KESAH.IDAnak-anak muda sekarang mungkin mulai asing dengan urusan cuci mencuci baju. Tak terbiasa lagi mencuci baju sendiri karena ada laundry dimana-mana, layanan cuci baju yang makin hari biasa jasanya makin ramah pada kantong. Tapi dilain sisi banyak anak muda yang makin suka cuci mencuci, namun yang dicuci bukan baju melainkan uang kotor. Dengan semangat untuk membangun karir, optimismenya mengembangkan usaha termasuk usaha-usaha yang kreatif dan inovatif, anak muda memang menjadi sasaran untuk ‘menitipkan uang’ milik mereka yang terlibat dalam kepemilikan uang yang tidak sah. Lewat anak-anak muda ini mereka mencuci uang kotornya agar menjadi uang bersih sehingga bisa disimpan di lembaga keuangan tanpa masalah.

Tanda-tanda kita makin malas mencuci sendiri sudah terang benderang. Di mana-mana muncul kios atau layanan laundry, bukan hanya pakaian, tetapi juga sepatu dan tas.

Dulu laundry merupakan layanan yang hampir eklusif untuk hotel-hotel. Lalu menyasar kelompok tertentu yang punya gaya pakaian yang mahal. Pakaian yang kalau dicuci oleh pembantu atau dicuci sendiri bisa rusak atau berubah bentuk dan lain sebagainya.

Tapi sepuluh tahun terakhir ini jasa laundru berkembang dengan pesat. Sama pesatnya dengan layanan jasa isi air ulang.

Sepertinya mutu atau kualitas air, ketersedian atau akses pada air yang kemudian memicu pertumbuhan jasa laundry.

Air memang jadi masalah, bahkan di daerah-daerah yang terkenal mempunyai banyak air sekalipun. Banyaknya air tidak bisa menjadi ukuran tentang ketersediaan air bersih karena sebagian besar air di permukaan bumi mesti diolah agar layak dipakai atau dikonsumsi sebagai air bersih.

Kalimantan Timur misalnya, mempunyai banyak cadangan air, air permukaan. Ada banyak sungai dan anak sungai yang mengalirkan air sepanjang waktu.

Hanya saja airnya yang dulu bisa dipakai untuk mencuci lama kelamaan memburuk. Masyarakat enggan mencuci langsung di air sungai, pakaian yang dicuci dengan air sungai bukannya makin kinclong, salah-salah malah cepat bertambah kusam.

Tapi air sungai inilah yang menjadi sumber air baku yang diolah oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum. Namun akses masyarakat terhadap air ledeng ini belum merata. Masih ada wilayah-wilayah yang menyebut PDAM sebagai Perusahaan Daerah Angin Melulu, air tidak mengalir lancar setiap saat. Bahkan terkadang air hanya bisa mengalir jika disedot dengan mesin pompa. Mengalirkan air kedalam bak butuh biaya.

Berhemat air bersih, mungkin merupakan salah satu pendorong masyarakat untuk memanfaatkan jasa laundry. Air yang mengalir ke bak rumah, lebih digunakan untuk mandi, memasak dan mencuci alat rumah dapur atau alat makan serta masak memasak.

Namun ada kombinasi lain yang menyebabkan makin banyak masyarakat memilih mencucikan baju di laundry. Kombinasi antara kemampuan menyediakan air bersih, waktu dan ruang untuk menjemur pakaian. Iklim yang tidak teratur juga bisa menjadi faktor pendorong. Mencuci baju sendiri dan kemudian dijemur lalu ditinggal bekerja bisa runyam. Karena pagi yang panas tiba-tiba bisa berubah menjadi siang dengan hujan lebat. Yang dijemur bukannya kering tapi malah semakin basah.

Kabar baiknya, seperti ojek yang dulu dipandang sebelah mata namun kemudian terlembagakan dalam sebuah korporasi. Pun demikian dengan tukang cuci yang kemudian disebut sebagai laundry. Tukang cuci menjadi sebuah usaha yang kemudian berkembang dengan SOP masing-masing.

Mecucikan baju lama kelamaan juga semakin tidak mahal dibandingkan mencuci di rumah sendiri. Mulai ada layanan swa cuci, membawa baju sendiri ke outlet lalu mencuci sendiri dengan mesin yang disediakan oleh penyedia jasa. Mode layanan seperti ini cocok untuk para bujangan, kaum jomblowan-jomblowati atau mereka yang mempunyai keluarga kecil.

