KESAH.IDSaya menganggap isu Pertamax oplosan atau terkontaminasi ini sebagai isu yang mudah dibuktikan benar tidaknya. Namun mendengar keluhan ketika berada di sebuah bengkel resmi pabrikan motor, rasanya ini adalah soal tingkat kepercayaan. Berbagai kasus yang menimpa Pertamina membuat masyarakat kurang percaya pada integritas perusahaan ini sebagai penyedia utama kebutuhan BBM masyarakat.

Hari Rabu lalu saya memecahkan rekor, bukan rekor yang pantas dicatat di MURI, Museum Rekor Indonesia. Di hari yang masih berbau lebaran itu saya membawa motor ke bengkel yang merupakan bagian dari salah satu dealer motor terbesar di Kota Samarinda.

Tentu saja karena masih dalam suasana lebaran, mekanik yang bekerja jumlahnya terbatas sementara motor yang datang bertumpuk.

Sewaktu datang, saya mendapat nomor antrian ke 23. Pengalaman saya, nomor antrian begitu di bengkel serupa yang pernah saya datangi paling butuh waktu 2 hingga 3 jam. Ditunggu sambil duduk-duduk ngopi di kedai tak jauh dari bengkel tak terasa lama.

Tapi tidak untuk yang ini. Dari mendapat kertas berisi nomor antrian sampai dipanggil untuk menyampaikan keperluan atau keluhan motornya saja sudah lama. Untung di lingkungan bengkel itu selain dilengkapi ruang tunggu yang representatif, ada juga kafenya.

Satu gelas Amerikano panas dan 5 batang rokok tuntas, lalu duduk di ruang tunggu dan kemudian bertanya kepada petugasnya, baru kemudian saya dipanggil. Jadi sedikit cepat karena dua nomor sebelumnya yang dipanggil sudah tidak ada orangnya.

Dan setelah itu mulailah penantian panjang saya. Ya akan lama karena menurut petugasnya ada 13 motor yang menunggu giliran diatas motor saya.

Dalam bayangan saya yang dikatakan lama itu mungkin sekitar 3 jam.

Sayapun membuang waktu dengan keluar dari kawasan bengkel, kebetulan sudah waktunya makan siang. Memang di kafe ada makanan, tapi nggak cocok dengan selera saya.

Saya menyusuri Jalan M. Yamin, banyak warung yang tak buka, termasuk Pecel Family yang ingin saya singgahi untuk makan.

Lalu saya jalan kaki masuk ke Jalan Pramuka, sama juga banyak warung yang tak buka. Jikapun ada yang buka, juga tak cocok dengan selera saya.

Akhirnya saya kembali ke Jalan M. Yamin dan ada satu Warung Padang yang buka. Saya memilih untuk dibungkus ketimbang makan disana. Menurut kebiasaan, jika membeli Nasi Padang dengan dibungkus, nasinya cenderung lebih banyak.

Dengan bekal nasi bungkus dan sebotol air mineral saya kembali ke lingkungan bengkel. Dan duduk di ruang tunggu eksternal yang tak jauh dari toilet dan di depannya ada wastafel. Saya makan disitu dengan perasaan nyaman saja, sebab walau berada di luar toh situasinya tak ramai. Paling yang lewat lalu lalang di depan adalah satpam.

Usai menandaskan sebungkus Nasi Padang dengan lauk Tongkol Balado itu, mulailah penantian panjang saya di ruang tunggu. Ada beberapa toples diatas meja namun isinya sudah kandas. Saat menunggu itu saya melihat beberapa orang berkali-kali bolak-balik ke petugas di bagian penerimaan motor, terlihat mereka terus bertanya kapan motornya akan ditangani.

Ternyata beberapa orang itu datang lebih cepat dari saya, nomor antriannya juga kecil. Jadi mereka sudah menunggu jauh lebih lama dari saya.

Saya sebenarnya juga sudah merasa sudah terlalu lama, tapi rasanya sayang kalau harus memutuskan untuk batal menservis motor. Waktu yang saya buang di bengkel itu sudah terlalu lama masak kemudian pulang tanpa hasil apa-apa.

