KESAH.IDDalam lima tahun terakhir harga kopi cenderung terus naik dan naik. Hal ini bisa menjadi pertanda yang baik karena komoditas kopi bisa menjadi pilihan bagi petani untuk mengencarkan budidayanya kembali. Trend minum kopi yang nampaknya belum berujung memang membuat jarak antara kebutuhan konsumsi dengan pasokan mulai berselisih. Kebutuhan kopi meningkat tapi kebun atau budidaya kopi tidak bertambah luas. Semoga harga kopi yang baik tidak menguntungkan importir yang kemudian mendatangkan kopi dari luar negeri. Melainkan memicu para pihak untuk mengembangkan dan memperluas kopi di dalam negeri.

Saya merasa Joko Pinurbo bukan penggila kopi, makanya di luput menyebut Yogya dengan kopinya. Padahal Jokpin ternyata menulis puisi tentang kopi. Sekurangnya ada lima yang terkumpul dalam buku berjudul Surat Kopi.

Kelima puisinya itu adalah Ibu Kopi, Lubang Kopi, Kopi Puisi, Surat Kopi dan satu nggak berjudul. Maka mestinya Joko Pinurbo dekat dengan kopi seperti penggalan namanya Jo-kopi-nurbo.

Tapi sudahlah, mungkin kopi tidak diekplisitkan karena selalu ada kopi di angkringan.

Dan angkringan termasuk salah satu yang merevolusi cara penyajian kopi. Adalah Lek Man, pemilik angkringan yang berjualan di dekat stasiun Tugu sebagai pionernya. Langganan Lek Man yang sebagian besar adalah pegawai kereta api berasal dari Jawa Timur. Mereka minta kopi klotok. Tapi Lek Man tak sanggup menyediakannya.

Maka kopi tubruk kemudian dicemplungi arang membara dari angklo. Bunyinya entah jess atau joss. Tapi kopinya kemudian dikenal sebagai Kopi Joss yang legendaris karena kemudian ditiru oleh pedagang angkringan lainnya.

Namun jauh sebelum itu Yogjakarta sudah akrab dengan kopi atau jagongan di Malioboro. Cak Nun merekam dalam sebuah tulisan soal jagongan dan Jogya.

Malioboro dulu merupakan ruang temu antara anak-anak selatan dan utara. Bertemu di warung Mbah-Mbah yang jualan tapi dihayati sebagai ibadah.

Anak-anak utara yang kena angin Merapi dan anak-anak selatan yang terpengaruh angin segara kidul biasanya cangkruk sambil nyemil dan ngopi-ngopi. Mbah-mbah biasanya menaruh bubuk kopi dan gula sampai setengah gelas lalu disiram air panas.

Yang pesan hanya mengaduk sebentar lalu menyeruput pelan-pelan. Saat airnya habis, ampas kopi dan sisa gula yang belum lebur masih bisa disiram air sekali lagi.

Sambil mengulurkan gelas mereka berkata “jog … ya” pada Mbah penjual yang terkantuk-kantuk.

Jog artinya menuang atau mengisi air dalam gelas.

Jadi manis Jogya bukan hanya pada gudeg tapi juga kopi hitamnya, kopi panas, legi dan kentel atau nasgitel.

Ciri khas kopi ndeso itu begitu kuat. Rasanya kopi yang awalnya nge-hits di Yogya juga tidak jauh dari tipikal itu, namanya Kopi Blandongan.

Saya lupa persis dimana alamatnya karena dua kali pergi kesana dibonceng oleh dua orang teman yang waktu itu sedang kuliah S2 di Gajah Mada. Yang saya ingat motor menyeberangi rel kereta api.

Warung kopi ini didirikan oleh mahasiswa asal Gresik yang rindu pada kopi di kampung halamannya. Berdiri sejak tahun 2000, kehadiran warung kopi ini tercatat sebagai sejarah tersendiri dalam dunia ngopi-ngopi di Yogya.

Dengan slogan menusantarakan kopi dan mengkopikan nusantara, warung sederhana dengan nuansa terbuka ini terasa ramah terutama untuk kaum mahasiswa.

Bangku dan meja dari kayu mengingatkan saya pada suasana kelas di taman kanak-kanak dan SD. Wadah untuk menyajikan minuman dan makanan yang terbuat dari blek juga mengingatkan kepada alat-alat makan semasa kanak-kanak dulu.

Anak-anak dulu memang sering memakai piring atau gelas dari seng atau blek, agar kalau jatuh tak pecah. Alat makan pecah belah yang terbuat dari keramik atau kaca dulu terasa mahal untuk kebanyakan warga.

BACA JUGA : Santri/wati Berkuda

Saat menumpang layanan kendaraan  online menuju salah satu Mall terbesar di Yogyakarta, pengemudinya bertanya “Kok harga kopi naik terus ya,”.

Entah kenapa dia menanyakan itu.

Saya juga tak dengan segera bisa menjawab karena kopi di Yogya bukan keseharian saya. Lagi pula sudah dua atau tiga tahun saya tidak ke Yogya.

Namun melihat perkembangan dunia kopi di nusantara, saya jawab “Mungkin konsumsi kopi meningkat tapi produknya tidak. Makanya harga kopi naik,”

Saya yakin pengemudi transportasi online itu tak puas dengan jawaban saya.

Hanya beberapa kali ngopi di Yogya, terasa memang mahal.

Di Loko kopi yang pilihan biji kopinya tak sebanyak beberapa tahun lalu, ketika saya memilih menu segelas kopi diseduh dengan vietnam drip harganya cukup mengejutkan. Jauh diatas perkiraan saya.

