KESAH.IDSebelum menjadi kekaisaran, Romawi adalah republik yang dipimpin oleh konsul yang diawasi oleh senat. Julius Caesar merusak nafas republik ketika menetapkan dirinya menjadi diktator atau pemimpin tunggal yang bisa mengambil kebijakan tanpa pertimbangan senat. Dibunuh lewat konspirasi anggota senat, darah yang tertumpah dari kematian Julius Caesar justru membawa Romawi menjadi kekaisaran. Pemimpin tertingginya ingin memimpin seumur hidup dan mewariskan tahtanya pada keturunannya. Usulan para kepala desa agar masa jabatannya 9 tahun per periode bisa menjadi awal perjalanan Indonesia dari Republik Indonesia menjadi “Kerajaan Indonesia”.

“Bade tindak tenggene Mbah Lurah nggih mas?”

Pertanyaan “Mau pergi ke tempat Mbah Lurah ya mas?” biasanya disampaikan oleh seseorang yang saya kenal ketika saya mulai jalan kaki dari Kantor Kecamatan Kaligesing menuju Tawangsari tempat kakek nenek saya tinggal.

Mbah Kakung, bapaknya bapak saya adalah Lurah. Dulu sebutan Lurah berarti kepala desa yang dipilih oleh rakyat. Kalau sekarang Lurah artinya Kepala Kelurahan, bukan dipilih tapi ditunjuk oleh Bupati atau Walikota, Lurah adalah pegawai negeri.

Kakek saya disebut Mbah Lurah karena sudah sepuh, sudah beranak cucu.

Saya tak tahu sejak kapan kakek menjadi lurah, apakah sejak muda atau nanti setelah tua. Tapi sebutan Mbah Lurah menunjukkan kakek saya sudah lama menjadi lurah. Di kampung saya, lurahnya juga dipanggil Mbah Lurah karena sudah tua dan setahu saya sejak kecil lurahnya sama saja, belum diganti-ganti.

Saya bukan hanya akrab dengan sebutan Mbah Lurah saja, tapi juga Mbak Carik, Mbah Dukuh dan lain-lain, semua perangkat di kampung Mbah semua, sudah tua-tua.

Nampaknya dulu jabatan Lurah, Carik, Dukuh dan lain-lain itu seumur hidup, diganti kalau meninggal atau mengundurkan diri.

Karena Lurah dipilih secara langsung oleh masyarakat, Pak Guru PMP atau Pendidikan Moral Pancasila kerap mengajarkannya sebagai model demokrasi Indonesia, Demokrasi Pancasila.

Dalam benak saya demokrasi yang berasal dari Demos dan Kratos, adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka saya manggut-manggut aja dan menerima bahwa pemilihan lurah yang kemudian menjabat hingga memperoleh sebutan Mbah Lurah adalah demokratis.

Kelak ketika saya mulai belajar soal demokrasi lebih jauh dan Mbah-Mbah Lurah itu sudah meninggal, demokrasi tradisional yang menghasilkan Mbah-Mbah Lurah bisa jadi secara prosedural memang demokratis namun secara substansial tidak.

Tidak karena salah satu tujuan demokrasi adalah rotasi kepemimpinan yang ajeg. Namun demokrasi ala Mbah Lurah dan ternyata juga demokrasi orde baru ternyata sirkulasi pemimpinnya tidak terjadi. Demokrasi Pancasila menghasilkan Mbah Lurah di Desa dan Eyang Suharto di Ibu Kota Negara.

Untung saja setelah reformasi regim pemilu diperbaharui. Rotasi kepemimpinan lebih dijamin agar seorang pemimpin mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional tidak menjabat ‘seumur hidup’.

Undang-Undang Pemilu dan Undang Undang Desa membatasi masa jabatan pemimpin. UU Pemilu membatasi masa jabatan selama lima tahun dan hanya memperbolehkan duduk dua periode jabatan atau selama-lamanya 10 tahun. Sedangkan UU Desa kalau tidak salah masa jabatan Kepala Desa yang dipilih langsung oleh rakyat adalah 6 tahun, boleh menjabat 3 periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Maka selama-lamanya jabatan Kepala Desa adalah 18 tahun.

Walau begitu seseorang bisa saja menjabat ‘seumur hidup’ dengan cara setelah menyelesaikan periode terakhir di daerah tertentu kemudian mencalonkan di daerah lain. Kepala Desa, Bupati, Walikota dan Gubernur bisa memakai cara seperti ini. Namun Presiden tidak, karena kalau mencalonkan diri di negeri lain bakal disebut pengkhianat bangsa.