Jadi saya putuskan sabar saja menunggu.

BACA JUGA : Revolusi Dimulai

Selain karena mekaniknya sedikit, ternyata motor yang datang untuk diservice sebagian mempunyai keluhan yang sama. Motornya mbrebet setelah diisi pertamax. Umumnya yang mengalami keluhan itu adalah motor dengan cc yang cukup besar, atau matic yang gambot.

Tapi ada beberapa juga motor matic kecil yang belum lama dibeli, banyak yang platnya masih sementara. Motor kelas ini sebenarnya bisa saja diisi Pertalite, tapi mungkin masih baru jadi mereka memilih untuk mengisi dengan Pertamax. Memang perfoma dan tarikannya beda antara Pertamax dan Pertalite.

Saya juga menyampaikan keluhan kepada petugas soal motor yang suka sinjal-sinjal. Tapi saya tak menganggap itu karena BBM, sebab saya jarang mengisi motor dengan Pertamax. Lagi pula saya juga jarang mengisi BBM di SPBU, karena motor saya jarang berjalan jauh. Jadi cukup diisi 1 – 2 liter saja jika tanda penunjuk bensin mulai memberi tanda.

Ya, mengikuti nasehat seorang teman, saya memilih mengisi di Pertamini yang biasanya ada di Warung Daeng. Warung dengan pelayanan terbaik, karena banyak yang buka 24 jam.

Saya menduga motor agak tersendat-sendat karena filter udara yang kotor atau pompanya yang kurang presisi.

Dalam obrolan dengan sesama penunggu motor yang diservis, mereka memang menyebut motor mbrebet bahkan mati-mati karena diisi Pertamax. Dugaannya adalah Pertamax dicampur air.

Dugaan ini menguat sebagaimana diberitakan oleh berbagai media lokal. Dimana-mana ada keluhan tentang hal itu. Tentu keluhan ini segera di-follow up oleh Kepolisan, bahkan Walikota Samarinda menginstruksikan untuk melakukan investigasi.

Entah siapa yang menginventigasi, mungkin polisi dan petugas lain. Dan dengan cepat polisi membantah. Katanya kandungan Pertamax seperti yang diisyaratkan. Bahkan ada salah satu petinggi kepolisian di wilayah lain menyebut dugaan itu sebagai hoax.

Tapi sepertinya mekanik di bengkel percaya dengan kabar itu. Sehingga mereka meminta para pemilik kendaraan untuk keluar membeli Pertamax. Baru kali ini di sebuah bengkel resmi sebuah merek kendaraan, ada yang bolak-balik keluar membeli BBM yang dibawa pakai plastik atau botol air minum kemasan.

Karena harus menguras BBM dalam tangki, menunggu yang punya motor membeli BBM, waktu rata-rata yang diperlukan untuk menangani satu motor menjadi lebih panjang.

Untungnya di tengah penantian panjang itu, beberapa orang yang nomornya lebih kecil dari saya kehilangan batas toleransi. Mereka walau sudah menunggu sama bahkan lebih lama dari saya kemudian memutuskan untuk membatalkan nomor antrian, mengambil kembali kunci dan kemudian pulang. Dalam hitungan saya lebih dari 5 orang.

Disaat sebungkus rokok yang saya bawa sudah mau kandas, motor saya diambil oleh mekanik. Prosesnya berjalan lancar, hanya saja memang kemudian terlihat ada masalah yang membuat motor mesinnya seperti tersendat-sendat. Mekaniknya mencoba mencari tahu penyebabnya dengan cara membawa motor keluar dari bengkel, berputar-putar di halaman.

Untung mereka tak cepat mengambil kesimpulan, misalnya karena sistem pompa yang membuat motor akan dibongkar lagi dan waktu tunggu saya menjadi lebih lama. Mereka mencoba mengganti busi dan kemudian putaran, suara dan tarikan mesin kembali normal.

Sayapun bisa segera pulang yang waktunya bertepatan dengan saat bengkel itu mau tutup. Jika dihitung-hitung saya berada di bengkel itu dalam waktu satu hari jam kerja normal para pegawai. Saya berasa jadi salah satu pegawai bengkel itu.