Barangkali sebagai kota wisata Yogya mungkin lebih tertib urusan pajak memajak. Jadi di dalam harga yang harus dibayarkan sudah ada tambahan biaya layanan dan pajak pertambahan nilai.

Harganya segelas kopi akan lebih mengejutkan lagi di coffee shop yang ada di mall besar. Apalagi jika memilih bean yang berasal dari luar negeri, seperti kopi dari Brasil, Ethipia, Honduras dan lainnya. Saya jadi ingat ucapan seorang teman yang kerap mengatakan “Kopinya rasa uang,”

Itu istilah dia jika ditanya bagaimana rasanya segelas kopi yang mahal.

Harga kopi entah itu kopi bean, kopi gound maupun kopi yang disajikan di kedai-kedai memang cenderung mulai naik sejak tahun 2020-an. Berlawanan dengan es teh jumbo yang melakukan perang harga untuk menjadi yang termurah, kopi justru sebaliknya.

Es teh jumbo bersaing menjual dengan harga 5 ribuan per cup, tapi kopi sungguh jarang menemukan kedai atau kopi shop yang berani menjual 10 ribu per cup.

Rata-rata harga kopi americano atau long black adalah 20 ribu-an.

Dengan label single origin atau specialty coffee, memang jarang yang menjual di bawah angka 20 ribuan.

Dibawah angka itu maka kopi yang bisa kita nikmati adalah kopi sachetan. Kopi yang berbahan biji tanpa grading alias asalan.

Di gerai-gerai mini swalayan, kopi sachetan bisa dinikmati dengan harga 5 ribuan, harga serupa juga bisa dinikmati di warung-warung tepi jalanan. Namun di bandar udara, kopi sachetan sekalipun akan berharga lebih dari 20 ribuan, sementara kopi yang berasal dari biji jelas melewati angka 50 ribuan.

Begitu menginjakkan kaki di Yogya, waktu belum menunjukkan saat check in di hotel telah tiba. Resepsionis hanya mempersilahkan untuk menitipkan barang bawaan dan mempersilahkan untuk jalan-jalan dahulu.

Sayapun memilih untuk segera pergi ke kedai kopi karena tubuh telah memberikan alarm butuh kafein.

Loko Coffee, sebuah kafe milik PT KAI yang mempunyai slogan medang, madang dan jagongan menjadi tujuan untuk melangkahkan kaki.

BACA JUGA : Malborough Malioboro

Setiap kali ke Yogyakarta, saya memang selalu singgah ke Loko Coffee karena letaknya strategis. Kedai ini berada persis di samping palang pintu kereta api Stasiun Tugu, ujung Malioboro bagian utara kearah jalan Pasar Kembang.

Kedai kopi ini menjadi ikonik salah satunya karena menjadi penanda kebangkitan PT KAI dalam menata manajemen aset usahanya.

Faktor lainnya karena pilihan kopi bean-nya yang banyak, utamanya biji-biji kopi yang berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya.

Tapi ketika saya datang singgah ada yang berbeda. Toples yang berisi biji kopi tidak terlalu banyak, hanya ada 3 dan bukan kopi lokal.

Niat hati ingin memilih sajian segelas kopi dengan cara seduh V60. Tapi nampaknya yang saya tunjuk di menu adalah Vietnam Drip.

Dan benar datanglah gelas dengan vietnam drip diatasnya, meniriskan air yang mengekstrak kopi setetes demi setetes jatuh diatas susu kental manis yang berada di dasar gelas.

Ah, kopi susu. Saya sebetulnya tak biasa meminumnya, perut tak cocok dengan susu.

Tapi apa boleh buat, gelaspun saya aduk untuk mencampur susu dan kopi. Lapisan putih dan hitam diatasnya menyatu menjadi kecoklatan.

Salah pesan itu berharga kurang lebih 49 ribu karena harga menu dilengkapi dengan pajak dan biaya layanan.

Hampir saya membatin “Kok kopi susu saja mahal amat!”

Tapi niat itu saya urungkan. Saya ingat seorang teman yang membeber harga kopi berdasarkan kelas yang ingin ditunjukkan oleh kedai atau pengusahanya.

“Pada kedai-kedai kopi premium harga segelas kopinya 50 ribuan keatas,” ujarnya beberapa tahun lalu.

Jadi harga 49 ribu untuk segelas kopi susu bahkan belum termasuk dalam kategori kopi premium.

Mungkin sudah terasa untuk kantong tapi belum membuat gempa di dompet walau menikmati segelas kopi di Loko Coffee bisa terasa bergetar ketika ada rangkaian kereta yang lewat. Tapi sekali lagi kopinya belum bisa dianggap ‘kopi gempa’.

Kalau ingin merasakan ‘kopi gempa’ bisa pergi ke Mall Pakuwon, kawasan pusat perbelanjaan yang dulu dikenal dengan nama Hartono Mall. Disana ada kedai kopi dan roastery dengan nuansa nama luar negeri.

Pilihlah jenis kopi yang diseduh dengan cara manual dengan biji yang berasal dari luar negeri. Kopi yang diseduh akan disajikan bersama selembar kertas berisi nama kopi, asal dan roaster man-nya. Selain itu ada catatan tentang sejarah kopi dan rasa, aroma serta sensasinya.

Dan semua kenikmatan serta layanan prima itu mesti dibayar dengan harga yang membuat dompet meronta. Apapun pilihan kopinya semua layak untuk disebut sebagai ‘Kopi Gempa’.

Tapi ini pertanda baik, jika kafe atau kedai menjual kopi dengan harga yang sangat layak, semoga para petani juga turut menikmati rejeki yang berlimpah karena hasil panenannya dibeli dengan harga yang membuat hati berbunga-bunga.