KESAH.ID – Banyak orang ingin menulis tapi tidak mulai menulis karena merasa tak punya bahan. Mecet menulis karena merasa tak punya bahan adalah pertanda bahwa seseorang malas membaca. Jadi jika ingin menulis rajin-rajinlah membaca terlebih dahulu. Dan jika ingin menulis dengan lebih baik maka biasakan membaca dengan tujuan.
Menulislah setiap hari. Seingat saya itu jawaban sambil lalu dari seorang teman ketika ditanya kiatnya hingga bisa menghasilkan tulisan bagus.
Jujur saja, itu jawaban seorang pemalas. Dia tidak mau menguraikan apa saja yang membuat sebuah tulisan disebut bagus dan bagaimana cara membuatnya.
Namun saya menerimanya sebagai sebuah nasehat, pitutur baik yang kemudian berusaha saya ikuti dari antara ribuan nasehat baik lain yang saya abaikan.
Mulanya berat hingga kemudian saya modifikasi menjadi “menulislah setiap hari, selesai tidak selasai”. Hasilnya pada memori desktop ada banyak folder berisi tulisan sepertiga dan setengah jadi. Banyak sampah.
Saya kemudian memaksakan diri untuk menulis hingga selesai ketika Facebook menyediakan fitur Facebook Note. Memposting tulisan lewat fitur ini rasanya seperti blogging, tapi lebih mudah dan lebih punya peluang dibaca orang lain ketimbang mempublikasikan tulisan lewat blog gratisan di blogspot.
Ada ratusan tulisan yang saya posting lewat Facebook Note yang saya juduli Catatan Mas Romo dan Catatan Nusantara.
Walau menulis saya anggap sebagai ‘penugasan diri sendiri’ namun saya juga ingin agar tulisan itu bisa bermanfaat untuk orang lain, dibaca banyak orang. Saya kemudian berpindah dari Facebook Note yang kemudian dimatikan oleh Facebook ke community blog yang waktu itu mulai terkenal yakni Kompasiana.
Menulis di blog yang berbasis user generated content yang dikembangkan oleh awak Kompas Grup jelas lebih punya peluang dibaca lebih banyak orang. Selain itu bisa juga untuk mem-branding diri.
Pada akun saya di Kompasiana kurang lebih ada 300 tulisan, belasan diantaranya dipilih menjadi headline. Ada satu tulisan terpilih menjadi pemenang kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh perusahaan otomotif dan satu tulisan diterbitkan dalam buku keroyokan dengan judul “Jokowi Bukan Untuk Presiden”.
Namun lama kelamaan menulis di Kompasiana terasa lebih didorong oleh kemauan untuk meraup pembaca. Buat saya tulisan menjadi terasa kurang dalam karena mengejar aktualitas dan cepat-cepatan agar belum didahului oleh banyak penulis lainnya. Menulis seperti diburu setan.
Sampai waktu itu saya belum bisa mempraktekkan nasehat menulis setiap hari.
Tiga tahun belakangan ini, saya mulai bisa mendekati secara konsisten dan konsekwen untuk menulis setiap hari. Atas kebaikan beberapa teman, saya dibuatkan sebuah website yang beralamat di kesah.id.
Lewat website itu saya memposting tulisan secara rutin satu tulisan per hari dari hari Senin sampai Jum’at.
Paling tidak ikthiar saya untuk mengikuti nasehat menulis setiap hari sudah terpenuhi. Sampai hari ini saya masih terus tertantang untuk menjaga gairah, mengobarkan kreatifitas dan menjaga energi agar bisa tetap fokus menulis.
Bagi saya yang pekerjaannya kurang jelas ini, menulis setiap hari bisa menjadi penyelamat kala ada yang bertanya “Apa pekerjaan saya,”.
Dengan cepat saya bisa menjawab “Penulis,”.
BACA JUGA : Restu Budiman Pada Aspirasi Kades ‘Seumur Hidup’
Arswendo Atmowiloto mengatakan semua orang bisa mengarang, asalkan tidak buta huruf total. Keyakinan itu membuatnya berani menulis buku dengan judul “Mengarang Itu Gampang”.
