KESAH.IDMasyarakat meyakini barangsiapa memberi maka akan diberi kembali, bahkan dibalas dengan pemberian yang lebih besar, berkali-kali lipat. Makanya dalam momentum tertentu masyarakat kerap berlomba-lomba memberi, bahkan yang mendapat pemberian mungkin sudah merasa kelebihan. Ternyata yang doyan memberi bukan hanya masyarakat melainkan juga pemerintah, namun balasan yang diharapkan berbeda. Bukan diberi kembali melainkan diganjar dengan citra baik. Citra yang akan menguntungkan pemimpin pemerintahan, menjadi populer dan kemudian akan terpilih kembali.  Berikut ini catatan dari Wahyu tentang hal itu.

BACA JUGA : Daerah Banjiran

Kita semua paham kalau berbagi merupakan tindakan yang mulia. Tindakan berbagi mendatangkan kebahagian karena yang melakukan merasa mendapat keberkahan.

Tradisi, adat dan kepercayaan agama umumnya memang mengajarkan konsep berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Bahkan berbagi tak perlu dilakukan ketika seseorang setelah berlebih, memberi dalam kekurangan bahkan menjadi sebuah keutamaan.

Berbagi kemudian menjadi salah satu tolok ukur adab atau akhlak dalam hubungan antara seseorang dengan orang lainnya. Yang disebut sebagai berbagi itu bisa berbagi usaha, sarana, peluang, hingga berbagi harta benda lain yang dimilikinya. Praktik berbagi ini tidak hanya khas Indonesia sebagai negara yang kuat religiusitasnya, melainkan juga banyak negara lainnya.

Kenapa masyarakat seperti berlomba-lomba untuk mebebar kebaikan kepada sesama?. Ada keyakinan akan konsep timbal balik, barangsiapa memberi maka akan diberi kembali bahkan berkali lipat banyaknya. Memberi seperti menjadi investasi, modal yang auto berkembang.

Kegiatan berbagi mempunyai momentumnya sendiri. Biasa pada menjelang atau hari Besar Keagamaan menjadi momentum untuk berbagi. Seperti terlihat setiap bulan Ramadhan, dimana-mana akan kelihatan orang atau sekelompok orang berbagi takjil atau makanan berbuka gratis, namun ada juga yang berbagi jasa gratis.

Soal memberi dan kemudian mendapat kembali, itu adalah sebuah keyakinan. Namun memberi pada dasarnya muncul dari konsep rasa bersyukur. Seseorang bersyukur karena mempunyai sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain, dilandasi atas rasa solider, peduli, atau empati terhadap mereka yang berkekurangan, atau kurang punya kesempatan. Maka konsep berbagi tidak boleh menambah tanggungan atau beban pada yang memberi.

Hanya saja semakin hari, konsep berbagi atau memberi bukan lagi bermakna sebagai wujud kepedulian. Politik dan algoritma sosial media, membuat tindakan berbagi atau memberi menjadi sarana untuk mencari simpatisan, engagement atau eksposure untuk pengaruh politik maupun bisnis.

Dengan tujuan seperti ini maka tindakan berbagi atau memberi kemudian merusak pola pikir masyarakat. Masyarakat kebanyakan kemudian berpikir kalau seseorang atau sekelompok orang harus memberi. Memberi dianggap sebagai kewajiban dan jika tak dilakukan maka masyarakat akan menilai buruk, marah dan kecewa hingga berlaku anarkis.

BACA JUGA : Cuci Uang

Semua yang serba gratis, gift away atau pemberian tanpa juntrungan membuat tindakan berbagi mempunyai sekat. Sekat antara pemberi dan yang diberi, relasinya menjadi tidak seimbang. Yang diberi kemudian merasa berada di bawah yang memberi. Dengan demikian pemberi merasa punya kuasa atas masyarakat yang diberi. Pemberi selalu dianggap sebagai sosok yang kaya dan berkuasa, sementara yang diberi selalu dianggap sebagai kelompok miskin papa. Ya tidak apa-apa dianggap miskin, yang penting tetap mendapat pemberian.

Perkembangan seperti ini tentu memprihatinkan. Karena pemerintah atau pemimpin juga sering melakukannya demi popularitas, biar terpilih kembali. Berbagai bantuan atau pemberian terus diawetkan untuk masyarakat, hingga muncul kesan bahwa penderitaan, kemiskinan atau kekurangan terus dipelihara agar pemimpin atau pemerintah bisa terus memberi dan disyukuri oleh masyarakat.

Maka pemberian atau program gratis dari pemerintah kemudian sering tidak tepat sasaran. Padahal program itu jelas untuk masyarakat yang memenuhi standar sebagai penerima bantuan, tetapi malahan banyak program gratis yang hanya bisa diakses oleh kalangan yang paham akan celah dan cara mendapatkanya. Dan tidak jarang kita menemui program-program gratis ini yang menerima justu keluarga dari kalangan orang-orang yang memang mampu. Dan masyarakat yang tidak mampu hanya karena kurang akses dan orang dalam maka hanya berangan-angan dengan harap diberi.

Pun sebenarnya yang kerap dibilang gratis oleh pemerintah sebenarnya juga tidak gratis. Karena dananya berasal dari anggaran negara. Anggaran yang sebagian dikumpulkan dari pajak yang mesti dibayarkan oleh masyarakat.

Uang pemerintah sebenarnya sebagian merupakan uang masyarakat yang diserahkan kepada pemerintah lewat berbagai punggutan, mulai dari pajak, retribusi dan lain-lain. Uang itulah yang kemudian dipakai pemerintah untuk menunjukkan citra baiknya. Pemerintah mendapat untung dari memberi bantuan yang serba gratis poll itu. Padahal mensejahterakan masyarakat adalah tugas utama pemerintah, jadi seharusnya tak perlu diganjar dengan citra baik karena menggratiskan segala sesuatu.

Perihal ini masyarakat memang membutuhkan pemahaman, agar bisa turut mengawasi dan mengakses sesuai cara dan syarat untuk mendapatkan bantuan program yang serba gratis. Sehingga apa yang diberikan secara gratis oleh pemerintah jauh dar kecurangan, penyalahgunaan dan tidak tepat sasaran. Yang gratis-gratis semestinya menjadi bentuk pemenuhan kewajiban pemerintah, bukan niat atau amal baik dari pemimpin pemerintahan.

Penulis : Wahyu

Editor : Yustinus Sapto Hardjanto

note : sumber foto – WAHYU