KESAH.ID – Kemana-mana, begitu efek domino sebuah peristiwa bekerja. Kerap tak terduga siapa yang akan tersangkut. Umumnya efek domino melebar karena mulut, tidak hati-hati dalam berkata. Inginnya mendinginkan suasana tapi malah membuat suasana makin jadi panas. Kata selalu punya makna dan makna tidak tergantung pada apa yang dituliskan di kamus. Kata tidak berada dalam ruang hampa, tafsir atau pemaknaanya bisa berkembang. Maka berhati-hatilah dalam memilih kata atau diksi, jangan sampai niatnya untuk menyampaikan simpati yang dituai justru antipati.
Reaksi berantai bisa terjadi atau dipicu oleh sebuah kejadian yang kemudian menimbulkan rangkaian kejadian serupa atau terkait. Fenomena ini sering disebut sebagai efek domino.
Perang dagang antar negara misalnya bisa memicu penutupan pabrik, pemutusan hubungan kerja yang berdampak pada bertambahnya pengganguran, kemiskinan meningkat yang kemudian bisa memicu peningkatan aksi kejahatan, kekerasan, perpecahan atau perceraian dalam rumah tangga dan lainnya.
Atau kepunahan ular di ekosistem sawah, bisa berdampak pada kegagalan panen bagi petani karena ketiadaan ular memicu berkembangnya tikus yang kemudian memakan atau merusak tanaman petani. Gagal panen membuat petani terjerat hutang karena tak memperoleh penghasilan, anak-anaknya menjadi tak punya ongkos sekolah lalu putus sekolah. Anak perempuan mungkin akan dinikahkan dalam usia muda dan seterusnya.
Namun yang disebut efek domino tidak selalu bermakna buruk, ada juga efek domino yang positif. Di jaman pemerintahan Orde Baru dikenal istilah trickle down efect, pemerintah yang sangat terbuka pada investasi membayangkan jika investor berhasil maka hasilnya akan menetes ke bawah. Para konglomerat yang punya banyak perusahaan itu akan membuka lapangan kerja, pekerjaan menjadi mudah, masyarakat kemudian akan sejahtera dan tinggal landas dari kemiskinan.
Tetapi sebuah peristiwa bisa juga menimbulkan efek domino positif sekaligus negatif.
Kasus Gus Miftah bisa menjadi contoh. Ucapannya yang bernada ejekan atau merendahkan seorang penjual es teh membuat dirinya dikecam. Kecaman yang datang dari mana-mana itu kemudian membuatnya memutuskan untuk mundur sebagai Utusan Khusus Presiden.
Keputusan untuk mundur ini kemudian memunculkan sentimen positif untuk dirinya. Gus Miftah kemudian menjadi contoh langka dari seorang pejabat yang ketika dianggap salah bukan hanya meminta maaf saja melainkan juga berani undur diri karena merasa tidak tepat untuk mengemban amanat negara.
Untuk Pak Sunhaji yang dinista, tentu dirinya hanya bisa memendam sakit hati. Namun kemudian empati dan simpati membanjirinya. Pak Sunhaji kemudian memperoleh penghiburan bukan hanya dalam bentuk harta benda dengan nilai ekonomi, melainkan juga pemberian bernilai spiritual religi. Pak Sunhaji diumrohkan, walau menurut Sujiwo Tejo sebenarnya tak perlu karena dia sudah haji.
Gus Miftah bukan hanya penceramah, tetapi juga merupakan tokoh publik dan juga negara. Jadi efek domino dari ucapannya yang kurang pantas memang kemudian melebar-lebar. Urusan dengan negara atau pemerintah sebenarnya sudah selesai, Gus Miftah sendiri mengatakan kalau Sekretaris Kabinet yakni Mayor Teddy sudah menegur atas arahan Presiden.
Namun ternyata ada komentar dari Juru Bicara Presiden yang kemudian menjadikan suasana kembali panas. Juru bicara Istana Kepresidenan saat merespon polemik tentang Gus Miftah dan Sunhaji, pedagang es teh terlontar diksi yang tidak dianggap tidak tepat untuk menyebut rakyat kecil atau rakyat biasa.
Dia menyebut rakyat jelata, untuk memberi penekanan bahwa Presiden Prabowo sangat peduli pada rakyat kecil atau wong cilik.
Juru bicara yang bernama Adita Irawati kemudian dirujak oleh netizen.
