Dalam keadaan setengah mabuk seorang teman menjadi sangat bijaksana. Dia mengatakan “Bahagia itu adalah hak setiap orang. Jika seseorang merasa bahagia karena memakai narkoba biarkanlah. Tapi ingatkan jika kemudian dia hanya bisa bahagia kala pakai narkoba,”
Saya tak tahu darimana asal perkataan nan bijaksana dari teman saya itu. Pengaruh alkohol barangkali memicu kerja otak rasionalnya sehingga dengan cepat dia bisa merangkai kata hasil simpanan memori episodik dan periodik yang kemudian dirangkai dengan pengetahuan ekternalnya.
Namun beberapa tahun kemudian terbukti bahwa sebagian yang dikatakannya adalah benar. Bahagia atau perasaan baik secara sains bisa diciptakan.
Rasa bahagia dalam diri manusia merupakan kerja hormonal. Dan beberapa hormon yang telah dikenali untuk menimbulkan perasaan baik dalam diri adalah dopamin, endorfin, oksitoksin dan serotonin.
Asupan makanan atau zat tertentu bisa memicu produksi hormon di kelenjar otak. Seperti pemakaian narkoba yang kemudian akan mendorong produksi hormon dopamin sehingga pemakainya auto menggebu-ngebu dan bahagia.
Masalnya ketika produksi hormon dipacu, otak bisa kesulitan menjaga keseimbangan produksinya sehingga bisa saja kehabisan untuk sementara waktu.
Memang ada beberapa jenis hormon sintesis yang sudah ditemukan sehingga asupannya bisa dilakukan dari luar. Namun seberapa tepat pemberian dosisnya hal ini yang masih menjadi masalah. Maka hormon sintetis tidak bisa semena-mena dipakai atau dikonsumsi.
Maka cara terbaik untuk menjaga keseimbangan hormon adalah tidak mengutak-atik produksi hormon alami dalam tubuh selama diindikasikan sebagai normal. Intervensi hormonal bisa dilakukan sejauh hasil pemeriksaan oleh yang berkompeten menunjukkan ada indikasi kekurangan atau kelebihan hormonal.
Kebahagiaan yang baik adalah yang diusahakan, ada upaya aktif untuk mencapainya bersama orang lain, bukan zat lain. Bahagia selalu berhubungan dengan ‘yang lain’, kondisi, relasi dan komunikasi yang memberi ruang bagi altuisme untuk berkembang serta mewujud.
Perjalanan mencari dan menuju kebahagiaan adalah perjalanan peradaban manusia. Dimulai sejak manusia menguasai ratusan ribu tahun lalu, dunia spiritual manusia juga mulai menyala.
Dengan api manusia beroleh energi untuk mengembangkan hidupnya hingga mengantar pada penguasaan bahasa. Mampu berbahasa manusia kemudian mengembangkan narasi-narasi, perihal segala sesuatu baik yang terlihat maupun tak terlihat, segala sesuatu yang dipercaya sebagai ada, punya pengaruh dan mengerakkan manusia.
Api yang membantu manusia hidup lebih baik, lebih aman dan nyaman karena menghangatkan di kala dingin, menerangi di kala gelap dan membuat makanan semakin nikmat karena dimasak, kemudian menyalakan hidup manusia. Hidup manusia menyala karena menemukan dunia spiritual.
BACA JUGA : Dokter Terawan dan IDI Yang Idiihh Banget
Jejak arkeologis homo sapiens nenek moyang manusia ditemukan sejak 300-an ribu tahun lalu. Spiritualitas mulai dikembangkan oleh mereka secara sederhana ketika menemukan realitas kematian.
Kematian menimbulkan pertanyaan, kemana dan apa yang terjadi setelah mati. Pertanyaan tentang kematian juga menumbuhkan pertanyaan tentang darimana datangnya kehidupan, bagaimana bermula, siapa dan apa yang memberi hidup dan lain-lain.
Jawaban-jawaban itu kemudian diberikan dalam bentuk cerita, narasi-narasi tentang adanya kekuatan di dunia yang melingkupi dan memberi pengaruh pada manusia.
Munculah kepercayaan yang disebut dengan animisme. Bahwa dibalik segala sesuatu yang ada di muka bumi ada kekuatan didalamnya. Kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi dinamisme, yaitu adanya kekuatan dari luar yang kemudian merasuki. Kekuatan itu belum didiskripsikan, sebagai apa dan siapa. Kepercayaan pada masa ini bersifat nontheist.
Jaman terus berkembang, keyakinan atau spiritualitas lama tidak hilang namun keyakinan atau spiritualitas baru terus muncul. Kekuatan dari luar kemudian mulai dideskripsikan, digambarkan sosoknya, muncul sebutan dewa dan sejenisnya yang jumlahnya banyak. Kepercayaan ini dikenal sebagai polytheist.
Muncul banyak tuhan dengan huruf t kecil.
Perlahan jumlah tuhan yang banyak kemudian diciutkan. Ada yang tersisa 3 ada yang 2 dengan sikap yang kerap berlawanan.
Dan puncaknya kemudian lahir kepercayaan monoteis yang kemudian merumuskan ajarannya tentang Tuhan dengan T besar. Narasi ajarannya terorganisir serta ditopang oleh hirarki yang otoritatif.