Karena beberapa hal mencuci sendiri memang menjadi tidak efektif.

Karena tak efektif masyarakat kemudian malas mencuci di rumah sendiri.

Namun soal cuci mencuci, ada kecenderungan lain yang menguat beberapa tahun terakhir ini. Masyarakat semakin antusias dalam mencuci uang.

BACA JUGA : Marquez Grandprix

Dulu Swiss dikenal sebagai surga para pemilik uang. Tempat para orang-orang kaya menyimpan uangnya tanpa banyak ditanya-tanya. Namun penetapan UU Anti Pencucian Uang kemudian membuat Swiss menjadi kurang ramah untuk pemilik uang dari luar negeri menyimpan uang disana.

Dan nama lain yang kemudian populer adalah Cayman, sebuah negara di kepulauan Karibia. Negara ini disebut sebagai surganya para pemilik uang karena kontrol yang lemah terhadap uang yang berasal dari luar yang disimpan disana.

Kita juga pernah dikejutkan dengan sebuah dokumen yang disebut Panama Papers. Dokumen ini berisi informasi rahasia dalam bentuk catatan dokumen rahasia yang jumlahnya jutaan lembar. Isinya tentang ratusan ribu perusahaan luar negeri yang sangat detail, didalamnya ada nama pemimpin negara, keluarga, kerabat atau orang-orang dekatnya dari berbagai negara.

Dokumen ini berasal dari perusahaan penyedia jasa keuangan yang didirikan di Panama. Perusahaan jasa ini mampu membangun struktur yang rumit untuk mengelola uang dari para nasabahnya sehingga sulit dilacak arus uangnya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Selain menghindarkan dari pajak, kerumitan ini diciptakan untuk membuat ‘uang kotor’ menjadi ‘uang bersih’. Uang seolah-olah merupakan pendapatan atau hasil usaha dari sebuah badan usaha yang kerap disebut sebagai perusahaan cangkang.

Beberapa nama tokoh baik politik maupun ekonomi di Indonesia disebut-sebut ada dalam Panama Papers ini.

Model mencuci uang dengan menyimpan di lembaga keuangan luar negeri, di negara atau daerah yang tidak terlalu ketat menerapkan protokol anti pencucian uang makin lama makin sulit. Otoritas keuangan dunia dan lembaga-lembaga lain rajin memeranginya. Banyak negara kemudian sudah meregulasi dan mengatur dalam UU Anti Pencucian Uang.

Uang kotor, uang hasil kejahatan, korupsi, manipulasi dan lain-lain harus dicuci dengan cara lain. Agar uang yang dihasilkan dengan cara yang illegal itu bisa menjadi legal masuk ke dalam sistem perbankan.

Dalam sebuah film tentang kartel narkoba, sebuah mafia narkoba mencuci uang dengan cara mendirikan jaringan toko obat atau apotik. Uang dari hasil berdagang narkoba kemudian dimasukkan sebagai uang hasil usaha obat-obatan.

Nah beberapa tahun lalu menjamur usaha rintisan yang disebut dengan start up. Usaha baru yang didirikan oleh individu atau sekelompok orang yang mulanya didanai dengan bootstrap. Usaha yang umumnya mempunyai kaitan erat dengan teknologi informasi dan komunikasi ini dimulai dengan biaya sendiri, menggali tabungan atau modal simpanan sendiri.

Begitu berkembang butuh suntikan, karena keperluan barang modal atau peningkatan teknologi yang sulit untuk dibiaya sendiri. Mereka kemudian mengundang investor, orang-orang yang punya uang untuk menyuntikkan modal, mengembangkan start up agar naik kelas, meningkat valuasinya.

Ditenggarai pendanaan start up-strat up ini kemudian menjadi ruang masuk untuk melakukan cuci uang. Membersihkan uang kotor agar menjadi uang bersih, uang yang bisa disetor atau disimpan di bank tanpa dicurigai berlebihan.

Segala sesuatu yang di-start-up kan membuat ladang untuk mencuci uang menjadi lebar.

