KESAH.IDSepakbola Indonesia itu penuh drama, punya cita-cita tinggi tapi peta jalannya sulit dimengerti. Rencana tidak pernah tuntas, tiba-tiba berganti arah. Sudah dibina sana-sini sampai ke luar negeri sampai akhirnya membanjiri tim nasional dengan pemain kelahiran seberang negeri. Tonggak kokoh yang tertancap hampir seratus tahun lalu yang terus dipegang, masuk ke Piala Dunia, padahal waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Mestinya kita ingat, doyan tendang sana-sini tak berarti jagoan memasukkan bola ke gawang lawan.

Tak bisa disangkal kalau balbalan atau sepakbola adalah olahraga kegemaran masyarakat Indonesia. Di masa kanak-kanak sekurangnya setiap anak pernah menendang bola. Sepak bola kemudian menjadi bagian penting dari budaya dan kehidupan masyarakat.

Dari sisi sosial, walau sudah tak kuat main bola, menonton pertandingan bola masih terus menjadi kesukaan. Sepak bola bahkan menjadi salah satu penguat ikatan sosial. dalam sejarah sepakbola kita mencatat kelompok-kelompok supporter yang fanatik. Kita mengenal nama Jakmania, Boneks, Viking, Ultras Gresik dan lain-lain.

Tanpa prestasi yang membanggakan klub semacam Arema FC, PSS Sleman, Persipura Jayapura dan PSM Makassar tetap mempunyai banyak penggemar.

Sepakbola memang olahraga rakyat, seperti di Brazil, Argentina, Mexico dan lain-lain. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia tidak seperti Amerika Serikat, India dan China yang penduduknya tak terlalu antusias memainkan sepakbola.

Nasionalisme mereka memang bukan sepakbola, India menyukai kriket, Amerika Serikat menyukai American Football, dan China lebih menyukai bela diri atau atletik, mereka sangat berprestasi di olahraga itu.

Anehnya walau minim prestasi ternyata sepakbola menjadi olahraga yang membangkitkan nasionalisme di Indonesia. Padahal dari dulu yang berprestasi adalah bulutangkis.

Rasa nasionalisme terhadap bulutangkis mungkin tak sebesar pada sepakbola karena umumnya pemain bulutangkis yang ternama adalah pemain peranakan China.

Tapi itu dugaan yang sebenarnya tak terlalu beralasan, sebab terakhir ini pemain di tim nasional PSSI sebagian juga merupakan pemain naturalisasi. Mereka bahkan tidak tinggal di Indonesia, hanya memakai seragam berbendera Indonesia dan lambang Garuda kalau melakukan pertandingan internasional. Mungkin sebagian bahkan tak berbahasa Indonesia.

Timnas Indonesia rasa Belanda begitu kata banyak orang, terlebih setelah PSSI memecat Shin Tae Yong dan mengantinya dengan Patrick Kluivert mantan pemain nasional Belanda yang kemudian meniti karir sebagai pelatih. Ditunjuknya Patrick Kluivert semakin memperkuat aroma Belanda di tim nasional, karena dia juga membawa asisten-asisten pelatihnya dari Belanda.

Hubungan antara sepakbola Indonesia dan Belanda memang dekat. Tentang prestasi, memori kita tak bisa lepas dari kejadian di tahun 1938, dimana tim nasional Hindia Belanda {Indonesia sekarang ini} mengikuti piala dunia di Perancis. Indonesia lolos putaran pertama piala dunia dan menempati peringkat ke 15.

Tim yang tergabung dalam Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) terus mengikuti turnamen internasional dari tahun 1938 hingga 1947.

Padahal kalau ditelisik, keikutsertaan ini sebenarnya berbau keberuntungan karena Jepang mengundurkan diri. FIFA kemudian memutuskan Hindia Belanda bertanding dengan Amerika Serikat untuk mengantikannya.