Ngarang dalam artian mengarang-ngarang cerita untuk tujuan ngeles, mencari pembenaran, menghindari tanggungjawab, lempar batu sembunyi tangan memang gampang. Rasanya itu merupakan keahlian hampir semua manusia.
Namun mengarang dalam artian menulis, entah fiksi atau non fiksi jelas tidak mudah. Bahkan yang terbiasa menulis sekalipun tetap saja tidak gampang.
Tentu Arswendo tak berniat menggampangkan urusan menulis, meski dia memang piawai dalam urusan yang satu ini. Dia hanya ingin menyemangati, memotivasi agar orang mau belajar, bersemangat untuk memulai walau memulai dengan buruk.
Saya setuju dan buat saya menulis setiap hari adalah bagian dari belajar, berlatih terus menerus. Konon sebuah ketrampilan akan dikuasai apabila seseorang telah melakukannya selama ribuan jam hingga menjadi kebiasaan.
Semua orang akan bisa jika terbiasa. Namun akankah kebiasaan menjadi sebuah ketrampilan atau keahlian?. Belum tentu.
Seorang yang terampil menulis bukan hanya pintar mencari topik tulisan melainkan juga piawai dalam membeberkan topik itu sehingga menarik dan enak dibaca, tulisannya mengalir dengan kalimat-kalimat runut dan pilihan kata yang tepat.
Menulis itu ibaratnya menceritakan gagasan yang memberi kebaharuan. Seperti seorang wartawan yang menuliskan berita, namun peristiwa yang sama akan dituliskan secara berbeda-beda oleh masing-masing wartawan. Perbedaan itu muncul dari sudut pandang, sebuah peristiwa bisa dibedah dari banyak sisi. Kejelian menemukan sudut pandang akan menentukan apakah tulisan itu akan menjadi bermakna atau tidak.
Menulis setiap hari atau menulis, menulis dan menulis akan berakhir seperti seseorang yang terus berlari namun tak tahu hendak lari kemana, yang penting berlari. Hanya berlari tak akan membuat seseorang menjadi atlet. Sebab untuk menjadi atlet butuh pengetahuan tentang bagaimana berlari dengan baik, bagaimana mengatur nafas, mempertahankan stamina tubuh, mengatur ritme dan lain-lain.
Demikian juga dengan menulis, agar terampil diperlukan pengetahuan teknik-teknik kepenulisan, mengolah gagasan, menghiasi tulisan dengan analogi juga metafora, membuka tulisan dengan kalimat memikat, menutup tulisan dengan wow dan seterusnya.
Berharap semua itu akan dengan sendirinya dikuasai karena jam terbang rasanya bakal butuh waktu yang sangat lama, bisa-bisa selama VOC menjajah Nusantara.
Saya yang mempunyai ratusan tulisan, sesekali mendapat uang lumayan dari tulisan dan banyak kali berbicara perihal hal ihwal menulis tidak asing dengan perasaan bahwa tulisan saya biasa-biasa saja, datar dan tidak memuaskan.
Selalu muncul keinginan untuk menulis semakin baik, semakin memikat, bukan hanya asyik dibaca namun juga membawa manfaat bagi yang membacanya.
Ada banyak kelas yang menawarkan penulisan, diampu oleh orang-orang hebat dan telah terbukti materi serta cara mengajarnya membuat yang ikut kemudian bisa menulis dengan baik.
Tapi sampai sekarang saya merasa enggan ikut kelas-kelas seperti itu. Saya ingin belajar dengan cara lain sebab saya mempunyai banyak waktu dan tidak terlalu dikejar target agar bisa segera ini serta itu.
Dan sebuah status dari seorang penulis ternama di halaman sosial medianya kemudian saya anggap sebagai sebuah nasehat yang tidak saya minta. Dia menuliskan soal membaca dengan tujuan.
