KESAH.ID –  Seseorang yang tiba-tiba sakit, pingsan atau berlaku aneh dengan omongan yang tidak terkendali ketika berada atau setelah melewati tempat tertentu yang angker biasanya akan disebut ‘kesambet’.  Kondisi itu terjadi karena seseorang dimasuki, dirasuki atau ditempeli oleh roh atau kekuatan lain dari luar dirinya.

Dari sedikit orang yang saya kagumi dan coba teladani, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun adalah salah satunya. Mulanya saya kagum pada tulisan-tulisannya, Cak Nun bisa membuat tulisan dari hal yang remeh temeh.

Buku kumpulan tulisan Cak Nun berjudul Jogya Indonesia Pulang Pergi adalah bukunya yang pertama saya beli di tahun 1999.

Menyusuri kiprahnya sejak muda di seputaran Jalan Malioboro, Cak Nun mengembangkan dirinya menjadi manusia multidimensional, barangkali juga multitalent.  Kalau dalam istilah yang terkenal sekarang disebut generalis.

Ya ketika bicara soal puisi Cak Nun akan disebut sebagai sastrawan.  Saat bicara beragam hal di hadapan mahasiswa atau kaum cerdik pandai dia diberi gelar budayawan.  Waktu berempati dan membela kaum tertindas serta pinggiran, publik menyebutnya aktivis.

Kalau Cak Nun bersikap kritis pada penguasa dan kekuasaan, padanya ditempelkan sebutan oposan. Dan kala Cak Nun asyik serta rutin berceramah untuk memberi siraman rohani pada masyarakat, dia disebut Kyai atau pemuka agama.

Diluar sebutan itu, Cak Nun juga pernah disebut sebagai politisi dan termasuk dalam kelompok selebritas karena nama dan wajahnya kerap masuk pemberitaan serta siaran broadcast.

Dari sisi selebritas, Cak Nun ajeg terkenalnya, bukan tipikal yang tiba-tiba melejit lalu menghilang ditelan bumi.

Sejak tahun 1993, Cak Nun bersama keluarganya mengadakan pengajian di Menturo, kampung halamannya. Pengajian itu dinamakan Padhang Mbulan karena diselenggarakan sebulan sekali tepat disaat bulan purnama.

Bersama keluarga lama-lama membesar dan menarik minat orang-orang disekitar untuk datang. Bertahan melewati angka ke 27 tahun, Padhang Mbulan menjadi oase untuk ribuan orang. Menjadi forum untuk membahas isu-isu aktual maupun yang tertelan jaman secara segar.

Kumpulan orang yang tahan duduk berjam-jam dari malam hingga dini hari ini dalam istilah arab disebut Maiyatullah. Padhang Mbulan kemudian menjadi embrio munculnya pengajian atau majelis ilmu kehidupan dalam payung Maiyah di berbagai kota.

Di Kota Yogyakarta lahir Mocopat Syafaat, di Jakarta ada Kenduri Cinta, di Mandar ada Paparendeng Ate, di Surabaya bernama Bambang Wetan, di Semarang ada Gambang Syafaat, lalu di Malang awalnya bernama Sematan Obor Ilahi namun kini dikenal sebagai Religi kependekan dari Rebo Legi karena forum ngaji dan diskusi diadakan setiap hari Rabu Legi dalam penanggalan Jawa.

Maiyatullah inilah yang menjadikan Cak Nun meski tak berpartai politik, tidak berormas dan emoh muncul di media mainstream serta tak bermedia sosial namun namanya dan popularitasnya tetap ajeg terjaga, pun juga pengaruhnya.

Najwa Shihab dengan mata acaranya yang sangat bergengsi karena bisa menghadirkan narasumber penting hingga Presiden RI di Mata Najwa merasa frustasi karena selama 9 tahunan lebih membujuk Cak Nun datang namun tak berhasil.

Di Forum Indonesia Lawyer Club yang dibawakan oleh Karni Illyas, wajah Cak Nun memang pernah muncul namun lewat video yang direkam lebih dahulu. Bukan kehadiran langsung di forum atau via mode online.

Pertengahan Januari ini omongan Cak Nun tentang Firaun, Haman dan Qorun kemudian membuat gempar. Cak Nun menyebut Jokowi sebagai Firaun, Luhut sebagai Haman dan Antoni Salim serta 10 Naga sebagai Qorun.

Saya tidak tahu persisnya kapan Cak Nun yang sekarang lebih sering dipanggil Mbah Nun mengucapkan hal itu. Yang jelas sebuah video yang diunggah di kanal CakNun.com pada Rabu {18/1/2023} Mbah Nun memberi penjelasan bahwa dirinya ‘kesambet’ ketika mengucapkan hal itu.

