KESAH.IDTemuan uang hampir satu trilyun di rumah seorang mantan pejabat Mahkamah Agung bukanlah hal yang mengejutkan. Yang namanya mafia hukum memang ada dan beroperasi sampai jantung terdalam lembaga-lembaga penegak hukum. Intervensi negatif pada keputusan peradilan lewat suap yang dioperasikan oleh para makelar kasus yang beroperasi secara sistemik ini senada dengan persepsi masyarakat bahwa hukum tajam kebawah tapi tumpul ke atas. Yang bisa mendapat keadilan hanyalah mereka yang berpunya atau punya kuasa.

Markus, yang ini bukan nama baptis tapi singkatan dari Makelar Kasus.

Istilah ini kembali naik daun pada saat Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Menko Polhukam Mahfud MD pada Maret 2023 lalu. Mahfud MD saat itu memberi penjelasan tentang transaksi janggal yang ada di Kementerian Keuangan. Jumlahnya tidak main-main yakni Rp. 349 Trilyun.

Makelar Kasus atau Markus bukanlah istilah yang baru. Ismantoro Dwi Yuliono bahkan sudah menuliskan sebuah buku dengan judul Kisah Para Markus di tahun 2010.

Makelar kasus digambarkan olehnya sebagai seorang perantara yang mengenal penjahat sekaligus memiliki hubungan dekat dengan penegak hukum.

Cara kerja seorang Markus adalah melakukan intervensi negatif terhadap penegak hukum. Agar yang berkasus bisa diringankan hukumannya, atau kalau bisa kasusnya tidak diperkarakan.

Intervensi ini dilakukan semenjak di penyelidikan, penyidikan hingga di peradilan.

Para Markus akan mengiming-imingi mereka yang berhubungan dengan kasus tertentu dengan uang, barang atau jasa. Markus bahkan bisa mengiming-imingi jabatan, kenaikan pangkat dan mutasi ke tempat yang lebih basah.

Dalam beberapa kasus yang disebut atau mengaku sebagai Markus adalah penipu. Mereka beroperasi untuk memeras korban atau orang yang berkasus dengan iming-iming bisa membebaskan dari tahanan, mengurangi hukuman atau membatalkan kasus. Mereka meminta uang dalam jumlah tertentu, namun tak semua yang dijanjikan terbukti.

Mekelar Kasus yang sebenarnya pasti tak akan mengiklankan diri. Mereka jelas bekerja diam-diam, kemampuannya atau jaringannya untuk menyelesaikan sebuah kasus biasanya hanya diketahui dari mulut ke mulut. Atau bisa jadi kepiawaiannya hanya beredar di kelompok tertentu, misalnya kelompok penasehat hukum.

Lama tidak terdengar, baru-baru ini urusan Makelar Kasus kembali menyeruak. Sebuah vonis yang mengejutkan yakni pembebasan seseorang yang menganiaya orang lain hingga meninggal. Kasusnya mendapat perhatian besar karena pelakunya adalah anak dari petinggi politik dan ada rekaman video yang menunjukkan sebagian kejadian yang dianggap sebagai penyebab kematian korban.

Namun dalam persidangan ternyata tersangka dibebaskan, bebas murni.

Keputusan yang sangat mencurigakan sehingga diselidiki oleh yang berwenang. Dan akhirnya tiga hakim yang memutuskan ditangkap. Pun peradilan yang lebih tinggi juga membatalkan keputusan ketiga hakim itu.

Kabarnya para hakim disuap melalui pengacara tersangka. Dari beberapa berita, pengacara tersangka memang rajin menawarkan ‘penyelesaian’ kasus dengan imbalan. Baik ke keluarga korban maupun kepada penasehat hukumnya.

Dari kasus ini kemudian tersambung pada sosok lain. Sosok yang dulu merupakan pejabat di sebuah lembaga penegakan hukum. Jabatannya memang tidak strategis namun memungkinkan untuk membangun jejaring dalam institusinya.

Di mulai dari pengeledahan pada kamar hotel di Bali lalu berlanjut ke kediamannya yang berupa rumah mewah tiga lantai yang dilengkapi petugas keamanan, ditemukan sejumlah jenis mata uang dan logam mulia yang kalau ditotal nilainya mendekati Rp. 1 Trilyun.

Sebagai sebuah berita, penemuan uang yang ditenggarai berasal dari praktek Makelar Kasus atau bahkan Mafia Kasus ini amat mengejutkan.

BACA JUGA : Teras Tepian

Mungkin temuan sejumlah besar uang ini kemudian tak meledak karena beriringan dengan kabar-kabar transisi pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Masyarakat lebih tertarik untuk membincang para menteri pilihan Prabowo dan kegiatan pertamanya di Lembah Tidar, Magelang.

Sebagian juga lebih senang berbicara tentang kendaraan yang digadang-gadang akan menjadi kendaraan operasional para menteri. Mobil buatan Pindad yang kemudian jadi kendaraan resmi kepresidenan yakni Maung, kemudian akan menjadi kendaraan para menterinya pula.

Jokowi punya Esemka, Prabowo mempopulerkan Maung untuk menjadi mobil nasional.