Menurutnya membaca satu tulisan yang bagus setiap hari bisa menjadi cara untuk belajar menulis dengan baik dan benar, lancar serta memikat.
BACA JUGA : Schadenfreude : Kesenangan Dari Kemalangan Orang Lain
Nasehat itu saya ikuti, kini setiap pagi setelah mengantar anak pergi ke sekolah dan membereskan isi perut yang meronta-ronta, saya akan membaca sebuah tulisan untuk memulai hari.
Yang rutin saya baca adalah tulisan Dahlan Iskan, di disway.
Saya menjadikan tulisan DI sebagai pilihan karena dia menulis setiap hari, apa saja ditulis olehnya seperti tak pernah kehabisan bahan.
Dengan membaca tulisannya setiap hari, saya belajar bagaimana DI mencari topik yang hendak dituliskan. Sebagian besar yang dituliskan berhubungan dengan dirinya, hal-hal yang berkaitan dengan pengalamannya, pergaulannya, aktivitas keseharian dari dulu hingga sekarang dan juga hal-hal tertentu yang selalu menarik perhatiannya.
Dalam banyak kesempatan DI mengatakan tak terlalu menguasai atau punya bahan yang cukup untuk mengembangkan tulisannya, maka dia kemudian akan meminta seseorang atau menelepon seseorang untuk mendapat informasi tambahan. Tipikal seorang wartawan.
Inilah yang dimaksudkan dengan membaca dengan tujuan, bukan hanya menikmati apa yang dituliskan tapi menelusuri dan kemudian menangkap bagaimana tulisan itu dibuat, bagaimana kata-kata dirangkai dan bagaimana ritme tulisan dimainkan.
Membaca dengan tujuan berarti belajar dari pengalaman orang lain sebagaimana dilihat dalam tulisannya.
Sebenarnya cara ini sudah lama saya terapkan walau tidak intens. Dulu saya suka membaca esai-esai memikat di Kompas, tempo dan lainnya. Tulisan para kolumnis ternama seperti Satjipto Raharjo, Mahbud Junaedi, Ahmad Sobary, Bisri Effendi, Putu Setia, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban dan lain-lain.
Tapi karena tulisannya berupa cetakan tentu saja mereka tak bisa menulis setiap hari dan memang mereka juga tidak menulis setiap hari sebagaimana Dahlan Iskan beberapa tahun terakhir ini.
Hubungan antara menulis yang baik dengan membaca memang erat. Membaca selalu ditempatkan dalam urutan pertama ketika hendak menulis.
Ketika ada seseorang mengeluh “Saya sulit sekali menulis,” maka jawabannya adalah membacalah. Dengan membaca kita akan semakin mudah menulis, karena apa yang kita baca bisa menjadi bahan tulisan atau inspirasi untuk sebuah tulisan.
Dalam “4 Way To Become a Better Writer” Key Kuykendall memberi resep atau urutan dalam menulis yakni read, learn, meditate dan write. Ivan Lanin meng-indonesiakan dengan akronim baper tulis atau baca, pelajari, renungkan dan tuliskan.
Dengan langkah ini seseorang akan menulis dengan modal yang cukup, tulisan akan dimulai jika bahannya sudah tersedia, sudah diperdalam dan sudah dipikirkan matang-matang. Sehingga tulisan tidak akan berhenti di tengah jalan dan punya potensi untuk menjadi sebuah tulisan yang baik.
Jadi kalau pingin tulisannya makin hari makin baik tapi enggan ikut kelas menulis, membaca dengan tujuan bisa menjadi cara untuk meningkatkan mutu tulisan kita. Bacalah tulisan dengan topik tertentu, perdalam atau pelajari lebih lanjut dengan referensi lainnya, lalu renungkan atau pikirkan dalam-dalam, bandingkan dengan pengalaman kita, pengalaman masyarakat, pengalaman negeri lainnya dan lain-lain, lalu mulailah menulis.
Dengan begitu menulis akan menjadi menyenangkan dan tidak perlu khawatir kehabisan bahan.
note : sumber gambar – ETALASEBUKU