KESAH.ID – Bahasa menjadi poin penting dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Kesadaran nasionalisme dan perjuangan bersama dalam kerangka persatuan untuk melawan penjajahan salah satunya didorong oleh bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sepanjang perjalanan kesejarahan Bahasa Indonesia ada masa pemerintah menjadi regim bahasa lewat pembakuan-pembakuan. Kita mengenal istilah Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar di masa orde baru. Pembakuan ini membuat bahasa Indonesia terasa sangat formalistik, kaku dan kering sehingga bahasa sebagai medium untuk menyampaikan gagasan atau mengambarkan imajinasi menjadi begitu terbatasi. Saatnya kita bersumpah untuk berbahasa dengan bebas dan gembira.
Karena sudah lama tak muda lagi, perlahan-lahan ingatan saya pada Sumpah Pemuda mulai memudar. Memori itu kemudian terpanggil kembali saat mendengar anak-anak muda di sebuah tongkrongan yang membahas satu agenda untuk memperingati hari bersejarahnya orang muda Indonesia itu. Sayapun jadi ikut-ikutan ngomongin Sumpah Pemuda.
Disela perbincangan itu, ada yang nyeletuk “Ah, sekarang ini cocoknya nyumpahin pemuda,”
Bener juga, rasanya anak-anak muda sekarang ini memang gemar menyumpah-nyumpah, jadi pantas untuk disumpahi.
Tentang nyumpahin pemuda mungkin ini memang berhubungan dengan atmosfir politik beberapa waktu terakhir ini. Menjelang pemilu 2024 lalu soal pemuda memang jadi perhatian. Banyak yang bicara soal pemimpin muda untuk pembaharuan.
Tapi dalam perkembangannya kemudian terjadi bias. Karena yang muda dan layak memimpin dikaitkan dengan privilege tertentu.
Proses memberi ruang pada orang muda di level kepemimpinan nasional kemudian menyita banyak perhatian, karena proses menyelaraskan dengan konstitusi yang dicurigai telah diintervensi oleh kekuasaan tertentu. Mahkamah Konstitusi waktu itu diolok-olok menjadi Mahkamah Keluarga.
Dan sampai sekarang walau menjadi bagian dari pemenang, pemuda itu terus disumpahi oleh banyak orang.
Sumpah-serapah pada pemuda makin menyampah karena ada pemuda lainnya yang melakukan lompatan luar biasa.
Seingat saya pemuda ini mulanya digosok-gosok untuk menjadi calon walikota, di sebuah kota yang sama sekali tak berhubungan dengan sejarah dan dinamika hidupnya.
Partai politik memang suka random dalam mencalonkan seseorang.
Namun partai yang satu ini memang paling random, pasalnya dilihat dari berbagai persyaratan jelas tak mungkin mengusung atau memajukan seseorang untuk menjadi calon kepala daerah.
Dan yang terjadi kemudian justru mengantar Kartu Tanda Anggota ke sang pemuda di rumah kediamannya, lalu tak lama berselang langsung menunjuknya sebagai Ketua Umum Partai.
Kabar baiknya peristiwa ini bisa menjadi contoh alih kepemimpinan tertinggi di sebuah partai yang paling mulus. Tidak ada riak-riak, yang dicopot dari kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai wajahnya tetap riang gembira. Seolah-olah beban berat di pundaknya telah diangkat.
Momen puncak seumpah serapah kemudian diekpresikan dalam salah satu peristiwa paling penting di Indonesia. Pada saat sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk pengucapan sumpah Presiden dan Wakil Presiden RI, ada teriakan “huuu” dari majelis yang terhormat pada pemuda-pemuda diatas yang ditambah dengan satu pemuda lainnya yang adalah suami dari saudarinya.
Teriakan ini jelas tidak diduga sebelumnya, karena secara umum acaranya penuh dengan puja-puji, tepuk tangan dan standing ovation.
Dengan mudah bisa diduga bahwa teriakan ini muncul dari latar belakang perseteruan politik. Meski mungkin terasa pendek, teriakan “huuu” jika diterjemahkan dalam narasi akan menjadi sumpah serapah panjang, sepanjang jalan tol yang dibangun di seluruh penjuru negeri.
BACA JUGA : Kabinet Oversize
Di hari peringatan Sumpah Pemuda saya bangun kesiangan. Padahal tidur saya tak terlalu larut karena saya tak tertarik menyaksikan siaran ulang balapan Moto GP di Sirkuit Internasional Chang, Thailand karena Marc Marquez terjatuh saat mencoba memberi tekanan pada Francesco Bagnaia.