Anggota DPR, Anggota DPD, Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden yang jabatannya diatur dalam regim pemilu langsung nampaknya sudah legowo, rela menerima pembatasan jabatan 5 tahun dan selama-lama 2 periode. Namun Kepala Desa yang juga dipilih secara langsung nampaknya kurang rela. Mereka ingin masa jabatannya diperlama dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode jabatannya.

Ada banyak alasan dan seperti biasa memang alasan bisa dicari-cari. Namun yang paling penting usulan ini nampaknya disetujui oleh partai pemenang pemilu yang lalu-lalu yakni PDIP.

Budiman Sujatmiko, politisi PDIP yang kental kepeduliannya terhadap desa menyampaikan dukungan atas usulan para Kepala Desa ini.

BACA JUGA : Schadenfreude – Kesenangan Dari Kemalangan Orang Lain

Saya lahir di desa, menghabiskan masa kecil juga di desa. Meski kemudian hidup di kota dan menikmati semua kesenangannya saya tetap saja lebih menyukai desa sebagaimana banyak orang kota lainnya.

Manusia pada umumnya memang menyukai desa atau suasana perdesaan. Kesukaan ini selaras dengan hipotesis yang diungkap oleh seorang ahli biologi, Edward O. Wilson pada tahun 1984 yang lalu.

Dia mengungkapkan kecenderungan yang kuar untuk berhubungan dengan alam atau lingkungan alamiah adalah bawaan lahir manusia. Dan lingkungan alami, keasrian, udara segar, gemericik air sungai, bunyi-bunyian binatang liar ada di desa.

Dalam konteks ini kemudian bisa dipahami kenapa sekarang ini banyak desa mengembangkan diri menjadi Desa Wisata. Bukan hanya di Indonesia melainkan juga di pelbagai pelosok dunia lainnya.

Pandemi Covid 19 semakin meningkatkan popularitas desa sebagai destinasi wisata. Saat orang tak bisa bepergian ke luar negeri, ke luar pulau maka mengunjungi daerahnya sendiri menjadi sebuah pilihan. Dan umumnya yang dikunjungi adalah perdesaan karena suasana desa memang cocok untuk healing.

Bicara soal pembangunan desa dan perhatian yang besar terhadapnya secara politik kenegaraan tak bisa lepas dari sosok bernama Budiman Sudjatmiko. Dia adalah sedikit dari mereka yang bernama Budiman yang benar-benar menunjukkan kebaikan budinya terhadap desa.

Budiman Sudjatmiko awalnya dikenal sebagai anak muda yang berani melawan regim Suharto yang dianggap tidak demokratis. Bersama teman-temannya Budiman mendirikan Partai Rakyat Demokratik atau PRD.

Kiprahnya dalam memperjuangkan demokrasi mengantarnya ke penjara, sebagai tahanan politik orde baru. Bertubuh ceking kerempeng dan berkaca mata, Budiman yang sekilas terlihat ringkih dan kalem akan menjadi singa podium ketika memegang mikropon. Baik saat di mimbar demonstrasi maupun ketika disidang di depan pengadilan. Ceking-ceking cabe rawit.

Ketika orde baru runtuh, Budiman dibebaskan dan kemudian melanjutkan studi ke luar negeri. Pulangnya Budiman menjadi politisi, bukan di PRD melainkan bergabung dengan PDIP.

Dari 2009 hingga 2019, Budiman Sudjatmiko duduk sebagai anggota DPR RI dari PDIP mewakili Dapil Jawa Tengah VIII. Di DPR RI Budiman getol mendorong terwujudnya UU Desa.

Bersama Parade {Persatuan Rakyat Desa} Nusantara, Ormas yang beranggotakan masyarakat dan perangkat desa, Budiman berjuang untuk mewujudkan UU Desa. Parade Nusantara pernah melakukan demo di depan gedung DPR RI untuk mendesak proses legislasi UU Desa.

Setelah melalui perjalanan panjang akhir UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir. Desa kemudian mendapat alokasi anggaran dari pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintah dan pemberdayaan masyarakatnya.

Budiman Sudjatmiko sendiri mulai tidak akur dengan Parade Nusantara, ada perbedaan pendapat soal alokasi dana desa. Sudir Santoso, Ketua Parade Nusantara pernah menuduh Budiman Sudjatmiko memalsukan sejarah UU Desa, tidak utuh memahaminya dan komitmennya untuk memperjuangkan desa mulai luntur.

