KESAH.IDCoba simak literatur terkait dengan sungai atau badan air. Yang sering disebut hanya bantaran atau sempadan. Tak pernah atau jarang sekali yang menyebut daerah banjiran atau flood plain. Dan sedikit pula yang menyebut riparian. Dampak dari hilangnya kosa kata ini dalam diskursus sungai membuat sungai-sungai kita berubah menjadi parit atau kanal. Sungai hanya dilihat sebagai sistem pengaliran, bukan sistem keairan.

Akhirnya dari sebuah video reel saya menemukan seseorang menyebut ‘Daerah Banjiran’. Maksudnya bukan daerah yang suka kebanjiran, melainkan daerah yang memang disediakan oleh alam untuk dibanjiri oleh naiknya air sungai atau badan air lainnya.

Kata aslinya adalah flood plain, yang artinya adalah dataran banjir, bidang tanah datar di dekat sungai atau aliran air yang banjir saat sungai atau badan air lainnya meluap saat musim hujan.

Dalam perbincangan tentang sungai, selain palung sungai, kata yang umumnya diucapkan hanyalah bantaran dan sempadan sungai.

Bantaran sangat populer, terutama di sungai-sungai perkotaan. Karena umumnya di daerah bantaran sungai dipenuhi dengan permukiman. Permukiman yang kemudian biasanya akan digusur ketika sebuah kota berbenah.

Permukiman di bantaran sungai umumnya disebut sebagai permukiman kumuh. Yang dipandang bukan hanya merusak citra kota melainkan juga sebagai tertuduh utama perusak sungai, penyebab banjir dan lain-lain.

Rumah-rumah di bantaran sungai dianggap menghambat aliran air, menahan sedimen sehingga sungai menjadi dangkal. Selain itu juga menyebabkan polusi air karena langsung membuang limbah dan sampah ke sungai.

Dulu ketika jaman Emil Salim menjadi menteri lingkungan hidup, diluncurkan Prokasih, Program Kali Bersih. Nuansa intervensi kepada sungai bercorak restorasi ekosistem, memulihkan ekosistem sungai. Sungai dianggap sebagai habitat dan sumber air.

Namun dalam perkembangannya sungai kemudian lebih dianggap sebagai sarana atau infrastruktur sehingga kewenangannya ada di Kementerian Pekerjaan Umum. Pendekatan kepada sungai berubah, dari eko hidrolika ke teknik hidrolika.

Intervensi kepada sungai kemudian sama seperti terhadap jalan, regim sungai berubah menjadi regim pembangunan sungai atau river development. Intervensi yang paling populer terhadap sungai dikenal dengan nama normalisasi.

Yang menjadi fokus perhatian normalisasi adalah daya tampung air dan kecepatan pengaliran air. Tujuannya agar sungai mampu menampung air liaran tanpa luapan dan kemudian mengalirkan dengan cepat ke laut sehingga tidak menyebabkan banjir atau genangan di sekitar sungai.

Dalam kegiatan normalisasi, yang umum dilakukan adalah mengeruk sedimen sungai, meluruskan aliran sungai, melebarkan badan sungai. Dan langkah pertamanya adalah menyingkirkan rumah-rumah di bantaran sungai.

Normalisasi sungai umumnya riuh dan ribut karena sering terjadi penggusuran. Prosesnya menjadi lama, Kota Samarinda misalnya hampir 35 tahunan melakukan normalisasi Sungai Karang Mumus namun sampai sekarang belum selesai.

Daerah alur sungai yang berhasil di normalisasi wajahnya akan berubah. Sungainya makin lebar dan badan sungainya cenderung lurus. Kanan kiri sungai dibeton, diturap dan ditanggul dengan sheet pile. Fungsi turap adalah untuk memperkuat dinding sungai agar tak longsor, sedangkan fungsi tanggul adalah menahan luapan air.

Setelah turap dan tanggul akan ada ruang terbuka hijau dengan lebar kurang lebih 3 sampai 6 meter, lalu parit atau saluran air dan setelah itu jalan yang dimaksudkan sebagai jalan inspeksi. Jalan untuk kegiatan mengamati, mengawasi dan memobilisasi sarana untuk intervensi sungai.