Adita sebelumnya merupakan Juru Bicara Kementerian Perhubungan. Sebelumnya juga pernah bekerja sebagai staf khusus Presiden Joko Widodo. Dia juga pernah menduduki jabatan sebagai Vice President Coorporate di PT Telekomunikasi Seluler atau Telkomsel.
BACA JUGA : Mlaku Mlaku
Sebelum mengakhiri jabatan periode kedua, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden {Perpres} No. 82 Tahun 2024 tentang Kantor Komunikasi Presiden.
Presidential Communication Office atau PCO menurut perpres mempunyai fungsi utama untuk melakukan analisis isu atau informasi aktual yang strategis dan politik terhadap kebijakan program prioritas Presiden.
Selain itu juga melakukan diseminasi informasi dan media komunikasi kebijakan strategis program prioritas Presiden. Serta, koordinasi dan sinkronisasi informasi antar kementerian atau lembaga yang terkait terhadap kebijakan yang akan dijalankan.
Presiden Joko Widodo menunjuk Hasan Nasbi, pendiri lembaga konsultasi politik Cyrus Network sebagai kepalanya.
Ketika pelantikan menteri, wakil menteri dan kepala badan, Hasan Nasbi juga dilantik oleh Presiden Prabowo sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Setelah dilantik oleh Presiden, Hasan Nasbi kemudian melantik pejabat dalam jajaran Kantor Komunikasi Kepresidenan. Turut dilantik pula enam orang juru Kantor Komunikasi Kepresidenan. Beberapa diantaranya adalah figur-figur yang cukup dikenal publik karena profesinya. Mereka adalah Philips Jusario Vermonte, Prita Laura, Ujang Komarudin, Dedek Prayudi, Hariqo Wibawa Satria, dan Adita Irawati.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, istilah juru bicara secara resmi baru diperkenalkan pada masa pasca reformasi, saat Gus Dur atau Abdurrahman Wahid menjabat presiden, Kabinet Persatuan Nasional mempunyai tiga juru bicara yang diketuai oleh Wimar Witoelar. Dua juru bicara lainnya adalah Adhie Massardi dan Yahya Cholil Staguf.
Di masa orde baru, Suharto tidak pernah secara resmi mempunyai juru bicara. Namun Menteri Sekretaris Negara yang umumnya akan menyampaikan pesan pemerintah kepada publik. Moerdiono kerap disebut sebagai juru bicara, gaya bicaranya pelan dan sangat hati-hati. Padahal para jurnalis mengenalnya sebagai orang yang suka sekali ngobrol santai dengan wartawan.
Selain Moerdiono, Harmoko yang menjabat sebagai Menteri Penerangan juga kerap menyampaikan rencana pembangunan dan kebijakan-kebijakan Suharto. Saking seringnya tampil, Harmoko dijuluki Hari Hari Omong Kosong.
Lalu menjelang Suharto lengser, Saadilah Mursjid yang juga menjabat sebagai Mensekneg memerankan diri sebagai juru bicara pemerintah.
Ketika Suharto digantikan oleh Habibie, Dewi Fortuna Anwar yang saat itu menjabat Asisten Mensekneg mengambil peran sebagai juru bicara.
Sewaktu Gus Dur digantikan oleh Megawati, tidak jelas siapa yang menjadi juru bicaranya.
Baru kemudian setelah Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, SBY mempunyai tiga orang juru bicara yang sekaligus berperan sebagai staf khusus.
Juru bicara SBY adalah Andi Malaranggeng, Dino Pati Jalal, dan Julian Aldrin Pasha.
Fungsi juru bicara yang merangkap sebagai staf khusus diteruskan oleh Joko Widodo ketika terpilih sebagai presiden. Juru bicara Joko Widodo pada periode pertama adalah Johan Budi, mantan juru bicara KPK.
Lalu pada periode kedua, Joko Widodo menunjuk Fadjroel Rahman sebagai juru bicaranya. Namun Fadjroel kemudian ditugaskan sebagai Duta Besar di Kazakhtan.
Presiden Joko Widodo kemudian lebih sering berbincang sendiri dengan para wartawan. Luhut Binsar Panjaitan yang banyak mendapatkan penugasan dari Joko Widodo kemudian kerap menyampaikan hal-hal strategis kepada masyarakat. Penyampaikan juga sering dilakukan oleh Moeldoko, Kepala Staff Kantor Kepresidenan.
