KESAH.IDPengembangan kawasan yang dianggap rusak karena pengaruh manusia kemudian tetap berpatokan pada kepentingan manusia. Badan air alamiah seperti sungai dinormalisasi menjadi kawasan Ruang Terbuka Hijau namun lebih bernuansa taman dengan tujuan menjadi destinasi atau daya tarik wisata. Padahal sungai adalah habitat, disana ada banyak komunitas mahkluk hidup yang membutuhkannya untuk tumbuh dan berkembang. Namun bermilyar-milyar anggaran dihabiskan untuk ‘memperbaiki’ sungai tanpa sedikitpun memikirkan kepentingan mahkluk selain manusia.

Tingkat kemajuan sosial, budaya, ekonomi, lingkungan dan lainnya pada jaman ini lebih didasari atau digerakkan oleh sains dan teknologi. Maka dalam buku-buku terbaik akan selalu dikatakan perubahan mendasar dari sebuah masyarakat akan bertumpu pada pendidikan. Sekurangnya itu telah terbukti di Finlandia, Jepang, Korea, Taiwan dan China.

Peradaban sebuah masyarakat, bangsa atau negara akan tergantung kepada bagaimana masyarakat, bangsa atau warga negaranya dididik.

Sebagai sesuatu yang kompleks, pada mulanya peradaban berkembang secara tidak sengaja.

Moyang homo sapiens yang hidup sebagaimana mahkluk lainnya, masih merupakan mahkluk yang berada dalam bagian bawah rantai makanan. Manusia yang masih hidup dengan cara mengambil segala sesuatu langsung dari alam belum punya teknologi atau peralatan. Berbekal kekuatan diri, manusia saat itu termasuk mahkluk yang lemah.

Api merubah segalanya.

Dengan menguasai energi dari api, moyang manusia bukan hanya mempunyai senjata yang menakutkan bagi mahkluk lainnya yang lebih kuat. Api kemudian juga memacu revolusi kognitif sehingga moyang manusia berkembang dengan pesat bahasanya.

Bahasa membuat manusia mampu merumuskan pengetahuan dan kemudian meneruskan secara turun temurun kepada generasi berikut.

Karena bahasa manusia mampu melampaui evolusi mahkluk lainnya. Dalam dunia manusia, revolusi berkali-kali terjadi. Sementara dalam dunia mahkluk hidup lainnya, situasinya belum banyak berubah dibanding ratusan atau ribuan tahun lalu.

Hanya saja perkembangan dalam setiap kelompok manusia berbeda-beda, capaian secara kolektifnya tidak sama. Ada yang mampu mencapai peradaban unggul, namun ada pula yang terus menjadi peniru atau hanya ikut arus.

Di belahan bumi manapun peradaban-peradaban besar selalu merupakan campuran antara kejeniusan lokal dan keterbukaan terhadap pengaruh atau pengetahuan dari luar. Oleh karenanya daerah-daerah yang menjadi pusat peradaban umumnya berada di tepian air, di tepi sungai-sungai besar.

Sungai pada waktu itu menjadi jalur pertemuan, pintu gerbang hubungan dengan yang lainnya.

Peradaban China Kuno bermula dari Lembah Sungai Kuning atau Sungai Hwang Ho. Dari sinilah dimulai dinasti awal Cina oleh Kaisar Kuning. Hasil dari peradaban ini meninggalkan karya berupa Tembok Besar China, bahasa dan aksara, patung terakota dari Dinasti Qin, ajaran Lao Tse, Kong Fu Tse dan Meng Tse.

Diantara Sungai Efrat dan Sungai Tigris berkembang peradaban Mesopotamia, mezzo artinya tengah dan potamus artinya sungai. Bangsa yang mengembangkan peradabannya di Mesopotamia antara lain bangsa Sumeria, Akkadia, Babilonia, Assyria dan Babilonia Baru.

Peninggalan mereka adalah tulisan paku dan sistem penanggalan serta waktu yang kita pakai hingga sekarang.