BACA JUGA : Daerah Banjiran

Kenapa uang kotor mesti di ‘cuci’. Pertama tentu saja karena jumlahnya besar dan merupakan pendapatan yang tak wajar. Jadi jika akan disimpan di lembaga keuangan maka akan ditanya sejarahnya, uang akan ditelusuri oleh PPATK. Dan jika dicatatkan sebagai pendapatan maka juga akan dipelototi oleh otoritas pajak.

Karena itu pemilik uang kotor akan kesulitan atau takut memasukkan untuk menyimpan uangnya di lembaga keuangan resmi. Uang inilah yang kemudian dititipkan kepada pihak lain, disebarkan sebagai investasi atau penyertaan modal, kemitraan dan lain-lain.

Uang kotor itu apa?. Uang ini biasanya hasil kejahatan, seperti perdagangan narkoba, uang hasil penipuan, penggelapan pajak, korupsi, perdagangan barang terlarang yang bernilai tinggi dan lain-lain.

Uang cash dalam jumlah besar ini harus dikaburkan agar tak terlacak oleh aparat yang berwenang.

Punya banyak uang dan kesulitan menyimpan uang. Itu yang dialami oleh Pablo Escobar, the king of cocaine dari Kolombia. Pengusaha kriminal terkaya sedunia ini bisa menaguk untuk sebesar 100 juta USD per hari, bentuknya cash.

Escobar yang kriminal ini memakai sebagian uangnya untuk menunjukkan diri sebagai orang baik. Membagi-bagikan kepada masyarakat Kolombia, menjadi Robinhood. Kejahatan disamarkan dengan kebaikan. Escobar membangun banyak rumah untuk orang miskin, rumah sakit, stadion dan lain-lain.

Saking banyaknya uang namun tak bisa disimpan di bank membuat Escobar kemudian ingin menjadi pemimpin negara. Mungkin dia berpikir kalau jadi pemimpin uangnya akan bisa menjadi uang resmi, dan dia juga merasa dengan uangnya bisa meraih kekuasaan.

Tapi cita-cita Escobar gagal.

Andai saja waktu itu start up sudah menjamur, mungkin Escobar bisa menyebar uangnya untuk berinvestasi pada usaha-usaha rintisan itu.

Pertumbuhan start up memang agak mengejutkan. Bagaimana sebuah usaha yang belum jelas juntrungannya bisa mandi uang. Mendapat dukungan pendanaan besar dari investor.

Beberapa tahun lalu kita dikejutkan dengan kemunculan sosok-sosok yang oleh netizen disebut crazzy rich atau sultan. Orang yang bertabur uang, kekayaan dan barang mewah.

Sebagian diantaranya dicurigai melakukan tindak pidana pencucian uang.

Tiba-tiba ada seseorang yang tidak punya rekam jejak sebagai pengusaha, membangun restoran, entertaint centre atau apapun yang nilainya milyard-an. Uang kotor kemudian dirubah menjadi aset, entah bangunan, peralatan atau lainnya. Jika aset ini dijual maka uang kotor akan menjadi uang bersih, uang yang diperoleh adalah uang hasil perdagangan atau jual beli yang resmi.

Dalam sebuah podcast yang diproduksi oleh konten kreator di Yogya, salah satu sessinya membahas tentang kedai kopi yang mewah, tak laris atau ramai namun tidak bangkrut-bangkrut. Yang diajak untuk membahas hal itu mencurigai kedai kopi dipakai sebagai tempat pencucian uang.

Tidak laku tidak apa-apa tapi kedai kopi bisa dipakai untuk membuat laporan transaksi palsu. Semua di-up, sehingga semakin banyak uang kotor yang bisa dicuci menjadi uang legal, uang hasil transaksi dagang dan kemudian disetor ke bank sebagai pendapatan atau keuntungan.

Beberapa waktu lalu seseorang yang disangka menjadi mafia kasus dan dirumahnya ditemukan tumpukan uang cash. Ternyata juga tercatat sebagai seorang eksekutif produser sebuah film. Uang kotornya diinvestasikan dalam kegiatan ekonomi kreatif. Jika filmnya meledak maka pendapatan dari film itu bisa merubah uang kotor menjadi uang bersih.

Sayangnya yang kini banyak terlibat dalam pencucian uang justru anak-anak muda. Entah mereka tidak tahu atau pura-pura saja tak tahu. Tapi godaan untuk menjadi sosok muda, kaya raya, foya-foya dan bergaya memang sulit untuk ditolak.

note : sumber gambar – FOREST