Agama-agama ini kemudian berkembang menjadi agama mainstreams 3000 sampai 2000 tahun terakhir ini mulai dari Zoroaster, Judaisme, Kristen hingga Islam.
Sedangkan pada masa sebelumnya yang menjadi agama mainstream adalah hinduisme dan budhisme serta lainnya.
Jika tidak diperlakukan definisi yang sangat ketat tentang tuhan dan agama, peradaban dunia telah mencatatkan adanya ribuan tuhan baik T kecil maupun T besar yang tentu saja juga melahirkan ribuan agama.
Ada banyak tuhan dan agama yang kemudian punah, namun banyak yang masih bertahan bahkan terus berkembang. Setiap agama dan kepercayaan pada Tuhan punya pasang surut masing-masing.
Meski begitu dalam perjalanan peradaban walau diwarnai dengan banyak dinamika yang menyedihkan terkait Tuhan dan agama, namun perannya terhadap hidup manusia tidak besar.
Bahkan seorang Karl Marx sekalipun mengakui hal itu. Kalimat ‘Agama adalah candu’ yang sering dilabelkan berasal dari Karl Marx memang kerap dipakai untuk menyerang praktek kepercayaan pada Tuhan dan agama.
Namun sebenarnya hal ini merupakan salah sangka. Secara lengkap Karl Marx mengucapkan “Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks”
Yang kalau diterjemahkan artinya : agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.
Alih-alih menganggap agama sebagai opium yang menyebabkan kecanduan, Karl Marx sebenarnya lebih memaksudkan agama adalah sarana untuk meringankan hidup manusia.
Ber-Tuhan dan beragama membuat manusia tetap mempuyai harapan, manusia bisa tetap merasa bahagia meski dalam penderitaan sekalipun.
BACA JUGA : Jum’at Yang Agung
Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan dan agama mulai luntur terutama di negara-negara yang makmur.
Masyarakat di negeri-negeri yang makmur cenderung mulai membebaskan diri dari norma dan nilai-nilai lama, masyarakat lebih terbuka terhadap pilihan-pilihan hidup yang lebih luas. Mereka lebih terbuka terhadap LGBT sebagai sebuah pilihan misalnya.
Data semacam ini kemungkinan valid untuk negara-negara Eropa umumnya, namun tidak berlaku di Amerika Serikat. Agama dan Tuhan masih memegang peranan penting di Amerika Serikat, negeri yang secara umum kita anggap makmur dan menjadi pusat dari gerakan dan pemikiran untuk menghormati pilihan orang.
Tak percaya atau tidak banyak bicara soal Tuhan tidak sama artinya tidak beragama atau tak mementingkan spiritualitas. Di China yang umumnya menganut Konghucu jelas jarang bicara soal Tuhan, demikian juga di Jepang yang mempunyai kepercayaan Shinto.
Maka tidaklah benar jika kemudian disimpulkan Tuhan dan agama kini hanya laku di negara-negara yang masyarakatnya miskin atau tertinggal.
Mungkin memang benar ada pegolakan disana-sini, ada banyak orang yang keluar dari organisasi agama, tidak lagi menjalankan ritual agama secara ketat atau bahkan mulai secara terbuka mempertanyakan kepercayaan terhadap Tuhan.
Tapi apapun itu, semuanya hanya merupakan dinamika dalam kepercayaan terhadap Tuhan dan agama. Menghadapi jaman yang terus berubah praktek berketuhanan dan beragama juga menyesuaikan diri. Agama juga mempunyai kelenturan dan plastisitas untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman meski tak selalu mulus.
Andaipun kelak Tuhan tidak lagi dipercayai dan institusi agama ditinggalkan yang disebut jalan spiritualitas untuk mencari kebahagian tetap akan ada. Sebab serasional apapun manusia dalam dirinya tetap menyimpan DNA spiritual yang menilai makna dan kesuksesan hidup bukan hanya dari harta, kedudukan atau pencapaian sukses lainnya.
Bukti yang paling utama untuk menunjukkan pentingnya Tuhan dan agama bagi manusia serta peradaban adalah dengan terus bertahannya kepercayaan pada Tuhan dan agama sejak peradaban manusia dibangun hingga saat ini.
Kalau soal jumlah pengikut agama ini bertambah sementara yang lainnya berkurang dan seterusnya itu hanyalah data statistik internal. Agama-agama yang terobsesi untuk menambah jumlah pengikut atau khawatir ketika jumlah pengikutnya mulai berkurang adalah agama-agama yang berwatak misionier, sementara banyak agama lain tak peduli dengan hal semacam itu.
Sekali lagi soal angka dan perubahan lainnya itu hanya merupakan dinamika. Namun yang terpenting adalah Tuhan dan agama masih akan terus menjadi unsur penting peradaban manusia terutama dalam mencari makna dan kebahagian hidup.
Kepercayaan pada Tuhan dan agama tidak akan merosot hanya saja bisa berubah bentuknya. Dan kelak bisa jadi semua akan melebur dengan nama Jalan Kebahagiaan. Sebab kebahagiaan akan selalu menjadi kebutuhan eksistensial dan essensial manusia.
note : sumber gambar hellosehat.com