BACA JUGA : Jogetin Saja

Mendengar banyak keluhan dan pemberitaan soal motor yang brebet karena Pertamax itu, saya iseng-iseng mencari tahu lewat Copilot, chatbox AI buatan Microsoft. Saya lebih memilih Copilot ketimbang Chat GPT karena Copilot tak perlu log in. Fasilitas ini sudah langsung ada dalam browser Microsoft Edge.

Hasilnya Copilot mengkonfirmasi soal banyaknya laporan dan keluhan banyak pengguna motor yang mengalami brebet setelah mengisi Pertamax.

Bahkan Copilot memberi link berita tentang hal itu di Kota Samarinda. Ada 3 link berita yang disertakan olehnya, salah satunya laporan dari media nasional.

Kemudian Copilot menyertakan keterangan lain tentang penyebab motor brebet selain karena Pertamax atau BBM. Menurutnya faktor yang bisa menyebabkan motor brebet adalah air masuk ke dalam tangki kendaraan, filter udara yang kotor, atau setelan klep udara yang tidak sesuai.

Tapi menurut Copilot penyebab utamanya adalah setelan atau kandungan BBM yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pabrikan berdasarkan spesifikasi mesinnya.

Eh, iya kok banyak sekali saya menyebut Copilot, seperti sedang ngiklan saja. Bukan begitu, ini bukan iklan tapi lebih menampakkan keinginan hati. Terus terang saya memang sedang ingin menganti laptop saya dengan laptop baru yang punya label Copilot +, laptop Windows yang sudah dilengkapi dengan tombol untuk langsung masuk ke Chat Box Copilot tanpa harus membuka browser dan juga bisa dilakukan dalam kondisi offline.

Tapi itu baru keinginan, karena saya belum cukup punya uang walaupun laptop yang saya pakai saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan karena sering kekurangan memori.

Kembali ke soal Pertamax oplosan, oplosan dengan air pula, benarkah demikian. Entahlah, walau sebenarnya tak masuk akal kalau SPBU melakukannya, taruhannya sangat besar.

Tapi bisa saja BBM yang disimpan dalam tangki di SPBU mengalami kontaminasi air, jika sistem ventilasi atau penguapannya tak terlalu bagus sehingga ketika tangki tak penuh bisa terjadi kondensasi dan menyebabkan BBM didalamnya kemudian terkontaminasi air.

Jadi sejumlah keluhan atau desas-desus yang disampaikan oleh para pengguna kendaraan bermotor ini mestinya ditanggapi dengan serius, bukan dengan cepat-cepat membantah. Harus ada penelitian yang dalam oleh lembaga yang dipercaya publik. Misalnya lembaga penelitian dari universitas yang punya tanggungjawab untuk menjaga etika akademis.

Kalau Pertamina sendiri yang menjawab rasanya publik sedang tidak percaya. Ketidakpercayaan ini bisa dilihat dalam bentuk kaos plesetan yang banyak dijual di marketplace.

Ini bukan soal benar dan tidaknya dugaan itu, Mungkin mudah bagi Pertamina dan operator SPBU untuk membuktikan dugaan itu tak benar. Yang sulit justru mengembalikan kepercayaan masyarakat pada Pertamina, sebagai penyedia utama BBM untuk masyarakat Indonesia.

Nampaknya tingkat kepercayaan terhadap Pertamina selalu beriringan dengan tingkat kepercayaan kepada negara. Ketika masyarakat sedang tak percaya kepada Pertamina, masyarakat pada umumnya juga sedang tak percaya kepada negara.

Pertamina memang perusahaan yang paling mencolok persengkongkolannya dengan Politically Exposed Person. Makanya isu penyuapan dan korupsi selalu tak lepas dari Pertamina. Dan ditingkat masyarakat itu yang menjadikan Pertamina doyan melakukan oplosan, otak atik kandungan BBM.

Bunyi Pertamina memang bret…bret…bret…brebet.

note : sumber gambar – LAZADA