KESAH.IDTeror terhadap jurnalis semakin serius. Aroma ketakutan yang ditebar nampaknya berkehendak agar para jurnalis kemudian melakukan swasensor atau self cencorship. Jika ini terjadi maka kerja-kerja jurnalistik akan menjadi kurang optimal. Apa yang dipublikasikan tidak memenuhi hak-hak masyarakat untuk tahu, karena jurnalis dan pers kemudian hanya menjadi kepanjangan mulut instansi, badan atau lembaga tertentu. Jurnalis bukan humas, melainkan orang yang berjuang untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

Saya suka makan babi, tapi tak sampai menganggapnya sebagai daging terenak. Banyak daging lain yang sama-sama atau lebih enak. Bagaimanapun juga ketrampilan dan racikan bumbu dalam memasak juga akan mempengaruhi enak tidaknya olahan daging.

Kebiasaan makan daging babi juga tidak dari masa kecil. Di Purworejo waktu itu daging babi tak dijual setiap hari. Hanya hari-hari tertentu ada dan itupun dijual pagi-pagi sekali pada sebuah kios yang tidak permanen.

Nanti saya mulai sering makan daging babi ketika sekolah di Kolese Petrus Kanisius, Mertoyudan. DI sekolah berasrama itu memang ada kandang babi, babi bule yang menurut saya besar-besar ukurannya.

Daging babi kemudian jadi makanan hari-hari setelah saya balajar di sebuah sekolah tinggi di Minahasa, tapi lebih sering disebuti sebagai Manado, karena lebih dekat dengan Kota Manado.

Saya tinggal di Pineleng, sebuah desa yang berada di perbatasan antara Kabupaten Minahasa dan Kota Manado. Di asrama tempat saya tinggal ada juga kandang babi.

Seperti di daerah Minahasa atau Manado pada umumnya, babi adalah binatang peliharaan yang umum.

Dengan ketrampilan memasak dan bumbu-bumbu yang lebih kaya, olahan babi di Minahasa dan Manado ini terasa lebih mirasa, lebih enak dan lebih beragam masakannya.

Yang paling populer tentu saja babi rica-rica, tapi yang paling bergengsi adalah babi guling.

Selain itu ada juga babi kecap, babi garo, babi cuka, lo ba, babi goreng tepung, babi leilem, sop kaki babi brenebon dan lain-lain.

Daging dan lemak babi juga menjadi campuran untuk masakan yang dimasak dengan batang bambu, seperti sayur pangi dan saut. Sayur pangi terbuat dari irisan daun pangi atau kluwak, sedangkan saut terbuat dari irisan bagian tengah batang pisang kepok.

Seperti kebanyakan daging lainnya, daging babi juga enak disate. Ada sate babi ada pula sate ragey. Sate babi seperti umumnya sate lainnya, sementara sate ragey adalah sate dengan irisan besar. Satu tusuk biasanya hanya terdiri dari 3 potongan dengan kombinasi daging dan lemak.

Oh, iya ada juga mie babi, nasi goreng babi, cap cay babi, bahkan soto iga babi.

Daging babi nampaknya jenis yang tidak susah untuk diolah atau dikreasi menjadi aneka jenis masakan.

Tapi ada satu yang mulanya mengejutkan, yakni kepala babi rebus.

Menu ini nanti saya rasakan ketika sudah tidak tinggal lagi di asrama.

Tinggal bersama masyarakat, sayapun mulainya mengikuti irama sosial mereka. Bapak-bapak biasanya di hari libur sering piknik bersama. Yang disebut piknik adalah pergi ke salah satu kebun dan kemudian masak-masak disana. Yang memasak juga bapak-bapak.

Di kebun biasanya memang ada pondok dan alat masak. Selain itu juga ada binatang peliharaan, yakni ayam kampung.

Kalau berencana merebus kepala babi, mesti pergi ke pasar pagi-pagi. Kelewat siang, kepala babi yang berjejer diatas lapak sudah lepas landas.

Merebus kepala babi termasuk jenis masak pelan. Kepala direbus antara 2 – 3 jam, sehingga empuk. Karena hanya ikut makan, saya lupa bumbunya. Tapi pasti tak jauh dari goraka {jahe}, bramakusu {serai}, dan balakama {kemangi}.

Daging kepala babi, enaknya dimakan dengan dicocol dabu-dabu iris, bukan pakai nasi melainkan singkong atau pisang goroho rebus. Dan tambah sempurna jika kerongkongan kemudian diguyur dengan saquer atau cap tikus.

BACA JUGA : Mahakam Jalan Gelap Transisi Energi

Kamis, 20-03-2025 lalu Francisca Christy, wartawan desk politik Tempo dan host siniar Bocor Alus mendapat kiriman kardus. Setelah dibuka ternyata isinya kepala babi yang sudah tidak segar lagi, telinganya juga tidak ada.

Untuk awak Tempo, teror sudah biasa mereka alami. Namun dikirimi kepala babi mungkin baru pertama kali.

Dan setelah itu ada kiriman berikutnya yakni beberapa ekor tikus yang terpenggal.

Ini adalah teror yang berisi ancaman.

