KESAH.ID – Terlahir sebagai negara demokrasi, sepanjang perjalanan Indonesia terus berjuang untuk mewujudkan perilaku demokrasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Dua presiden pertama Indonesia yang kerap mengucapkan kata demokrasi ternyata membawa warisan DNA aristokrasi, ingin berkuasa selamanya. Reformasi datang membawa perubahan, demokrasi makin terang. Namun pendulum kekuasaan ternyata tidak menyebar, semakin hari kekuasaan semakin menumpuk di Partai Politik, terutama partai yang memenangkan pemilu.
Papua, kita semua tahu pulau itu kaya tapi dua daerah provinsi disana yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara berurutan menjadi yang termiskin di Indonesia.
Yang dimaksudkan sebagai provinsi termiskin adalah prosentase penduduk miskinnya besar. Ini berarti meski kaya sumberdaya ternyata Papua dan Papua Barat penduduknya tetap miskin.
Data termuktahir dari Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan prosentase angka kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 27,38 persen dan Provinsi Papua Barat sebesar 21,82 persen.
Realitas daerahnya kaya tapi penduduknya miskin bukan hanya khas Papua. Meski sudah terkoreksi, Provinsi Kalimantan Timur pernah mencatat hal semacam itu. Kabupaten Kutai Kartanegara yang dikenal dengan pendapatan tinggi karena kekayaan sumberdaya alamnya, pernah tercatat sebagai daerah termiskin di Kalimantan Timur. APBD-nya trilyunan tapi penduduk miskinnya terbanyak.
Kalau direnungkan lebih dalam, Indonesia secara umum berada dalam kondisi yang sama. Dipuja-puji sebagai negeri yang kaya raya sumberdaya alam, ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi ternyata kekayaannya belum mampu mensejahterakan penduduknya. Jumlah penduduk miskin di Indonesia prosentasenya selalu besar.
Para aktivis menuduh oligarki sebagai penyebabnya.
Oligarkhia jika diartikan berdasarkan bahasa asalnya yakni Yunani berarti ‘aturan oleh sedikit’. Jika dikaitkan dengan pemerintahan maka oligarki berarti bentuk struktur kekuasaan dimana kekuasaan berada dalam tangan segelintir orang.
Watak oligarki ini tumbuh di masa peradaban manusia mulai tinggal menetap dan memasuki masa revolusi pertanian. Menetap dan bertani membuat kelompok masyarakat mulai tidak terancam kelaparan, bahkan hasil panenannya berlebih sehingga tidak semua perlu menjadi petani.
Muncul diversifikasi profesi yang membuat masyarakat tidak lagi egaliter. Struktur dan dinamika sosial menjadi semakin rumit sehingga nilai atau norma-norma bersama tak lagi cukup untuk mengatur hidup bersama.
Pada masa itu kunci untuk berkuasa adalah penguasaan lahan yang luas.
Bibit elit pemalas dimulai dengan kemunculan sosok-sosok tertentu yang mengklaim dirinya berbeda dengan masyarakat lainnya. Mengarang cerita bahwa dirinya adalah keturunan matahari, bulan, bintang dan lainnya, turun dari dunia lain dan seterusnya mereka kemudian mendudukkan dirinya menjadi pemimpin.
Bantuk negara dan kepemerintahannya adalah kerajaan. Dimana raja selalu ditempatkan sebagai sosok yang adikodrati, sampai-sampai ada yang mengklaim bahwa sabdanya adalah sabda Tuhan.
Raja menguasai segalanya, bukan hanya tanah dan air di seluruh kerajaan melainkan juga semua mahkluk yang ada di dalam maupun diatasnya. Warga hanya dianggap ngekost, lahan untuk mencari penghidupan dan tempat tinggal bisa dimiliki karena kebaikan Sang Raja.
Bersama kaki tangannya, Raja berusaha mengenggam terus kekuasaan. Rakyat terus dilemahkan dengan berbagai aturan. Sulit bagi rakyat untuk mengembangkan sumberdayanya sehingga posisinya akan selalu dibawah.
Namun lama kelamaan rakyat berontak, mulai tumbuh pemikiran-pemikiran baru tentang model negara dan pemerintahan yang lebih egaliter serta adil. Praktek menumpuk kekuasaan pada kelompok tertentu dianggap sebagai praktek busuk yang harus dihancurkan.
Bibit model pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian diformulasi dalam model negara demokrasi. Iklim demokrasi kemudian meruntuhkan sebagian model pemerintahan aristokrasi, sebagian besar monarki runtuh, yang tersisa agar bertahan mesti berkompromi dengan memberi ruang pada lembaga-lembaga demokrasi.