Peradaban besar kuno lainnya adalah peradaban Lembah Sungai Nil. Disinilah lahir tetua raja-raja Mesir. Gelar Pharaoh atau Firaun mulanya merupakan sebutan untuk tetua masyarakat di Lembah Sungai Nil.

Peninggalan peradaban Lembah Sungai Nil adalah piramida, sphinx, mumifikasi, tembikar glasir bening, pembuatan kapal, ilmu matematika dan lain-lain.

Di India peradaban kuno bermula dari Sungai Indus. Mohenjo Daro dan Harrapa adalah dua ibukota yang berada di kedua sisi sungai Indus. Peradaban Sungai Indus meninggalkan jejak perencanaan dan tata kota dalam bentuk lorong-lorong serta jalan yang dilengkapi dengan saluran air dari rumah tangga ke sungai.

BACA JUGA : Perang Buriram

Peradaban berbasis air {sungai} ini telah ditelan jaman mulai ratusan hingga ribuan tahun lalu. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari pendudukan asing hingga perubahan iklim. Peradaban Sungai Indus pudar karena Sungai Saraswati Veda mulai kekurangan pasokan air akibat perubahan curah hujan.

Ketidakseimbangan air ini selain menyebabkan bencana kekeringan di musim kemarau, pada musim hujan kerap terjadi kebanjiran. Daerah Indus kemudian tidak lagi cocok untuk pertanian.

Di Kalimantan Timur jejak peradaban air masih nampak kental. Masyarakat lokal yang kini berumur 50 tahunan keatas masih fasih bercerita tentang sungai dan seisinya, dengan terang benderang mereka masih bisa mengambarkan kesekitaran sungai.

Selain kisah, jejak peradaban air atau sungai, danau dan rawa terawetkan dalam nama-nama daerah. Sebuah daerah yang namanya dimulai dengan muara, tepian, teluk, tanjung, loa, luah, lok, lung, sei, rapak dan lainnya adalah sebuah penanda keberadaan dekat dengan sungai, atau berada di tepian danau dan dikelilingi rawa.

Jejak lainnya dari peradaban air di Kalimantan Timur masih bisa ditelusuri dari arsitektur rumah. Karena membangun rumah di daerah pasang surut, arsitektur tradisional Kaltim adalah rumah panggung. Selain itu ada juga rumah apung. Yang terakhir ini mulai langka, termasuk juga keberadaan batang, dek dari rakit kayu gelondongan yang biasanya juga difungsikan sebagai jamban.

Sebenarnya secara tradisional masyarakat Kaltim mempunyai dua tipe permukiman. Yakni tipe permukiman yakni permukiman di zona wetland dan permukiman di zona dryland. Keduanya sama-sama mempunyai artsitektur rumah panggung dengan alasan yang berbeda.

Di dataran rendah dan basah rumah panggung dimaksudkan sebagai adaptasi terhadap pasang surut air, sementara di daerah kering {perbukitan atau pinggiran hutan} dimaksudkan untuk menghindari gangguan dari binatang liar.

Baik di dataran kering maupun dataran basah, rumah umumnya menghadap kearah air, air menjadi arah hadap hidup.

Ketika Kalimantan Timur atau lebih tepatnya Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dipaksa tunduk pada kolonial Belanda. Pemerintahan atau administratif kolonial Belanda di Samarinda masih mempertimbangkan kondisi geohidrologi sebagai dasar untuk menata kota.

Administratur Hindia Belanda waktu itu membuat kanal-kanal untuk menghubungkan badan-badan air di Kota Samarinda agar saat pasang atau saat hujan tidak timbul genangan yang tidak dikehendaki. Kolonial Belanda mengatur air dengan memberi atau menyediakan ruang air.

Konsepsi pembangunan yang ramah air ini masih bertahan di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan masa awal regim orde baru.