Pesannya adalah ketidaksukaan atas apa-apa yang dilakukan oleh awak Tempo itu. “Hentikan atau saya habisi seperti babi dan tikus ini,” itu pesan utamanya.

Babi dan tikus melambangkan ketidaksukaan.

Tempo kemudian melaporkan kasus ini ke polisi sebagai sebuah bentuk pengancaman.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan kemudian menanggapi peristiwa ini dengan gurauan. Hasan Nasbi, menyarankan untuk dimasak saja. “Sudah dimasak saja,” ujarnya.

Harapannya kasus ini tidak dibesar-besarkan, atau digoreng-goreng.

Hasan Nasbi menyarankan untuk dimasak saja karena tak punya referensi dan memori tentang kepala babi rebus.

Entah apa komentarnya tentang tikus yang dipenggal. Andai saja Hasan Nasbi pernah tinggal di Minahasa mungkin juga akan mengatakan “Dimasak lagi aja,”.

Di Minahasa memang ada jenis tikus hutan atau tikus pohon yang sering dimasak. Ujung ekornya berwarna keputihan, tikus ekor putih begitu sebutannya. Namun dalam bahasa setempat tikus yang bisa dimakan ini disebut kawok.

Pasti yang dikirim ke kantor Tempo bukan jenis tikus berekor putih.

Entah apa yang membuat Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan bergurau menanggapi kasus teror ke jurnalis Tempo ini. Harus diingat, membeli, mengemas baik-baik dan mengirimkan kepala babi serta tikus terpenggal jelas bukan kerjaan orang iseng, atau konten kreator yang suka ngeprank.

Kasus ini serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Jadi tidaklah tepat jika ditanggapi dengan cara bergurau. Apalagi yang bergurau tidak dikenal sebagai orang yang suka ngebanyol. Mungkin kalau yang mengatakan itu adalah Komeng, ya wajar-wajar saja walau kini sudah jadi anggota DPD.

Kabarnya Menteri HAM, Natalius Pigai juga datang menyambangi Kantor Tempo di Palmerah. Tapi datangnya kelewat malam, saat sebagian sudah meninggalkan kantor.

BACA JUGA : Balbalan Nasional

Buah dari reformasi adalah supremasi sipil dan kebebasan pers. Semakin bertambah umur reformasi, justru makin tak matang. Alih-alih makin dewasa, ternyata kita justru mengalami kemunduran.

Ada yang mengatakan kita tidak tabah dalam berdemokrasi. Ingin segala sesuatu cepat selesai, tak tahan berdebat, menguji gagasan dan mendengarkan pihak lain.

Demokrasi kita masih dalam taraf gaduh untuk mengkonsolidasi hingga ada sebagian yang berkeinginan untuk membungkam.

Keinginan untuk memperkuat dan memperluas peran TNI di luar masalah pertahanan serta keamanan negara merupakan tanda kalau kita ingin ‘menertibkan’ kehidupan bersama dengan cepat. Bukan dengan kesadaran tetapi dengan kekuatan senjata.

Demikian halnya dengan kebebasan pers. Tidak ada lagi alat untuk menekan pers terutama pemberitaan secara legal. Semua permasalahan terkait pers mesti diselesaikan di Dewan Pers, tidak bisa langsung ke arah hukum. Yang berkeberatan bisa mengajukan hak jawab, jika pers lalai atau kurang teliti pemberitaan diperbaharui, di take down sendiri dan menyampaikan pernyataan maaf.

Hanya saja skema ini tidak populer. Yang kurang suka atau telinganya sakit lebih memilih untuk melakukan teror, bahkan kekerasan.

Aliansi Jurnalis Indonesia mencatat pada tahun 2023 ada 101 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan setahun kemudian ada 73 kasus.

Kasus ini dilaporkan ke polisi, namun mayoritas pelakunya tidak tertangkap.

Bentuk kekerasannya mengkhawatirkan, seperti pelemparan bom molotov ke kantor media Jubi. Pembunuhan pada Rico Sempurna Pasaribu. Dan yang terakhir pengiriman kepala babi dan tikus yang terpenggal ke Tempo.

Pelaku kekerasan menargetkan pembungkaman, bungkam selamanya.

Kebebasan pers sedang tidak baik-baik saja, terutama ketika pers menjalankan fungsinya sebagai human right defender.

Fungsi yang dijalankan dengan menjadi pengawas atau wacthdoc atas pilar demokrasi lain yakni Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Jika pers dibungkam untuk melakukan kerja-kerja pengawasan maka kita akan kembali kepada situasi dimasa orde baru. Pers hanya boleh memberitakan apa yang disukai oleh penguasa.

Kepala babi dan tikus terpenggal jelas tidak dikirimkan sebagai bahan masakan segar. Tapi ancaman karena belum ada jalan lain untuk membungkam kerja-kerja jurnalistik yang masih menjunjung tinggi independensinya.

Bahwa kini sebagian besar media hidup dari dana ‘pemerintah’. Tidak berarti media harus menjadi juru bicara, atau departemen humas dari instansi atau lembaga yang membiayainya.

Kebebasan pers tak akan runtuh oleh teror, melainkan oleh para jurnalis sendiri yang mengadaikan independensinya dengan menerobos pagar api.

note : sumber gambar – BABIPEDIA