiasaan ini. Perokok dianggap layaknya penderita kusta.
Dulu yang tidak suka rokok akan menyingkir jika ada asap rokok. Sekarang yang tidak menyukai rokok secara demonstratif akan mengusir perokok untuk menyingkir.
Jamannya berbalik, perokok tak bisa gagah-gagahan lagi seperti dahulu kala. Merokok mesti tahu diri jika tak ingin dihujat.
Addvokasi kaum anti rokok makin kuat, bukan lagi hanay di sektor kesehatan melainkan juga sektor keuangan. Menteri Keuanganpun kemudian dipengaruhi untuk ikut serta dalam program mengurangi atau bahkan memberantas perokok.
Jalan yang ditempuh oleh kementerian keuangan adalah meningkatkan cukai hasil tembakau.
Logikanya jika rokok mahal maka konsumennya akan berkurang terutama anak muda dan remaja yang belum punya penghasilan sendiri.
Dengan beberapa kali kenaikan, harga rokok kemudian memang terasa mahal, terutama rokok-rokok mainstreams yang pemiliknya masuk dalam daftar orang-orang kaya di Indonesia.
Masyarakat kebanyakan mulai berpikir sayang untuk membuang uang. Sekilas tujuan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau mulai berhasil.
Tapi bagaimanapun juga rokok sudah menjadi kebutuhan bagi banyak orang sehingga mesti ada jalan untuk memecahkan urusan harga rokok yang kemudian sudah kelewatan itu.
Seiring dengan kenaikan cukai rokok, kemudian muncul tren penjual tembakau linting dewe. Bukan hanya tembakau dan kertas tembakau melainkan juga alat linting dan filter. Membuat rokok ala-ala sigaret kretek mesin bisa dilakukan sendiri di rumah.
Soal rasa, jangan khawatir. Tembakau yang dijual di kios-kios banyak varian rasa dan aromanya.
Di sisi lainnya, kenaikan cukai hasil tembakau kemudian juga memunculkan kembali produsen-produsen rokok rumahan yang dulu lesu karena kalah bersaing dan kalah gengsi dengan pabrik rokok besar.
Rokok produksi mereka jauh lebih murah karena cukainya lebih rendah. Bahkan banyak juga yang ilegal, karena cukainya tak sesuai atau bahkan mungkin saja palsu.
Sebagai perokok, kini saya bahkan bingung dengan banyaknya merek rokok yang ada di warung-warung. Jumlahnya banyak sekali dan selalu ada rokok-rokok baru yang tak perlu dihafal namanya, karena beberapa waktu kemudian akan menghilang.
Kecenderungan ini ternyata membuat penerimaan negara dari cukai hasil tembakau terkontraksi. Penerimaan cenderung menurun namun nampaknya jumlah perokok tak berkurang.
Pendekatan mengurangi jumlah perokok dengan menaikkan cukai, sama tak berhasilnya dengan pemberantasan korupsi dengan cara menaikkan gaji.
Dua-duanya hanya menghasilkan kisah sukses yang anekdotal.
note : sumber gambar – AKTUALNEWS