Namun ketika Suharto mulai berhasil mengkonsolidasi dan memulihkan gejolak politik serta ekonomi, terjadi pemusatan model pembangunan. Konsepsi pembangunan nasional yang sesungguhnya merepresentasikan semua pertimbangan berdasarkan geohidrologi serta kebatinan Jawa mulai diterapkan ke seluruh penjuru Indonesia.

Pendekatan Suharto adalah pendekatan teritorial namun bernuansa darat atau lahan kering. Sentral dari kehidupan adalah jalan raya.

Orde baru membawa jalan raya ke Kalimantan Timur dan arsitektur rumah berpondasi yang menjadikan jalan raya sebagai kiblat.

Masyarakat di tepian air terutama sungai kemudian memutar arah rumah. Rumah kemudian menghadap kearah jalan raya dan memunggungi sungai.

BACA JUGA : Nyumpahin Pemuda

Fokus pada pembangunan jalan raya dan daratan, ruang atau wilayah air menjadi terabaikan. Kawasan di tepian air menjadi kawasan yang seperti tak punya tuan. Ruang ini lebih diurusi oleh pemimpin-pemimpin informal.

Tepian jalan bertumbuh semakin megah, tepian sungai bertumbuh semakin kumuh.

Dalam jangka waktu 10 tahunan regim darat, kawasan permukiman di tepian air segera dianggap sebagai ‘pencoreng muka’ regim pembangunan. Permukiman di tepi air dianggap mengganggu citra daratan yang megah dan indah.

Peraturan yang dilahirkan oleh regim darat memungkinkan pemerintah untuk membersihkan permukiman di tepi air. Wilayah tepi air adalah wilayah kekuasaan negara atau pemerintah. Sekitar tahun 80-an, operasi pembersihan wilayah permukiman di tepi sungai dimulai di Samarinda, Ibukota Kalimantan Timur.

Alur sungai yang berhasil dibersihkan dari permukiman kemudian dinormalisasi dengan konsep pembangunan sungai. Sungai dikeruk, dilebarkan, diluruskan dan kemudian dipasang sheet pile semen di kanan kiri menjadi turap sekaligus tanggul.

Ruang terbuka di kanan kiri sungai kemudian dijadikan Ruang Terbuka Hijau. Dalam perkembangannya kemudian lebih bernuansa taman hiburan/rekreasi ketimbang hutan.

Wajah tepian sungai menjadi indah dan selalu dibangga-banggakan oleh pemimpin daerah sebagai sebuah prestasi, capaian yang membanggakan.

Tapi normalisasi pada akhirnya tetap tidak normal. Taman-taman tepian sungai nan indah itu pada dasarnya merupakan rekam jejak bukti pemerkosaan. Sungai diperkosa untuk kepentingan manusia belaka karena tembok semen di tepi kanan dan kiri sungai adalah batas, batas yang menghilangkan hubungan antara ekosistem darat dan air.

Normalisasi sungai menghilangkan ekosistem antara, sebuah ekosistem yang kaya karena kekhasannya.

Jaman memang akan selalu berubah pun juga dengan alam dan fitur-fiturnya. Namun peradaban terbaik selalu lahir dari interaksi yang dalam antara manusia dengan lingkungannya. Dan peradaban yang dibangun dengan cara mematikan fitur-fitur ekologis selalu membawa ‘kutukan’, cepat atau lambat apa yang kita banggakan itu bakal menjadi pemicu bencana ekologi.

Sayang di jaman serba selfi dan foto-foto ini kita lebih mudah terpesona oleh sajian visual ekosistem buatan. Puja-puji untuknya banyak dilontarkan, namun kita lupa bahwa apa yang indah dan menjadi pesona destinasi baru itu telah memunahkan dan memusnahkan sebagian kekayaan dan keragaman hayati kita.

Sebuah keunggulan yang mungkin merupakan kekhasan, hal yang tak dipunyai oleh daerah lainnya kini sirna.

Sialnya kita tak menyadari hal itu.

note : sumber gambar – IDENESIA