KESAH.IDTulisan ini merupakan tulisan tamu yang dikirimkan melalui platform perpesanan tanpa disertai identitas penulis alias anonim. 

Si vis pacem parabellum, ungkapan dalam bahasa latin ini secara harafiah berarti “Jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang”.

Dari sisi maknawi ungkapan ini membawa paradoks karena damai bisa dicapai dengan perang. Ungkapan ini menyiratkan bahwa damai, keadaan yang begitu sulit diraih dan dicari. Damai bukan sekadar ketiadaan konflik, melainkan hasil dari kekuatan dan kewaspadaan.

Untuk mencari damai, kita harus terlebih dahulu mengakui realitas konflik dan potensi kekerasan. Ini adalah pengakuan bahwa dunia bukanlah tempat yang murni harmonis, melainkan medan pertempuran ide, kehendak, dan hasrat.

Dalam keadaan darurat, terutama dalam demokrasi, ketegangan antara damai dan konflik ini menjadi semakin tajam. Demokrasi, dengan segala cita-citanya, hidup dari dialog, kompromi, dan supremasi hukum. Demokrasi adalah sistem yang menjunjung tinggi hak individu, bahkan di tengah tekanan kolektif. Namun, ketika api krisis membara, ketika tenunan masyarakat tercabik-cabik, ideal demokrasi diuji.

BACA JUGA : Pawang Hujan

Bayangkan berdiri di persimpangan dua jalan: satu menuju kenyamanan tidur, terbungkus hangatnya selimut, dan satu lagi menuju kekerasan jalanan, di mana udara penuh dengan bau pedih gas air mata.

Selimut melambangkan yang akrab, yang aman, pilihan untuk mundur ke dalam zona nyaman.

Tetapi jalanan, dengan gas air mata dan kekacauan, melambangkan perjuangan, pertarungan untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Ini adalah jalan bagi mereka yang menolak terlena dalam kelalaian, yang mengerti bahwa damai sejati sering kali menuntut pengorbanan, rasa sakit, dan konfrontasi.

Dalam demokrasi yang terancam, pilihan untuk “tidur nyenyak dengan selimut” mungkin berarti menyerah pada otoritas, melepaskan hak-hak demi janji keamanan. Pilihan ini menggoda, karena siapa yang tidak mendambakan kedamaian dan keselamatan di masa-masa genting? Namun, pilihan ini juga bisa mengarah pada pengikisan kebebasan yang merupakan substansi utama demokrasi.

Sebaliknya, keputusan untuk “tidur di jalanan dengan gas air mata” adalah pilihan mereka yang waspada, para pembangkang, yang mengerti bahwa demokrasi harus dibela, bahkan dengan biaya pribadi yang besar.

Ini adalah pengakuan bahwa damai bukan sekadar ketiadaan perang, tetapi kehadiran keadilan, kebebasan, kemampuan untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan. Jalan ini penuh bahaya, namun inilah jalan yang menjaga semangat demokrasi tetap hidup, memastikan bahwa ia tidak menjadi cangkang kosong, tanpa nilai-nilai yang mendasarinya.

BACA JUGA : Pecah Telur

“Bersiap untuk perang” dalam konteks ini bukanlah mencari kekerasan demi kekerasan, tetapi mempersiapkan diri untuk perjuangan yang tak terhindarkan dalam membela apa yang benar dan adil. Ini adalah pemahaman bahwa dalam keadaan darurat, kekuatan sebuah demokrasi tidak terletak pada seberapa mudahnya ia tunduk pada kehendak yang kuat, tetapi pada seberapa gigih ia melindungi hak-hak yang lemah.

Maka, para bellum bukan sekadar panggilan untuk angkat senjata, tetapi panggilan untuk kewaspadaan, untuk kesiapan membela damai dengan seluruh kekuatan dan keberanian yang bisa dihimpun. Ini adalah pemahaman bahwa damai sejati diperoleh, bukan diberikan, dan bahwa terkadang, untuk tidur dengan tenang esok hari, kita harus rela tetap terjaga hari ini, meskipun itu berarti menghadapi kenyataan pahit dari jalanan yang terbentang di depan.

note : sumber gambar – INTERNATIONALLAW