BACA JUGA : Dulu Ethek Ethek Sekarang Latto Latto
Praktek pemerintahan demokratis pertama dimulai dari negara kota Athena. Kemudian berkembang dan terus mengalami perbaikan.
Demokrasi berarti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Namun karena jumlah rakyatnya banyak maka kekuasaan itu dimandatkan kepada kelembagaan tertentu melalui pemilihan umum. Corak demokrasi beragam namun dalam pemerintahannya selalu ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sejak memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara demokrasi dalam bentuk republik. Hanya saja dalam prakteknya tidak berlangsung mulus. Kurang lebih selama dua puluh tahun sejak merdeka, politik pemerintahan selalu bergejolak. Ada ketegangan antara presidensial dan parlementer.
20 an tahun Sukarno memimpin Indonesia sebagai presiden dan hanya ada satu kali pemilu yakni di tahun 1955. Pada tahun itu diadakan dua kali pemilu pada bulan September untuk memilih anggota DPR dan pada bulan Desember untuk memilih anggota Konstituante.
Sukarno menyebut demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu sebagai demokrasi terpimpin. Seluruh keputusan dan pemikiran berpusat pada pemimpin yang kala itu pernah punya keinginan menjadi pemimpin seumur hidup.
Era kepemimpinan Sukarno yang disebut sebagai orde lama kemudian diganti dengan orde baru sebagai antitesisnya dibawah kepemimpinan Suharto.
Memperoleh kekuasaan sejak tahun 1967, Suharto menyelenggarakan pemilu pada tahun 1971 yang diikuti oleh 10 peserta pemilu yang terdiri dari 9 partai dan 1 golongan. Pemilu dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tahun 1977, 6 tahun sesudah pemilu 1971. Namun setelah tahun 1977 pemilu secara periodik dilakukan setiap 5 tahun sekali sesuai dengan konstitusi.
Mendirikan Golongan Karya dan memenangkan pemilu melaluinya, Suharto kemudian menyederhanakan partai. Sesudah pemilu 1971, pemilu hanya diikuti oleh 3 peserta yakni Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia. Suharto tidak pernah menyebut Golkar sebagai partai.
30 an tahun Suharto memimpin Indonesia dalam demokrasi semu. Suharto menyebutnya sebagai demokrasi Pancasila, yang visi utamanya adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1845 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan visi ini Suharto berhasil membangun citra bahwa orde baru adalah orde harapan bagi rakyat Indonesia. Orde baru adalah perubahan politik dari model otoriter di masa orde lama menuju pemerintahan demokratis di masa orde baru.
Rakyat kemudian percaya bahwa Suharto mampu mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan terutama ekonomi.
Sosok Suharto juga dianggap berjasa besar dalam menumpas musuh nomor 1 bangsa Indonesia yakni komunis. Suharto membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Menamai rencana dan program pembangunan dengan nama repelita dan pelita, Suharto memberi gambaran pada masyarakat akan mencapai masa tinggal landas. Indonesia akan menjadi negeri maju, bukan lagi negara miskin atau berkembang.
Harapan tinggal harapan. Pada akhirnya pemerintahan orde baru juga seperti orde lama, pemerintahan yang otoriter. Meski ada banyak lembaga demokrasi di tingkat suprastruktur maupun infrastruktur namun lembaga kepresidenan lah yang mengontrolnya bukan rakyat.
Suharto mendasarkan kepemimpinan tidak pada mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu, melainkan legalitas sejarah yakni sebagai pengemban Supersemar, mandataris MPR, bapak pembangunan dan pemimpin tertinggi ABRI.
Pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tak lebih dari tameng atau tedeng aling-aling untuk nafsu Suharto yang ingin memimpin Indonesia seumur hidup seperti halnya Sukarno.
BACA JUGA : Generative Pretrained Transformers, Chat Bot Yang Menakjubkan Namun Bikin Ketar-Ketir
Masuk dalam golongan alumni yang pernah menerima pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Kewiraan dan Penataran P4, saya menangis haru dan bersujud syukur sewaktu menonton berita di televisi saat Presiden Suharto menyatakan mundur.
Pemilu yang diajarkan sebagai pesta demokrasi ternyata justru melahirkan pemimpin yang otoriter. Berwajah manis dan penuh senyum namun kejam dalam memperlakukan lawan politiknya. Pemimpin yang lahir dari proses demokrasi namun tak mau mendengar pandangan dan pikiran kritis dari rakyatnya.
23 tahun lalu pemilu pertama paska mundurnya Suharto digelar. Pemilu yang sejak tahun 1977 hanya diikuti tiga kontestan kemudian dibuka lebar. Ada 171 partai baru didirikan, 141 partai mendaftar ke penyelenggara pemilu dan 48 partai akhirnya lolos menjadi peserta pemilu 1999.