Dalam pertandingan Piala Dunia 1938, Timnas Hindia Belanda kalah 6-0 dari Hungaria. Dan ini menjadi satu-satunya keikutsertaan dalam Piala Dunia.

Kenangan indah di jaman pra kemerdekaan itu terus menjadi ukuran. Diklaim Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang pernah ikut Piala Dunia. Cita-cita sepakbola Indonesia adalah lolos ke Piala Dunia.

Sepanjang orde baru, ada program pembinaan untuk pemain muda yang diharapkan menjadi tulang punggung tim nasional. Salah satu yang mengurusi adalah Sigit Harjojudanto, anak kedua Suharto yang mulanya mendirikan Arseto, Solo pada tahun 1978.

Sigit kemudian menjadi ketua Harian Galatama PSSI, dan kemudian memimpin berbagai proyek di PSSI, salah satunya adalah Proyek PSSI Garuda.

BACA JUGA : Masyarakat Diperalat Program Gratis

Setelah jaman kemerdekaan dalam rentang waktu antara tahun 1958 hingga 1985, prestasi sepakbola Indonesia terbilang lumayan di tingkat ASEAN, Indonesia pernah menjuarai turnamen Piala Merdeka, Malaysia dan Piala Raja, Thailand.

Piala Dunia tetap jauh, Indonesia selalu terganjal dalam babak kualifikasi.

Antara tahun 1985 – 1995, sepakbola Indonesia mengeliat untuk bangkit kembali. Menjelang pelaksanaan Piala Dunia 1986 di Mexico, Timnas Indonesia dilatih oleh salah satu pelatih terbaik Indonesia, Sinyo Aliandoe.

Indonesia saat itu menjalani kualifikasi pra piala dunia di grup 3B AFC Zona B bersama India, Thailand, dan Bangladesh. Bambang Nurdiansyah, dkk berhasil mengalahkan Thailand, India, dan Bangladesh hingga keluar sebagai juara grup.

Namun dalam putaran kedua AFC Zona B, Indonesia diganjal oleh Korea Selatan, hingga akhirnya kalah dengan agregat 1-6, impian menuju Piala Dunia pun terkubur.

Pada periode 1995 hingga 2016, Indonesia selalu tampil di Piala AFC dan juga berkali-kali masuk final Piala AFF namun gagal mengangkat trofi. Gelar hanya datang dari turnamen regional, di Asean Games.

Timnas mulai dilatih oleh pelatih asing, antara lain Peter Withe, Ivan Kolev, Alfred Riedl, dan Win Rijsbergen.

Tapi tetap saja prestasi dunia belum bisa direngkuh. PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia justru lebih banyak diwarnai drama. Sepakbola Indonesia terpecah belah, ada dua kompetisi atau liga yakni ISL dan IPL. FIFA menegur dan kemudian memberi sanksi atas kejadian ini. Federasi sepakbola Indonesia ditegur dan disanksi karena ada campur tangan pemerintah lewat KONI, yang membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia {KPSI}.

Asa hidup kembali setelah PSSI kemudian menunjuk Shin Tae Yong sebagai pelatih baru, setelah sebelumnya Simon McMenemey yang sukses melatih Philipina ternyata kinerjanya buruk.

Pelatih asal Korea Selatan yang kebudayaannya tengah digemari di Indonesia nampaknya lebih mudah diterima.

Nampaknya dalam perjanjian dengan PSSI, Shin Tae Yong punya syarat, yakni naturalisasi pemain. PSSI akan mencari pemain-pemain keturunan Indonesia, atau nenek moyangnya pernah tinggal di Indonesia untuk dinaturalisasi.

Syarat dari Shin Tae Yong disetujui hingga kemudian terjadi gelombang naturalisasi. Kebanyakan yang dinaturalisasi adalah pemain sepakbola dari Belanda.

