KESAH.ID – Kupat kecemplung santen, bilih wonten lepat nyuwun pangapunten, ketupat di hari raya lebaran memang bukan hanya dipahami sebagai hidangan. Ketupat adalah simbol dari kesadaran atas diri yang merasa banyak kekurangan dan kesalahan. Mengakui kesalahan adalah awal dari perubahan dan perbaikan diri agar bisa tampil sebagai pribadi baru yang lebih matang, dewasa dan manusiawi. Selamat merayakan hari raya Idul Fitri.
Setiap kali menjelang lebaran dan terlibat omon-omon perihal hari raya itu, saya cenderung tergoda untuk melakukan glorifikasi masa-masa lebaran di saat saya kanak-kanak dulu. Saya akan cenderung memaksakan kalau lebaran atau bada di masa itu adalah yang terbaik.
Tentu saja itu pandangan yang sangat subyektif, hasil dari memori yang gemar membandingkan sebuah peristiwa berulang dari masa ke masa.
Saya sendiri mempunyai pengalaman lebaran yang berbeda, lebaran di Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.
Lebaran di masa kanak-kanak sampai menjelang pemuda di Jawa Tengah, lebaran pada masa muda menjelang dewasa di Sulawesi Utara dan lebaran di masa dewasa ke arah menua di Kalimantan Timur.
Sebenarnya cukup mudah untuk memahami kenapa memori tentang lebaran yang tertanam begitu dalam di benak berasal dari periode yang justru tertua dalam rentang domisili saya.
Jawa Tengah menjadi kenangan terkuat tentang lebaran karena di masa saya tinggal disana, apa dan bagaimana lebaran itu diajarkan kepada saya. Lebaran adalah saat saya harus meminta maaf kepada yang lebih tua. Dan yang lebih tua itu sangat banyak.
Ya, lebaran di masa itu saya masih punya kakek dan nenek dari jalur bapak dan ibu. Saya punya Pak De-Bu De dan Pak Lik-Bu Lik yang jumlahnya belasan. Dan lebih banyak lagi mas dan mbak, saudara sepupu yang adalah anak-anak dari Pak De – Bu De saya. Dalam tradisi Jawa, saudara sepupu yang merupakan anak dari kakak bapak atau ibu, selalu dianggap lebih tua walau usianya lebih muda dari kita.
Maka menjelang lebaran setelah semua urusan beres, artinya sudah punya baju baru dan lain-lain, maka urusan terakhir adalah menghafalkan rangkaian kata saat melakukan sungkem kepada Kakek dan Nenek.
Sungkem kepada Kakek dan Nenek menjadi ritual yang syahdu. Ada harap-harap cemas, saat mau berucap meminta permohonan maaf.
Di ruang tengah biasanya Kakek dan Nenek duduk berdampingan, di kursi sofa kayu yang bagian alas duduknya terbuat dari anyaman rotan. Saya dan saudara sepupu antri, dengan posisi jalan ndodok, posisi ini dalam budaya Jawa dianggap sebagai sebuah laku penghormatan.
Begitu sampai di hadapan Kakek dan Nenek, dengan posisi bertumpu pada dua lutut, tangan mengatup dan kepala ditempel ke dengkul kakek atau nenek, saya akan berucap kalimat yang dihafalkan semalaman “Ngaturaken sembah sungkem, kula nyuwun pangapunten bilih kathah kalepatan. Mugi-mugi Mbah/Eyang tansah pinaringan berkah saking Gusti Allah,”
Pendek saja, tapi kadang-kadang gagal mengucapkan dengan lengkap. Yang paling terdengar hanya “Ngaturaken sembah sungkem …….,”
Dan setelah deretan sungkeman selesai, maka waktunya bersuka ria. Seharian kami akan bermain, berinteraksi dengan damai dilingkungan sekitar rumah kakek dan nenek. Hari lebaran pertama biasanya belum akan pergi ke rumah tetangga atau saudara-saudari lainnya.