Presiden Joko Widodo juga pernah mengangkat staf khusus dari kelompok milenial yang juga berperan sebagai juru bicara terkait bidang-bidang yang berhubungan dengan anak-anak muda. Namun kiprah staf khusus milenial ini tidak lama.
BACA JUGA : Kisruh Donasi
Kini, komunikasi dan informasi menjadi serba cepat. Segala sesuatu dengan sangat cepat menyebar. Sulit untuk menyembunyikan atau menunda sesuatu agar tidak viral karena kamera dan perekam suara ada di mana-mana.
Dalam kondisi seperti ini juru bicara bisa menjadi pisau bermata dua. Jika terpeleset maka akan menyebabkan blunder besar sehingga persoalan atau substansi malah dilupakan. Masyarakat lebih tertarik untuk mengomentari kesalahan atau ketidaktepatan.
Moerdiono mungkin bisa menjadi contoh, bagaimana seorang juru bicara berbicara sangat hati-hati agar setiap kata yang terlontar dari mulutnya tidak menimbulkan bias di masyarakat.
Saking hati-hatinya, banyak yang mengira Moerdiono sejak kecil mengalami gangguan bicara.
Tidak ada yang salah dari ucapan Adita Irawati. Kata rakyat jelata adalah kata biasa dalam bahasa Indonesia, artinya netral saja yakni rakyat biasa, atau rakyat kecil. Dan memang Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan demikian.
Tapi ingat dalam komunikasi, yang disebut makna atau definisi itu bukan yang tertera di kamus tapi apa yang tumbuh dalam masyarakat.
Di dalam ranah komunikasi yang disebut dengan makna bisa mengalami pergeseran. Preman di jaman lalu diartikan sebagai orang bebas, orang independen atau freelancer, tapi kini dimaknai sebagai penjahat.
Atau kata Bunda, yang artinya adalah ibu, sebutan dari anak terutama anak kecil pada ibunya. Tapi kini dimana-mana orang menawarkan barang kepada perempuan dewasa yang kelihatan sudah punya anak dengan sebutan Bun, singkatan dari Bunda.
Pergeseran makna sekarang ini lebih cepat terjadi karena platform komunikasi massa yang disebut sosial media. Gaya komunikasi kita semakin hari semakin bergeser menjadi lebih bersifat informal dan interaktif. Yang disebut sebagai berbahasa Indonesia yang baik dan benar makin langka, polisi bahasa juga makin sedikit.
Lihat saja ketika demam flexing terjadi, sebutan sultan mengalami perubahan makna. Sultan yang merupakan gelar pemimpin kerajaan, kemudian disematkan menjadi sebutan orang yang kaya raya di media sosial.
Makna bisa bergeser menjadi meluas atau menyempit. Tetapi bisa juga berubah total, seperti kata receh yang adalah mata uang dalam bentuk koin atau uang kecil, kemudian artinya menjadi buruk dan tidak penting.
Perubahan makna juga bisa membuat sebuah kata menjadi lebih halus maknanya. Seperti kata teduh yang artinya kurang cahaya atau kurang paparan sinar matahari kemudian dimaknai sebagai sikap yang tenang.
Tapi sebaliknya ada juga kata yang kemudian maknanya bergeser menjadi buruk. Seperti kata pelangi yang berarti lengkungan spektrum warna di langit kemudian bermakna buruk karena pelangi menjadi corak bendera kaum LGBT.
Makna memang selalu hadir dalam konteks. Sebutan bodoh, goblok, anjing, monyet atau apapun yang ada di kebun binatang atau di neraka tak bakal merubah suasana atau bahkan dianggap sebagai guyonan jika diucapkan oleh orang yang dekat dan tidak diruang publik.
Sebutan rakyat jelata kemudian mengores karena diucapkan dengan latar peristiwa dimana ada perbedaan kelas antara yang mengejek dan diejek. Masyarakat tengah terluka oleh peristiwa itu.
Maka kata rakyat jelata dianggap merendahkan.
Jabatan juru bicara presiden adalah jabatan yang mentereng. Sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia tidak banyak orang yang bisa menduduki jabatan itu. Karena jabatan ini luar biasa seyogyanya luar biasa pula mereka harus menjaga lambe-nya.
note : sumber gambar – TIRTO