Mungkin Shin Tae Yong sudah mempelajari sejarah sepakbola di Indonesia ketika ditawari untuk menjadi pelatih. Dia bisa jadi berkesimpulan jika skuadnya diisi pemain lokal Indonesia maka hanya turnamen sekelas ‘antar kampung’ di ASEAN atau ASIA yang mungkin bisa dikuasai. Tapi turnamen kelas dunia jelas seperti mengecat langit atau mengarami lautan.

Dan benar dengan teori asal menang, tim nasional dibawah asuhan Shin Tae Yong kembali menjadi kebanggaan. Asa untuk lolos Piala Dunia kembali di depan mata. Pertandingan tim nasional kemudian disaksikan dimana-mana, efek ekonominya cukup tinggi. Kedai-kedai yang sepi menjadi ramai saat menyelenggarakan nobar. Jersey atau seragam tim nasional juga laku keras.

Tapi lagi-lagi drama terjadi. Shin Tae Yong yang berjanji jika Indonesia lolos Piala Dunia dirinya juga bersedia dinaturalisasi akhirnya dipecat tanpa alasan yang jelas. PSSI kembali melakukan perjudian, mengganti pelatih di tengah masa yang krusial. Sepertinya sepakbola Indonesia memang gemar berjudi.

BACA JUGA : Mahakam Jalan Gelap Transisi Energi

Penunjukan Patrick Kluivert sebagai penganti Shin Tae Yong semakin menegaskan gurauan tentang tim nasional yang kerap disebut sebagai PSSI Cabang Belanda.

Ini menjadi menarik, terutama dalam studi post kolonial, karena selama ini sepakbola sering tidak masuk dalam kajian ini. Kajian yang menelisik dampak kolonialisme atau imperalisme pada masyarakat, terutama warisan budaya kolonial dan dampaknya pada budaya setempat.

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, dengan PSSI dan Kemenpora untuk mengajukan naturalisasi bagi tiga pemain diaspora, yakni Emil Audero Mulyadi, Dean Ruben James, dan Joey Mathijs Pelupessy. Ahmad Dhani mengajukan sanggahan dan usulan yang absurb.

Dia mengusulkan agar ada perubahan radikal dalam tim nasional, mengurangi jumlah pemain keturunan asing, namun lebih mengusulkan untuk menaturalisasi pemain yang berusia 40-an tahun dan kemudian mencarikan pasangan hidup orang Indonesia agar keturunannya bisa menjadi bagian dari tim nasional di masa mendatang.

Ahmad Dhani seperti resisten pada barat, tapi tetap mempertahankan pola pikir masyarakat bekas jajahan yang menganggap penjajah secara biologis lebih baik. Wakil rakyat sekalipun ternyata masih membawa perasaan inferior sebagai bekas jajahan. Tapi menutupi dengan logika yang tak masuk akal. Padahal dia sendiri yang seorang musisi, lalu menikah juga dengan musisi ternyata tak melahirkan anak-anak dengan kemampuan musik yang mumpuni.

Logika biologi tidak seperti itu, kemampuan tidak diturunkan lewat keturunan. Walau kemudian lahir dengan bakat, tetap saja latihan, latihan dan latihan yang menjadi kuncinya.

Saya malah jadi teringat opini seorang kawan yang kini sudah beristirahat dengan tenang. Dia mengatakan kalau orang Indonesia memang suka main tendang, tapi bukan bola.

Jadi menurutnya jangan terlalu berekpektasi tinggi pada sepakbola, cukup biarkan sepakbola menjadi olahraga untuk bersenang-senang, bukan olahraga prestasi.

Coba tanyakan pada anak-anak Indonesia, yang ingin menjadi pesepakbola pasti tak banyak walau ada yang dinamai Ronaldo atau Messi. Lebih banyak anak yang cita-citanya menjadi tentara atau TNI.

Jadi kenapa tidak memperkuat TNI saja, buat TNI menjadi penjaga keamanan negara yang mumpuni, bukan malah diajak untuk multifungsi.

note : sumber gambar – TEMPO