KESAH.ID – Beberapa negara yang mempunyai wilayah gurun berhasil menghijaukan kawasan tandus, kering dan berpasir menjadi ladang, padang ternak serta hutan. Yacouba Sawadogo, lelaki biasa, petani sederhana menjadi salah satu contoh yang sulit ditiru. Berbekal keyakinan bahwa tak ada sesuatu yang tak bisa dirubah, Yacouba berhasil menghutankan kawasan gurun Sahel dengan menerapkan cara bercocok tanam warisan pengetahuan dari nenek moyangnya.
Penggurunan merupakan fenomena alam yang rentan terjadi di kawasan kering. Berada di tengah sabuk gurun pasir Sahara, Sahel mengalami hal yang sama. Berada disana ibarat tinggal di neraka dunia. Siang panasnya serasa melelehkan ubun-ubun, namun kalau malam tiba dinginnya menusuk tulang.
Hujan hanya datang setahun sekali, yang lebih sering singgah justru badai pasir. Badai yang siap menggulung desa dan membawa maut. Hidup disana tak lagi aman dan nyaman, sulit untuk memelihara ternak dan juga bertanam.
Adalah Yacouba Sawadogo, laki-laki biasa, petani sederhana yang kemudian tergerak untuk melawan penggurunan itu. Empatinya yang besar membuat dirinya yakin tak ada sesuatu yang tak bisa dirubah. Dia yakin gurun bisa dikembalikan menjadi hutan walau air hujan yang turun dengan cepat akan cepat menguap dan langsung raib.
Bagi Yacouba, tanah, air dan matahari adalah sahabat bagi manusia. Air mesti ditabung, tanah dikembalikan kesuburannya dan matahari menjadi energi untuk menumbuhkan tanaman.
Berbekal pengetahuan tradisional yang disebut Zai dan cangkul tua, Yacouba mulai menggali lubang dengan ukuran 60 x 60 cm. Ratusan lubang digali di hamparan gurun dengan sekuat tenaga dan hati. Lubang-lubang itu diisinya dengan serasah tetumbuhan.
Zai sendiri adalah teknik pertanian sederhana dan murah. Lahan tanam disiapkan dengan cara membuat lubang-lubang yang kemudian diisi dengan kompos. Bibit pohon kemudian ditanam di lubang itu.
Lubang yang telah ditanami itu ketika musim hujan akan berfungsi sebagai penampung air. Air yang terperangkap akan mempertahankan kelembaban tanah sekaligus menjadi sumber nutrisi bagi tanaman saat kemarau tiba.
Yacouba Sawadogo memodifikasi metode Zai, lubangnya lebih lebar dan besar selain untuk menangkap lebih banyak air juga untuk melakukan pengomposan. Setelah serasah dimasukkan dalam lubang, Yacouba menggali sarang dua binatang yang paling bertahan yakni semut dan rayap.
Keduanya dimasukkan dalam lubang yang berisi serasah untuk mempercepat dekomposisi material organiknya.
Ketika mulai melakukan hal ini oleh warga lainnya Yacouba dianggap sinting. Apa yang dilakukannya dirasa tak masuk akal, ibarat mengarami lautan dan mengecat langit.
Yacouba tak bergeming, terus menggali dan mengisi lubang dengan serasah serta semut dan rayap.
Dan ketika sudah siap, lubang itu ditanami dengan bibit tanaman keras yang bisa ditemukannya sisanya ditaburi biji tanaman pangan.
Tetap sendirian dalam rentang waktu dua puluh tahun semenjak 1975 saat pertama kali dia mengayunkan cangkul untuk membuat lubang di gurun, Yacouba berhasil menghijaukan kembali lahan gersang seluas kurang lebih 30 hektar.
Tanah yang dulu menggurun kini telah menghutan dengan berbagai jenis tanaman. Seiring dengan waktu, lahan yang tertutup dengan vegetasi akan mengalami pangayaan. Pepohonan akan mengundang aneka satwa, berbagai jenis burung dan serangga serta binatang lainnya yang akan membantu menebar bijian.