BACA JUGA : Menggadaikan Otak Pada AI Generatif

Dalam tradisi Mesir sebutan Firaun sebenarnya evolutif. Firaun dalam bahasa Mesir berasal dari kata “pero” atau “per-a-a” yang artinya rumah besar.

Per-a-a sekurangnya mempunyai tiga konteks yakni : sebutan untuk istana raja di era kerajaan lama Mesir; tempat tinggal raja dan pemukim lainnya; dan sebagai gelar raja-raja Mesir di era kerajaan baru.

Menurut para sejarawan, pemimpin kerajaan Mesir awalnya disebut raja. Namun setelah memasuki dinasti ke delapan belas, mulai diberi gelar Firaun. Gelar yang senada dengan Kisra untuk raja-raja Persia, Al-Qil untuk raja-raja Yaman dan Kaisar untuk penguasa Romawi Kuno.

Sebagaimana layaknya pemimpin lainnya, Firaun bagi masyarakat Mesir dipandang sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama.

Ketika Cak Nun menyebut Jokowi layaknya Firaun, umumnya masyarakat memandang sebagai negatif. Kisah tentang Firaun memang abadi karena ada dalam Kitab Suci agama keturunan Abraham/Ibrahim.

Firaun digambarkan sebagai sosok diktator yang zalim, angkuh dan tak mau menerima iman serta kepercayaan yang dibawa oleh pengikut Abraham karena menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Abdul Gaffar Karim, akademisi dari Fisipol UGM menuliskan dalam status facebook perihal perspektif buruk tentang Firaun muncul dari kisah permusuhan antara Firaun dan saudara angkatnya yang bernama Moses/Musa.

Menurutnya dalam tradisi Ibrahimiyah, permusuhan itu dilihar dalam perspektif baik dan buruk, Firaun digambarkan buruk dan Moses atau Musa digambarkan baik.

Diasuh dan dibesarkan dalam istana Firaun nasib Musa yang bukan orang Mesir itu jauh lebih baik dari saudara sebangsanya yang berada di Mesir. Orang Israel di Mesir diperlakukan sebagai budak. Musa prihatin dan ingin membawa bangsanya keluar dari Mesir agar hidup lebih baik.

Musa memimpin orang-orang Israel untuk exodus dari Mesir menuju kemerdekaan. Dan tentu saja membuat Firaun menjadi murka. Musa dikejar oleh Firaun dan pasukannya, sebuah mukjizat terjadi, dengan tongkatnya Musa membelah air laut sebagai jalan untuk melarikan diri. Dan kemudian air yang terbelah itu kembali menutup dan menenggelamkan Firaun beserta pasukannya.

Firaun yang hidup semasa Musa berada di Mesir kemungkinan adalah Ramses II, seorang pemimpin yang dalam sejarah mesir digambarkan sebagai sosok yang agung karena memerintah pada masa kejayaan Mesir kuno.

Dalam status facebook Abdul Gaffar Karim ditulis sebagai pemimpin yang powerfull, deterministic, cerdas dan gagah.

Namun tentu berbeda di hadapan orang Israel yang tinggal dan mengungsi di Mesir. Firaun yang agung itu digambarkan sebagai sosok yang kejam dan bengis.  Penguasa yang zalim terhadap orang-orang Israel yang tinggal di Mesir. Termasuk kepada Musa yang diasuh dan dibesarkan di istana sebagai keluarga.

Sosok lain yang disebut oleh Cak Nun adalah Haman. Dia adalah pembesar di istana, mungkin penasehat atau menterinya Firaun. Haman konon merupakan pelaksana pembangunan menara yang oleh Firaun akan digunakan untuk melihat “Tuhannya” Musa.

Kelak setelah selesai, Firaun akan menunjukkan anak panah yang berlumur darah untuk mengatakan pada Musa bahwa “Tuhannya” telah ditahklukkan olehnya, dibunuh dengan anak panahnya.

Haman dipandang jahat karena merupakan sekutu Firaun karena ikut menentang misi keagamaan yang dibawa oleh Musa.

Cak Nun juga menyebut Qorun. Sosok ini konon berkerabat dengan Musa dan kaya raya karena keahliannya berdagang. Namun Qorun tidak memihak pada Musa karena takut kehilangan harta kekayaannya yang berlimpah. Untuk melindungi harta dan terus mengembangbiakkannya Qorun memilih lebih bersekutu dengan Firaun ketimbang mendukung misi Musa.