Karena sudah kelewat siang, timeline di media sosial saya yang mungkin berisi siaran live Peringatan Sumpah Pemuda sudah lewat. Lagi pula begitu terbangun lalu meraih handhone, notifikasi yang paling jelas adalah kondisi baterei yang mesti di-charge.
Setelah membuang yang meronta-ronta di tubuh, laptop yang kemudian menjadi perhatian saya. Saat membuka laptop di pagi hari, SOP sudah jelas. Yang pertama saya buka adalah situs yang memuat sebuah tulisan dari orang yang paling rajin menulis di Indonesia.
Tulisannya selalu menjadi bacaan pertama saya setiap hari.
Karena tulisannya bernas dan renyah tak butuh waktu lama untuk melahapnya.
Usai membaca tulisan terakhirnya, saya kemudian berselancar di dunia maya. You Tube adalah pilihan saya untuk menambah asupan informasi dan pengetahuan, juga hiburan.
Algoritma halaman You Tube saya nampaknya berpihak pada sumpah pemuda, sebuah video perbincangan dalam nuansa antropologi sejarah budaya segera menarik perhatian saya.
Percakapannya menarik karena tesis yang diajukan melawan pepatah yang telah lama saya dengar. Dia mengatakan “Bangsa menentukan bahasa”. Padahal selama ini rasanya kita lebih diyakinkan dengan pepatah “Bahasa menunjukkan bangsa,”.
Ternyata ungkapan bangsa menentukan bahasa lebih dihubungkan dengan Sumpah Pemuda. Menurutnya salah satu roh dalam Sumpah Pemuda adalah kesadaran kebangsaan yang kemudian mendorong untuk memilih bahasa. Namanya Bahasa Indonesia.
Salah satu sumpah dalam teks Sumpah Pemuda yakni berbahasa yang satu yakni Bahasa Indonesia adalah sebuah keputusan atau pilihan. Para pemuda dengan segala imajinasinya tentang kebangsaan Indonesia, memilih juga untuk berbahasa Indonesia.
Faktanya, yang berkumpul dan mengucap sumpah pada waktu itu tidak semuanya berbahasa Indonesia, sebagian besar lebih fasih berbahasa Jawa dan Belanda. Dan kemudian secara umum dipersatukan dengan bahasa Melayu.
Masyarakat pra-Indonesia di kepulauan Nusantara waktu itu memang dipersatukan dengan bahasa Melayu. Dan bahasa Melayu adalah proyek bahasa yang dikembangkan oleh kolonial Hindia Belanda dalam kerangka politik etis.
Kolonial Belanda memang mengambil sikap berbeda dengan Inggris, Perancis dan kolonialis lainnya yang menahklukkan negeri jajahan dengan bahasanya. Di wilayah Hindia Belanda, kolonialis justru mempelajari bahasa setempat.
Saya masih menemukan jejaknya ketika bertemu dengan pastor, bruder atau suster Belanda yang sangat fasih berbahasa Jawa. Mereka terampil bercakap-cakap memakai bahasa Jawa krama inggil.
Pada periode tertentu kemudian Kolonial Belanda meng-endorse bahasa Melayu yang dikembangkan dari daerah Riau untuk menjadi bahasa pengantar yang dipakai oleh masyarakat di wilayah Hindia Belanda.
Selain mendukung politik etik, dibalik pengembangan bahasa Melayu ada politik kolonial yang dimaksudkan untuk mengontrol masyarakat melalui bahasa. Kolonial Belanda memperkenalkan model berbahasa Melayu yang baik dan benar.
Tahun 1917 Kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat atau Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Komisi ini bertugas memilih atau menyeleksi bacaan yang layak untuk masyarakat. Dalam perkembangannya kemudian komisi ini juga menyebarkan bacaan untuk masyarakat dengan mendirikan perpustakaan-perpustakaan yang disebut sebagai Taman Poestaka.
Karena sukses kemudian Komisi Bacaan Rakyat bertransformasi menjadi Balai Pustaka yang bukan hanya bertugas mengumpulkan bacaan melainkan juga menerbitkannya. Balai Pustaka mulai mempopulerkan penerbitan dalam bahasa Melayu, sekaligus juga mengkontrolnya lewat kaidah-kaidah bahasa yang disusun olehnya.