Keberhasilan Yacouba menabung air, menyediakan iklim mikro lewat lubang-lubang tanam kemudian mendorong pemerintah di negara-negara Afrika Great Green Wall Initiative atau GGW. Tujuannya adalah memulihkan lanskap Afrika guna memperbaiki kualitas hidup warganya.
Kisah heroik Yacouba Sawadogo diabadikan dalam sebuah film dokumenter dengan judul “The Man Who Stop The Desert”
BACA JUGA : Pemilu Yang Bikin Pilu
Mengubah lahan tandus atau gurun menjadi lahan hijau yang punya manfaat ekonomi bagi warga juga getol dilakukan oleh China.
Pada tahun 1994, lahan tandus tanpa vegetasi di dataran tinggi yang berada pada wilayah Provinsi Shaanxi, yang dikenal dengan nama dataran tinggi Loess dengan luas 640 ribu kilometer persegi mulai ditanami pepohonan.
Proses restorasi ini didokumentasikan oleh John D Liu seorang film maker. Proyek penghijauan ini dipimpin oleh seorang peneliti bernama Li Rui.
Proyek yang dilakukan bertahun-tahun akhirnya bisa menghijaukan kawasan seluas 291.000 hektar. Keberhasilan menghijaukan kawasan dataran tinggi Loess membawa perubahan ekologi pada beberapa wilayah setingkat kabupaten di Provinsi Shaanxi.
Dipadukan dengan program pengentasan kemiskinan, penghutanan kembali kawasan tandus berhasil memberi manfaat terhadap kurang lebih 500.000 warga melalui ekonomi kehutanan. Pepohonan yang ditanam bisa menghasilkan komoditas buah kering, bahan pembuat minyak dan obat-obatan.
Dengan pendekatan riset yang sangat kuat, China mencatatkan banyak keberhasilan menghijaukan kembali lahan tandus dan gurun.
Jika di Gurun Sahel, Yacouba menggunakan metode tradisional untuk memerangkap air hujan, penghijauan gurun di China dilakukan dengan penggunaan teknologi.
Zhijian Yi dan Zhao Chaohua sebagai ilmuwan di Chongqing Jiaotong University telah membuat sebuah pasta yang terbuat dari bahan yang sama dengan yang ditemukan pada dinding sel tanaman.
Pasta yang dikombinasikan dengan pasir di gurun mampu menyimpan air dan nutrisi untuk pertumbuhan bibit yang ditanam di lahan yang dipulihkan.
Menurut kedua peneliti yang melakukan ekperimen sejak tahun 2013 itu, tanah yang mereka ‘ciptakan’ dari pasir dan pasta tidak berbeda jauh dengan tanah alami terkait sifat mekanik dan atribut ekologisnya.
Di lahan yang mereka jadikan lokasi penelitian kini telah tumbuh sekitar 70 jenis tanaman dan sebagian besar diantaranya tidak ditanam, tumbuh sendiri.
Masih banyak pendekatan yang berbasis teknologi yang ditemukan oleh peneliti dari China untuk menghijaukan gurun dan mencegah perluasan penggurunan.
Skala yang masiv untuk merubah gurun menjadi lahan hijau entah hutan, pertanian atau peternakan membuat beberapa gurun di China akan hilang dari peta.
Keberhasilan China membuat banyak negara yang mempunyai tanah tandus dan bergurun berlomba-lomba untuk menghijaukannya.
BACA JUGA : Dulu Ethek Ethek Sekarang Latto Latto
Dikenal sebagai wilayah yang didominasi oleh gurun pasir, Arab Saudi sebenarnya mempunyai wilayah hutan di dataran tinggi Abha dan Asir.
Saudi juga merupakan rumah bagi 2 ribu spesies tumbuhan liar yang terbagai dalam 142 famili.
Jumlah dan ragam jenis faunanya lebih banyak lagi. Terindektifikasi ada 600 spesies yang terancam punah dan 21 spesies dinyatakan sudah punah.