Dalam konteks inilah Firaun, Haman dan Qorun kemudian menjadi negatif. Penguasa yang dibandingkan dengan Firaun dianggap sebagai penguasa yang zalim, sewenang-wenang pada orang kecil dan lemah, menindas rakyat.

Sedangkan pembantu penguasa, penasehat yang digambarkan sebagai Haman adalah penasehat yang mengikuti kemauan pembesarnya, menutup mata pada keadaan masyarakat atau rakyat yang sesungguhnya. Dia lebih memilih mengabdi kepada penguasa dibanding menyampaikan aspirasi rakyat agar penguasa bertindak bijaksana.

Dan para pengusaha yang diibaratkan sebagai Qorun adalah gambaran orang yang serakah, bersekutu dengan penguasa untuk mengeruk harta sebanyak mungkin dan menumpuk untuk dirinya sendiri. Berlimpah harta namun tak peduli dengan nasib masyarakat sekitarnya yang hidup menderita atau kurang sejahtera.

Persekutuan antara Firaun, Haman dan Qorun dalam konteks politik ekonomi saat ini populer dengan sebutan oligarki.

BACA JUGA : Membiasakan Diri Untuk Membaca Agar Bahagia

Cak Nun bukanlah orang yang pertama kali mengasosiasikan Presiden RI dengan Firaun. Elman Saragih pada 23 Maret 1990 menuliskan tajuk di Media Indonesia dengan judul “Firaun dan Suharto”.

Inti tulisannya adalah Firaun dan Suharto sama-sama mengantisipasi masalah kekurangan pangan yang akan dihadapi. Keduanya dianggap sama-sama komit terhadap nasib bangsa dan negaranya.

Firaun akhirnya berhasil mengatasi kerawanan pangan, lumbung yang dibangun mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat selama 7 tahun musim paceklik. Suharto memerintahkan Bulog dan juga bank untuk melakukan persiapan terutama kelancaran kredit penggadaan pangan.

Tidak ada nada negatif dalam tajuk rencana yang dituliskan oleh Elman Saragih itu, bahkan sebenarnya bernada pujian karena Suharto dipandang antisipatif dan mempertimbangkan resiko terburuk pada tahun mendatang.

Namun Departemen Penerangan memberikan teguran keras kepada Media Indonesia dengan alasan Firaun dalam benak masyarakat Indonesia berkonotasi negatif, tokoh yang jahat. Elman Saragih dicopot dari kedudukannya dan kemudian dimutasi ke kantor Media Indonesia Medan.

Tahun 2015 lalu pemerintah melalui Menteri Sosial berencana memberikan gelar pahlawan pada Presiden Suharto dan Presiden Abdurahman Wahid. Rencana itu ditentang oleh masyarakat utamanya gelar kepahlawanan pada Suharto.

Roy Murtado menulis artikel di Indoprogress dengan judul “Mempahlawankan Suharto, Mempahlawankan Firaun”.

Amien Rais juga pernah menganalogikan pemerintahan Jokowi sebagai pemerintahan Firaun. Abdullah Hehanusa saat akan menghadap Presiden Jokowi di Istana Negara pada April 2021 lalu mengibaratkan kedatangannya ke istana sebagai Musa yang mendatangi Firaun.

Entahlah Cak Nun bermain diwilayah mana, apakah konotasi negatif atau netral ketika menyebut Jokowi, Luhut dan Antoni Salim sebagai Firaun, Haman dan Qorun.

Nampaknya jelas bahwa Cak Nun mau menyampaikan kritik terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan saat ini, suara senada dengan yang sudah banyak diteriakkan yaitu oligarki.

Namun ketika apa yang disampaikan kemudian menimbulkan keributan, Cak Nun kemudian mengatakan dirinya ‘kesambet’ saat mengatakan hal itu. Jadi omongan soal Firaun, Haman dan Qorun keluar dari mulutnya bukan sebagai yang direncanakan olehnya.

Ibaratnya itu adalah ocehan merancau karena ada ‘sesuatu’ dari luar yang merasuki dirinya sehingga rangkaian kalimat-kalimat itu mengalir keluar dari mulutnya.

Cak Nun meminta maaf, tapi bukan pada Jokowi, Luhut dan Antoni Salim, melainkan kepada sanak saudara dan pihak-pihak lainnya yang ‘kecipratan’ susah gara-gara apa yang keluar dari mulutnya.

Jadi ‘kesambet’ adalah cara Cak Nun ‘Ngeles Cantik’ agar apa yang keluar dari mulutnya tidak ditarik kembali dan tetap dimaksudkan sebagai sebuah kritik.

note : sumber gambar – TIRTO.ID