Beberapa titik Ruang Terbuka Hijau di tepian Sungai Karang Mumus dimanfaatkan sebagai taman, play ground dan ada juga titik-titik tertentu yang dipakai sebagai tempat jualan di sore hingga malam hari. Meski disebut sebagai RTH yang seharusnya salah satu fungsinya adalah tempat meresapkan air, namun perkerasan lahannya masih cukup tinggi.

BACA JUGA : Macan Loreng

Dengan dinormalisasi, maka tepian sungai yang kemudian menjadi Ruang Terbuka Hijau itu difungsikan juga sebagai sempadan. Batasnya biasa adalah jalan, antara sungai dan jalan tidak boleh ada bangunan, utamanya permukiman.

Permukiman boleh dibangun setelah jalan.

RTH sempadan akan berfungsi sebagai daerah resapan air, menjaga kualitas udara dan struktur tanah. Melindungi tanah dari abrasi sungai, menjadi habitat satwa, memperbaiki iklim mikro dan bahkan area konservasi.

Masalahnya dinding sungai telah mengalami perkerasan dengan semen. Maka dengan dinormalisasi, sungai kehilangan riparian atau ekosistem antara, ekosistem penghubung antara ekosistem air dan ekosistem darat.

Riparian umumnya berbentuk hutan atau tutupan vegetasi, mulai dari rerumputan, semak dan pepohonan yang tahan ketika digenangi air dan hidup saat air surut atau kering.

Saat musim penghujan biasanya riparian akan digenangi air atau menjadi daerah banjiran, flood plain.

Daerah ini akan menjadi yang kaya dengan nutrisi, karena daun-daun atau material organik lainnya yang terendam air akan menjadi serasah karena terdekomposisi. Terendam dalam air, dedaunan akan ditumbuhi jamur-jamur yang tak kasat mata, yang merupakan makanan ikan.

Karena arus menjadi kencang akibat permukaan air sungai tinggi, ikan-ikan akan ke pinggir dan berdiam di riparian yang tergenang air. Sebagian akan berpijah atau berkembang biak. Di saat tergenang, riparian akan menjadi bank ikan.

Jika kawasan flood plainnya cukup luas dan berada di hamparan tanah yang rata, setelah air surut akan meninggalkan sedimen. Bekas banjiran ini kemudian cocok untuk menjadi lahan bertanam. Sedimen sungai yang berasal dari hulu, umumnya mengerosi permukaan lahan berhutan sehingga sedimennya subur.

Cara bertani semacam ini dikenal dengan istilah pertanian pasang surut.

Di sekitar aliran Sungai Code, Yogyakarta ada daerah-daerah yang dinamai ledok. Ledok adalah daerah yang sebagian wilayahnya akan digenangi air ketika musim hujan. Daerah yang namanya didahului oleh Ledok, dulu merupakan daerah pertanian.

Secara tradisional, Kalimantan Timur sendiri mempunyai dua cara bertani. Yakni pertanian pasang surut dan pertanian lahan kering.

Pertanian pasang surut dipraktekkan di sekitar badan air, seperti sungai dan danau. Sedangkan pertanian lahan kering dikenal dengan istilah pertanian rotasi, dilakukan di hutan dengan carfa berpindah pada waktu tertentu.

Kedua model pertanian ini mulai jarang dilakukan, karena pertanian ladang berpindah sering dikriminalisasi dengan tuduhan membakar hutan. Sedangkan pertanian pasang surut juga mulai hilang karena badan air kehilangan area banjir atau flood plain. Selain itu juga siklus pasang surutnya mulai tidak jelas akibat perubahan iklim.

BACA JUGA : Marquez Grandprix

Normalisasi dari asal katanya berarti membuat sungai normal kembali. Namun yang terjadi justru sungai menjadi tidak normal karena ekosistemnya hilang dan sungai sepenuhnya menjadi ekosistem buatan.