Pemilu 1999 menjadi pemilu bersejarah karena diselenggarakan oleh KPU atau Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya mewakili pemerintah serta peserta pemilu.
Saya antusias menyambut pemilu 1999 walau tak ikut mencoblos. Semenjak pemilu 1999 dan beberapa pemilu berikutnya saya selalu terlibat dalam pendidikan politik, mengajak pemilih untuk bersikap rasional dalam menentukan pilihan dan tak terjebak dalam politik uang.
Semenjak itu praktek demokrasi di Indonesia terus disempurnakan. Banyak lembaga baru didirikan untuk menopang pilar demokrasi. Sebagian disebut sebagai Lembaga Independen, meski merupakan lembaga negara namun bebas dari intervensi eksekutif maupun legislatif.
Secara prosedural Indonesia telah memasuki alam demokrasi. Kepemimpinan ditentukan oleh regim pemilu mulai dari wakil rakyat, wakil daerah, presiden, gubernur, walikota dan bupati semua dipilih secara langsung lewat pemilu.
Masyarakat sibuk dari pemilu ke pemilu hingga pada suatu masa terjadi kelelahan paripurna pada petugas pemilu terutama di tempat pemunggutan suara. Muncul ide pemilu serentak agar anggaran dan waktu yang digunakan menjadi efektif.
Lima pemilu demokratis telah diselenggarakan namun semakin hari rakyat semakin tak puas pada pemilu. Pemilu belum berhasil melahirkan pemimpin yang mumpuni.
Dan konsolidasi demokrasi ternyata tidak memperkuat posisi rakyat. Yang kini menguasai politik justru Partai Politik. Tidak ada jabatan publik maupun jabatan lainnya yang kini bebas dari intervensi Partai Politik, bahkan Lembaga Lembaga Negara yang sejak awal dimandatkan untuk independen juga tak lepas dari cengkraman mereka.
Selain Tuhan di Indonesia yang kini dianggap maha kuasa adalah Partai Politik.
Kemahakuasaaan partai amat terlihat dalam pidato Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan pada saat perayaan HUT ke 50 partai itu.
Presiden Jokowi yang biasanya kocak saat menghadiri HUT partai tiba-tiba mati kutu, tidak terlihat santai saat menyampaikan sambutan.
Dihadapan PDIP terutama Ketua Umumnya, Presiden Joko Widodo memang tak lebih dari petugas partai. Berkali-kali Megawati mengingatkan bahwa Jokowi menjadi Presiden karena PDIP, lebih tepatnya karena ditugaskan oleh Megawati.
Bersiap melakukan hattrick sebagai pemenang pemilu 2024 nanti, PDIP dan Megawati terlihat teramat percaya diri. Pidato di pesta emas PDIP dipenuhi dengan ancaman, perintah dan penegasan termasuk sindiran pada partai lainnya.
Partai yang dulu indentik dengan wong cilik terasa sekali sudah berubah. Berkuasa dalam dua pemilu terakhir membawa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada paradoks demokrasi.
Partai sebagaimana lembaga-lembaga lainnya ketika besar dan mapan cenderung memusatkan kekuatan pada segelintir orang tertentu. Di PDIP jelas bahwa kuasa hanya ditangan Megawati. Walau mendeskrisikan diri sebagai ibu bagi semua kadernya, sulit bagi seorang ibu untuk bertindak adil untuk semua anaknya.
Menyampaikan pesan bahwa sudah saatnya perempuan menjadi pemimpin sungguh merupakan ucapan mulia. Tapi dalam konteks PDIP ucapan ini bisa jadi sebuah pertanda bahwa yang direstui untuk maju sebagai Calon Presiden dari PDIP pada pemilu 2024 nanti adalah putrinya.
Meski mengusung nama demokrasi yang disertai dengan perjuangan, namun jelas dan tegas sebagai Ketua Umum PDIP, Megawati secara tidak langsung mengatakan tak ada demokrasi dalam urusan menentukan siapa yang akan dicalonkan sebagai capres. Hak itu hanya ada padanya, tidak bisa diganggu gugat. Yang tak suka silahkan minggir, yang melawan bakal dipecat.
Pemilu makin hari memang makin bikin ngilu. Sebagai warga yang pernah punya harapan besar terhadap gerakan reformasi, sekarang ini pemilu tak lebih dari sebuah nyanyian pilu. Hingga saat ini saya belum pernah menemukan realitas bahwa pemilu adalah pesta demokrasi, sebab pemilu makin hari justru makin jelas melahirkan oligarki.
note : sumber gambar – KABARAKTUAL.ID