Tapi bisa jadi masyarakat tak tertarik membincang soal uang 1 trilyun itu karena urusan begini sudah biasa di negeri kita. Praktek Makelar Kasus atau Mafia Kasus ada di mana-mana. Dan perolehan jumlah 1 Trilyun itu bukan jumlah yang besar mengingat uang itu merupakan hasil dari praktek Markus selama puluhan tahun.

Kalaupun ada yang membincang mungkin sebagian akan membodoh-bodohkan sang Markus karena menyimpan uang dan logam mulia gelondongan di rumahnya.

Praktek illegal yang dibaliknya ada transaksi imbalan berupa uang, jasa, barang dan lainnya memang hal yang biasa. Praktek ini terjadi mulai dari level perdesaan hingga perkotaan. Masyarakat kita dekat dengan hal ini bahkan cenderung menganggap sudah biasa.

Di republik ini apapun urusannya harus punya beking atau orang dalam jika mau lancar jaya.

Dan sudah lama masyarakat punya anggapan dunia hukum itu dunia hitam, tak banyak yang merasa nyaman berurusan dengannya.

Sampai-sampai ada cerita kalau cuma kehilangan satu kambing jangan lapor polisi. Soalnya malah bisa hilang kambing sekandang.

Anggapan lain yang populer ialah hukum tajam kebawah dan tumpul keatas.

Orang kecil, masyarakat biasa yang memelihara Landak dengan tak sengaja segera ditangkap dan diadili. Tapi orang kaya tenang-tenang saja pelihara harimau, sampai harimaunya makan orang.

Yang punya uang dan kuasa memang lebih tenang berhadapan dengan hukum, karena setiap pasal ada harganya. Urusan bisa didamaikan jika ada ‘uang damai’.

Seperti Ibu Guru Honorer yang dilaporkan melakukan kekerasan pada muridnya. Dalam beberapa pertemuan mediasi, Bu Guru dibisiki uang damai yang tidak bisa dipenuhinya. Kasus berlanjut dan terancam di penjara jika kasus diserahkan ke Kejaksaan.

Kabarnya setelah kasus dilimpahkan ke Kejaksaan, juga ada bisikan soal uang agar tidak ditempatkan di penjara selama proses persidangan.

Untung saja yang membela Ibu Guru itu banyak, tapi tidak semua masyarakat kecil yang berkasus atau dikasusnya punya keuntungan seperti itu. Banyak yang kemudian merana hingga hanya berpasrah dalam keadaan.

Lain cerita kalau punya uang atau kuasa, yang bersimpati dan menawarkan bantuan pasti banyak.

BACA JUGA : Negara Nanggung

Tak ada orang yang senang dipenjara, bagaimanapun cerita penjara adalah cerita seram. Kalaupun mau enak di penjara, syaratnya juga cukup seram yakni setoran rutin. Jumlahnya tergantung pada kenyamanan yang diperolehnya.

Maka kalau kena kasus, orang akan segara kasak-kusuk untuk mencari bantuan melalui orang dalam.

Normal saja orang mencari bantuan, hanya saja banyak yang sungguh keterlaluan. Sudah jelas salah tapi tak ingin dipersalahkan.

Kebutuhan ini kemudian memunculkan jasa. Dan ketika jasa sudah menjadi sistem muncullah kartel atau mafia.

Mereka ini punya sumber daya dan jejaring di masing-masing lembaga penegak hukum. Jadi mereka bisa mengatur penyelesaian sebuah kasus. Memilih siapa-siapa yang akan memeriksa, menuntut dan kemudian mengadili di pengadilan.

Disebut mafia karena kelompok ini melakukan operasinya dengan penyanderaan. Para penegak hukum yang bisa digoda lalu mau bekerjasama akan disandera. Kelompok mafia ini punya daftar dan catatan kesalahan atau pelanggaran yang lengkap, yang dipakai untuk mengertak jika aparat penegak hukum tak bisa diajak bekerjasama.

Patut diduga Zarof Ricar eks pejabat di Mahkamah Agung adalah salah satu orang yang terjebak dalam situasi itu. Sekali terperosok tak mungkin keluar lagi dari sumur. Mirip kisah yang sering ditampilkan di dokumenter kartel narkoba di Amerika Latin sana.

Walau sudah pensiun, Zarof Ricar sepertinya masih bekerja sebagai penerima dana, menjadi penampung dan penjaga uang suap untuk pengadil. Uang atau barang akan disimpan dulu olehnya dan kemudian didistribusikan kepada para pengadil jika keadaan sudah aman.

Alhasil ada tumpukan uang tunai dalam berbagai denominasi di rumahnya. Andai itu adalah uangnya sendiri bisa dipastikan tak akan disimpan dalam bentuk tunai di rumahnya.

Dia tentu saja mendapat bagian. Terbukti rumah kediamannya adalah rumah mewah. Dan sebagai pensiunan hidupnya sejahtera karena dia bisa memproduseri sebuah film yang dibintangi oleh aktor dan aktris ternama.

Entah kasus apa saja yang diurus olehnya. Namun uang yang jumlahnya hampir satu trilyun itu pasti mewakili banyak kasus di dalamnya. Dan pastinya uang yang diterima, disimpan dan telah didistribusikan olehnya juga tak kalah besar.

Jika kasus-kasus ini kembali dibongkar atau dikuak, mungkin ini yang akan mengejutkan kita.

note : sumber gambar – KUMPARANNEWS