Pengalaman setahun sekali ini mengisi memori dengan banyak kenangan indah yang hanya buyar kalau diwaktu hari penuh rahmat dan berkah itu kena serangan sakit gigi.
Saya pernah dan dunia serasa runtuh.
BACA JUGA : Balbalan Nasional
Lebaran masa kecil memenuhi memori karena masyarakat dan orang tua pada umumnya memang mempersiapkan lebaran dengan serius. Warga bergotong royong untuk membersihkan lingkungan. Dan orang tua di rumah juga melakukan hal yang sama.
Seminggu sebelum lebaran rumah dibersihkan. Semua perabot di ruang tamu dan ruang tengah dikeluarkan, dicuci. Lantai dan dinding dibersihkan, kalau perlu dicat.
Dua atau tiga hari menjelang lebaran, dapur sudah sibuk. Mulai tercium bunyi dan bau-bauan yang tidak terdengar dan terasa pada hari biasa.
Di rumah kakek dan nenek, biasanya saya ikut sibuk. Mengaduk-aduk wajan besar dengan solet terbuat dari pelepah kelapa untuk membuat jenang. Membuat jenang seru karena dilakukan di luar rumah, dihalaman belakang.
Biasanya kami menyerah dan tak antusias lagi kalau adonan mulai mengental, jadi terasa berat mengaduknya. Lagi pula biasanya yang lebih dewasa memang tak membiarkan karena kalau adukan kurang konsisten, jenang bisa gosong.
Semua itu membuat lebaran menjadi penuh kenangan karena hampir semua dibuat sendiri. Jenang, Madumongso, Juadah, Wajik, Lemper, Kacang Bawang dan lain-lain. Yang dibeli dan siap saji biasanya hanya kue kering kaleng dan sirup.
Semua kesyahduan ini hilang ketika kemudian saya tinggal di Sulawesi Utara. Saya tinggal di Desa Pineleng 1, Minahasa. Desa yang sebagian besar warganya beragama Katolik. Desa tetangga yakni Pineleng 2, mayoritas warganya beragama Protestan. Warga Muslim di Pineleng ada di Pineleng Bawah, Pineleng Atas dan satu dusunnya yakni Lotta. Di Lotta ada petilasan Imam Bonjol dan makam dari pengikutnya.
Tetap saya ikut ‘pasiar lebaran’, mengunjungi kenalan muslim. Tapi ya hanya jadi penikmat, tidak ikut mempersiapkannya. Meski ada kenangan namun tak terlalu dalam.
Salah satu tetangga Muslim terdekat adalah Pala, singkatan dari Kepala Lingkungan. Namanya Pak Umar. Biasa di hari lebaran, Pak Umar akan mengundang untuk silaturahmi ke rumahnya, dengan pesan “Malam saja kalau tamu sudah sepi,”.
Dia berpesan begitu karena ketika kami bertamu ke rumahnya, selain kue dan makanan lebaran, dia kemudian juga akan menyuguhkan minuman beralkohol. Minuman yang tidak akan disajikan ketika saudara-saudara Muslimnya bersilaturahmi.
Satu sajian kuliner yang seru di hari Lebaran adalah ketupat yang dimakan bersama dengan sup brenebon {kacang merah} kaki sapi. Kalau hari Natal, sup brenebon biasanya dengan kaki babi.
Sup ini enak juga dimakan dengan mie basah. Mie disiram dengan sup sebagai kuah.
Tapi pengalaman terseru lebaran di Sulawesi Utara adalah Lebaran Ketupat, perayaan satu minggu setelah lebaran pertama. Kebiasaan ini merupakan warisan dari Kyai Mojo, pengikut Pangeran Diponegoro yang diasingkan ke Tondano. Para pengikutnya yang semuanya laki-laki dan kemudian menikah dengan perempuan Minahasa, melahirkan keturunan yang disebut sebagai Jawa Tondano atau Jaton.