Pemanasan global beresiko memperluas wilayah gurun di perdesaan, lahan semakin tandus. Sementara di kota kehidupan menjadi semakin kurang nyaman, emisi meningkat dan kualitas udara menurun.
Permasalahan ini membuat Arab Saudi sejak tahun 2021 meluncurkan proyek inisitatif hijau atau Saudi Green Initiative. Sebuah proyek ambisius untuk menghijaukan kawasan gurun dengan pohon. Targetnya sampai tahun 2030 akan ditanam kurang lebih 459 juta pohon di berbagai wilayah Arab Saudi.
Satu tahun setelah SGI diluncurkan telah berhasil ditanam kurang lebih 10 juta pohon di 13 wilayah kerajaan Arab Saudi.
Awal tahun ini pegunungan gersang di gurun yang ada pada wilayah Mekkah, Jeddah dan Madinah menjadi perbincangan. Citra satelit Terra yang dirilis oleh American Space Agency atau NASA, menangkap pemandangan hijau di daerah tersebut. Tutupan vegetasi nampak di daerah yang biasanya berwarna kecoklatan karena kering dan gersang.
Arabia Weather menjelaskan munculnya fenomena ini disebabkan oleh aktivitas curah hujan yang tinggi sejak Desember 2022.
Kelembaban yang tinggi kemudian memicu tumbuhnya rerumputan dan tanaman lain yang membuat kawasan gurun kemudian menghijau.
Bagi kebanyakan orang yang melihat video bukit-bukit yang tandus kemudian menghijau dari kejauhan dikait-kaitkan dengan pertanda kiamat akan tiba.
Netizen Indonesia memang gemar meramal akan datangnya kiamat berdasarkan fenomena-fenomena alam yang dianggap tidak biasa atau aneh.
Padahal adalah wajar jika curah hujan tinggi akan membantu menumbuhkan vegetasi di daerah-daerah tandus dan bergurun. Sebab dalam ekosistem gurun masih ada berbagai jenis pohon dan tetumbuhan asli yang bertahan hidup.
Kelembaban tanah akan membuat bibit pohon atau tumbuhan bertunas dan tumbuh. Dalam skala yang masih tumbuhnya tunas yang kemudian berkembang akan membuat sebuah kawasan nampak hijau dari kejauhan. Ini dikenal sebagai suksesi alamiah.
Selain faktor alami, beberapa negara yang mempunyai kawasan gurun terbukti telah berhasil menumbuhkan kawasan hijau di tanah berpasir dan tandus itu. Baik melalui inisiatif yang dikembangkan oleh komunitas, pemerintah atau melalui badan-badan bantuan dunia.
Memang benar jika semua gurun kemudian berubah menjadi ladang, padang untuk peternakan atau hutan bakal terjadi ‘kiamat’. Bukan kiamat dunia melainkan kiamat bagi mahkluk atau organisme dalam rupa tumbuhan dan binatang serta jenis lainnya yang merupakan mahkluk khas gurun pasir. Mereka bakal punah jika tak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ekosistem atau habitat yang berbeda dengan yang mereka kenal selama ini.
Lepas dari itu bisa jadi menghijaukan padang pasir ternyata lebih mudah daripada menghutankan kembali bekas hutan yang ditebangi seperti di Indonesia. Terkait dengan lahan gurun pasir bukanlah lahan yang diperebutkan, berbeda dengan lahan bekas hutan yang sulit untuk dipulihkan karena begitu hutan terbuka kemudian diduduki oleh berbagai pihak untuk kepentingan yang lain.
Merasa hutannya masih luas membuat komitmen Indonesia untuk menghutankan kembali kawasan bekas hutan menjadi kurang kuat dan kurang konsisten.
Kita bakal semakin sering melihat citra satelit di Arab Saudi dan daerah gurun lainnya dari coklat menjadi hijau, serta tak menyesali melihat citra satelit di wilayah Indonesia yang tadinya hijau menjadi coklat.
Bukan tak mungkin kelak gurun-gurun kelak menjadi hutan, sementara hutan Indonesia kelak menjadi gurun. Itu baru namanya kiamat.
note : sumber gambar – LIPUTAN6.COM