Pemilu tahun 2019 gagal mengantar kembali Budiman Sudjatmiko ke Senayan. Budiman gagal menahklukkan ‘dapil neraka’ yang meliputi kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan dan Ngawi atau Dapil Jawa Timur VII.

Sempat aktif menjadi Dewan Pengarah Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan {BP2DK}, Budiman lalu aktif dalam organisasi Inovator 4.0 Indonesia. Kini dirinya dikenal sedang mengembangkan Bukit Algoritma, semacam Silicon Valley di Amerika Serikat.

BACA JUGA : Cak Nun Kesambet Firaun 

Memfokuskan perhatian dan pembangunan terhadap desa menjadi penting karena dampak dari pembangunan yang terpusat kemudian melahirkan kesenjangan yang jauh antara desa dan kota. Pusat pertumbuhan kemudian ada di kota, sehingga kota menjadi tujuan dari orang desa untuk memperoleh kehidupan.

Karena sebagian besar bercita-cita untuk ke kota, desa tidak menarik bahkan untuk warganya sendiri. Tidak ada masa depan di desa, desa yang berkembang atau mentereng adalah desa yang penduduknya kerja di kota dan kemudian membangun rumah di desa.

Salah satu tujuan dari UU Desa adalah memperkuat kedudukan desa, desa menjadi kuat sehingga bisa menumbuhkan kemandirian dan kesejahteraan warganya.

Hampir 10 tahun diimplementasikan, mulai terlihat perubahan di desa pada umumnya. Yang pertama desa tak lagi menjadi ‘bawahan’ kecamatan. Menjadi otonom, membuat desa bisa merumuskan secara mandiri apa yang menjadi visi dan misi pembangunannya.

Dengan alokasi dana desa baik dari APBN maupun dari APBD, desa kemudian mempunyai anggaran rutin untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Jabatan kepala desa kemudian menjadi lebih menarik, ada banyak anak-anak muda yang kemudian memilih kembali ke desa untuk bertarung memperebutkan jabatan kepala desa.

Berbagai studi menunjukkan implementasi UU Desa mampu menaikkan aset dan infrastruktur desa, administrasi pemerintahan makin membaik, layanan publik menjadi lebih cepat dan lain-lain.

Namun prestasi yang substantif terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, penurunan angka kemiskinan dan partisipasi kelompok marjinal dalam pembangunan nampaknya masih menjadi cerita khayalan.

Inovasi pemerintahan dan pembangunan yang lahir dari desa karena UU Desa masih minim.

Bisa dipastikan ini tidak berkorelasi dengan masa jabatan kepala desa.  Maka sebenarnya tidak urgensi untuk memperpanjang masa jabatan per periodenya. Bayangkan jika disetujui menjadi sembilan tahun dan kemudian boleh menjabat 3 periode maka seseorang bisa memimpin selama 27 tahun.

Salah satu alasan yang disampaikan sebagai landasan untuk memperpanjang masa jabatan adalah butuh waktu yang panjang untuk mengatasi dampak pembelahan masyarakat akibat pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa sudah seperti pemilihan umum yang diikuti oleh partai-partai.

Jangan-jangan mesti tidak masuk dalam regim pemilu, pemilihan kepala desa sudah dirasuki oleh partai-partai. Atau kepala desa yang mestinya tidak partisan ternyata dalam prakteknya telah menjadi alat terdepan partai untuk memenangkan pemilu.

Peran penting kepala desa dalam pemenangan pemilu nampak dari bagaimana para kepala desa ‘menekan’ partai politik. Mereka mengancam jika usulan masa jabatan 9 tahun tidak dipenuhi maka akan memboikot pemilu.

Sebenarnya saya tak ada urusan dengan masa jabatan 6 atau 9 tahun. Saya hanya prihatin melihat kepala desa nampaknya hanya bersatu diantara mereka untuk urusan jabatan. Jarang ada kepala desa yang bersatu, bikin forum dan demo hingga ke Jakarta karena tanah rakyatnya ditambang, dirampas oleh investor atau dicemari oleh industri.

Jabatan memang enak dan makin lama terasa makin asyik hingga bikin takut ketika harus meninggalkannya. Demokrasi membatasi hal itu namun tetap bisa diakal-akali karena bawaan penguasa memang ingin berkuasa selamanya.

note : sumber gambar – OKEZONE.COM