Perayaan Lebaran Ketupat dulu ekslusif di Kampung Jaton, semua orang akan menuju kesana hingga jalan dari Manado sampai Tondano macet. Namun kemudian perayaan ini diadaptasi oleh masyarakat muslim Minahasa dan Manado lainnya. Hari Lebaran Ketupat kemudian menjadi semacam pesta rakyat. Keramaiannya bukan hanya saling berkunjung atau silaturahmi tapi juga ada panggung di gang-gang, bahkan ada acara panjat pinang.
BACA JUGA : Kepala Babi
Dua puluh tahun lebih saya tinggal di Kota Samarinda, ini masa domisili saya terlama bahkan dibanding masa saya tinggal di kampung halaman sendiri.
Saya tak punya saudara di Samarinda, kalau saudara se kabupaten pasti banyak dan biasanya membentuk paguyuban, sama seperti masyarakat perantau lainnya.
Tapi saya merasa tidak merantau. Jadi tak elok kalau harus ikut paguyuban-paguyuban kaum rantau itu.
Saya datang ke Samarinda untuk tinggal, jadi saya seperti ketika tinggal di Manado kemudian jadi orang Manado, maka ketika tinggal di Samarinda ya harus jadi orang Samarinda. Walau sebenarnya apa dan bagaimana orang Samarinda itu tak terlalu terang benderang. Kota ini adalah kota campuran.
Karena belum punya banyak teman dan kenalan, lebaran-lebaran awal di Samarinda saya hanya mengikuti silaturahmi yang dilakukan oleh istri saya. Mengunjungi teman dan kenalannya, serta tetangga sebelah kanan-kiri rumah.
Begitu bertahun-tahun. Dan makin lama yang dikunjungi juga makin berkurang. Ada yang meninggal dan ada yang sudah berpindah rumah.
Perlahan saya mulai punya teman sendiri. Tapi lagi-lagi sebagian adalah keluarga muda, yang pada saat lebaran biasanya masih berlebaran atau mudik ke rumah orang tuanya.
Tapi yang paling saya ingat adalah seorang teman yang selalu mengundang ke rumahnya, lebih tepat rumah orang tuanya saat Lebaran Ketupat. Teman saya ini selalu membanggakan masakan sayur lodeh ibunya. Dan memang enak, cocok dan pas dimakan dengan ketupat.
Namun, ketika ibunya mulai tidak sehat, dengan sangat menyesal dia mengabarkan kalau tradisi lebaran ketupat di keluarganya tak bisa lagi berlanjut seperti yang lalu-lalu.
Merindukan lebaran seperti saat saya masih kanak-kanak tentu tak masuk akal lagi. Jaman sudah berubah, bahkan di kampung halaman saya sendiri pengalaman seperti itu pasti sudah tak ada lagi. Lebaran tetap ramai, tetapi bukan silahturahmi antar keluarga, bermain seharian dengan sepupu dan lain-lain.
Yang ramai adalah jalanan, mobil lalu lalang, terutama mobil pemudik. Jalanan di Purworejo akan dipenuhi mobil dengan plat B, D, L dan lain-lain.
Sampai hari lebaran usai apa yang disajikan di deretan meja ruang tamu tak banyak berkurang.
Anak-anak yang datang tak lagi suka dengan minuman dan cemilan. Mereka lebih mengharap mentahannya saja.
Tapi saya tetap tak ingin kehilangan memori indah tentang lebaran, tentang ketupat. Maka setiap hari raya ketupat, seminggu setelah lebaran, saya rutin memasak ketupat. Toh, menjelang hari ketupat di pasar banyak dijual selongsong ketupat. Dan tak perlu dimasak dengan panci besar di tungku kayu. Ketupat bisa dimasak dengan magic jar.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri, Kupat kecemplung santen, sedoyo lepat nyuwun pangapunten.
note : sumber gambar – CNN