Dengan membuat turap dan tanggul di pinggir sungai yang bahannya adalah semen, sungai kehilangan ekosistem penghubung antara ekosistem air dan darat.

Riparian menjadi hilang dan daerah banjiran juga lenyap.

Normalisasi kemudian membuat sungai kehilangan diversivitasnya. Ada banyak tumbuhan dan hewan, baik hewan tanah, hewan semak, maupun hewan arboreal kehilangan habitatnya.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pernah menolak kebijakan normalisasi. Anies lebih ingin sungai di Jakarta dinaturalisasi, atau dalam bahasa lain dilakukan restorasi sungai, yang meliputi restorasi hidrologi, restorasi ekosistem, restorasi morfologi sungai, restorasi fisiologi dan restorasi sosial budaya.

Tapi yang diusulkan oleh Anies Baswedan dianggap tidak populer, kurang masuk akal untuk Jakarta. Padahal kalau belajar dari Seoul, Pemerintah Kota Seoul pernah membongkar jalan tol yang berada diatas sungai Cheonggyecheon.

Sungai ini pernah menjadi lambang kekumuhan di tahun 1950-an, Pemerintah waktu itu kemudian mengusir kekumuhan dengan membangun jalan bebas hambatan diatas sungai itu dan bertahan selama 30 tahun sebagai ikon industrialisasi Korea Selatan.

Butuh waktu kurang lebih 2,5 tahun untuk merestorasi sungai itu dengan dana trilyunan rupiah. Dan kini Sungai Cheonggycheon menjadi destinasi unggulan di Kota Seoul. Sungai ini kembali menjadi habitat berbagai tumbuhan dan burung-burung. Presiden Joko Widodo pernah mengunjungi kota ini.

Bisa jadi Anies Baswedan berpikir kalau Sungai Ciliwung bisa kembali menjadi ‘surga’ bagi Jakarta, seperti halnya Sungai Cheonggycheon bagi Seoul.

Tapi otak semen, sulit digeser, sehingga normalisasi sungai tetap menjadi mantra besar dalam intervensi terhadap sungai bermasalah di Indonesia.

Padahal kebanyakan sungai berfungsi sebagai sumber air bersih. Namun pendekatan terhadap sungai justru lebih berwatak memandang sungai sebagai sistem pengaliran. Semua berpikir aliran sungai mesti lancar dan cepat, sehingga sungai bisa membebaskan kota dari banjir.

Padahal sungai sesungguhnya merupakan sistem keairan. Sungai adalah tempat memanen air hujan, jadi airnya mesti ditahan selama mungkin. Itulah kenapa sungai alami selalu berkelok-kelok, alam telah mempunyai hukumnya sendiri agar terjadi keseimbangan air antara hulu dan hilir, air dari hulu tidak dengan cepat sampai ke hilir.

Sudah saatnya para pengambil kebijakan terhadap badan air mulai memikirkan secara dalam apa fungsi badan air sesungguhnya. Mereduksi sungai menjadi sarana mengatasi banjir berarti membawa kepada bencana kekurangan air di musim kemarau.

Kota yang mengandalkan sungai sebagai sumber air bersih, mesti menyadari kalau tugasnya adalah menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas air sungai. Air sungai bukan hanya harus bersih, tetapi juga sehat dan tersedia setiap tahun, tidak terlalu ekstrim perbedaan antara air di musim penghujan dan musim kemarau.

Apa relevansi mengeruk sedimen sungai, memperlebar sungai, meluruskan sungai dan membeton dinding sungai dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas air?. Tidak ada.

Berarti cara kita menyelesaikan masalah air, ibarat “Buah cempedak buah kedondong”, nggak nyambung dong.

Selamat merayakan Hari Air Sedunia, buang semen dari sungai dan pulihkan ekosistem sungai agar sungai kembali menjadi habitat bukan saluran drainase untuk membebaskan kota dari banjir. Sebab air sungai adalah air kehidupan, maka cara menghormati sungai adalah tidak membuang airnya secepat mungkin ke laut.