BACA JUGA : Perang Buriram
Sejak tahun 1908 sebenarnya sudah lahir organisasi pemuda yang berbau nasionalis Indonesia. Organisasi yang tumbuh di berbagai pulau itu kemudian melakukan konsolidasi nasional. Lahirlah Kongres Pemuda I yang berakhir tanpa hasil karena terjadi pertentangan dalam bahasa persatuan. Yang diusulkan saat itu bahasa persatuannya adalah bahasa Melayu.
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia kemudian menggagas Kongres Pemuda II pada tahun 1928. Dari kongres ini kemudian lahirlah Sumpah Pemuda. Para tokoh muda dari berbagai daerah, suku, agama dan aliran itu bersumpah untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air tumpah darahnya, bangsanya dan kemudian menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Politik etis yang dilakukan oleh Kolonial Hindia Belanda yang diawali dengan membuka sekolah untuk kaum priyayi dan kemudian meluas ke masyarakat pribumi biasa ternyata justru menimbulkan semangat nasionalisme.
Sekolah yang melahirkan kaum terpelajar ini mendorong mereka untuk menginisiasi nasionalisme baru, lepas dari kesukuan dan golongan. Kemenangan Jepang atas Rusia menjadi salah satu pendorong kaum terpelajar untuk melahirkan semangat nasionalisme dengan kesadaran persatuan dan perjuangan bersama untuk melawan penjajahan.
Dan setelah Sumpah Pemuda, bahasa kemudian menjadi medium perang, senjata baru bagi kaum nasionalis untuk melawan pemerintahan Kolonialis Belanda.
Pada masa ini lahir banyak karya sastra berupa novel yang mampu memompakan semangat juang untuk meraih kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Selain karya sastra, marak pula penerbitan-penerbitan koran yang juga menyuarakan semangat nasionalisme, persatuan dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan.
Politik bahasa yang dulu pernah dilakukan oleh Kolonial Belanda kemudian diulang oleh pemerintah Indonesia paska kemerdekaan. Orde baru sangat mengontrol penggunaan bahasa, selain melakukan pembaharuan ejaan, kontrol terhadap bahasa Indonesia dengan sangat ketat tercermin dalam istilah Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar.
Karena pembakuan-pembakuan, bahasa Indonesia di masa orde baru menjadi sangat kaku dan kurang memompa imajinasi. Bahasa Indonesia terasa kering dan bahkan mematikan potensi-potensi bahasa daerah yang amat kaya. Ekpresi lewat bahasa-bahasa daerah dianggap tabu dan melanggar norma Berbahasa Indonesia secara Baik dan Benar.
Pengaruh regim orde baru sampai sekarang masih terasa. Masih banyak orang yang mengernyitkan dahi ketika berhadapan dengan orang yang bahasanya campur aduk. Itulah kenapa cara berbahasa anak-anak Jaksel yang keinggris-inggrisan jadi kontroversi.
Padahal mestinya tak harus demikian jika bahasa dipahami bukan sebagai alat komunikasi semata melainkan juga alat untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan lainnya. Apa yang disampaikan mungkin akan lebih bermakna atau lebih mudah dipahami jika disampaikan dalam bahasa yang tepat. Dan barangkali dalam bahasa Indonesia belum ada padanannya sehingga mesti diambil dari bahasa lainnya.
Dalam iklim komunikasi yang makin terbuka, bahasa memang akan selalu tumbuh. Dan bahasa Indonesia tak mesti harus diperkaya dengan bahasa-bahasa asing karena Indonesia mempunyai banyak bahan untuk memperkaya bahasa Indonesia lewat ribuan kata atau istilah dalam bahasa-bahasa daerahnya.
Adalah benar banyak pemuda pun pemudi Indonesia yang nyampah dengan sumpah serapah, terlebih di dunia maya dengan memakai akun-akun palsu atau alter. Tapi jangan terlalu terpaku pada cara berbahasa macam akun Fufufafa dan lainnya.
Masih banyak kaum muda lainnya yang cerdas dan bernas macam Sukarno muda dulu yang kerap kali menyampaikan gagasan dengan bahasa yang campur aduk namun tetap bermakna hingga hari ini.
Jadi pada saat memperingati Sumpah Pemuda di masa kini, kesadaran bahwa bahasa mesti berkembang dan tidak membeku serta bebas dari regim pembakuan oleh pemerintah atau negara perlu dideklarasikan sebagai sumpah baru.
note : sumber gambar – LIPUTAN6