KESAH.IDTidaklah adil jika kita menilai tak ada kemajuan di negeri kita ini. Sebab disana-sini perubahan telah terjadi. Tapi mungkin benar jika semua kemajuan itu belum memuaskan dan belum berhasil menghantar negeri ini menjadi negeri terkemuka. Sebab kita memang maju tapi negeri lain juga maju dan lebih laju dari kita. Padahal negeri ini punya segala sesuatu yang diperlukan oleh rakyatnya agar hidup sejahtera dan berkecukupan. Namun ekstraksi yang serampangan hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu namun membawa bencana bagi semua orang. Sayang regim yang silih berganti selalu saja mengedepankan janji perubahan dengan bersandar pada ekstraksi dan hutang.

Listrik, buat saya dulu datang dan terpasang seperti sebuah cerita. Sampai dengan saya tamat Sekolah Dasar, listrik masih jadi angan-angan. Listrik ada kalau saya pergi berlibur ke rumah Kakek dan Nenek yang dekat dengan stasiun kereta. Listrik 110 volt yang kalau kesetrum rasanya seperti kesemutan.

Dan jangan bayangkan kalau itu terang benderang. Umumnya lampu bolamnya hanya 5 sampai 15 watt dengan cahaya berwarna kemerahan. Yang terang adalah neon atau lampu tabung. Namun itu tak selalu dinyalakan. Listrik masih merupakan energi yang mewah saat itu sehingga mesti diirit-irit.

Saya lupa persisnya kapan listrik mulai tersambung ke rumah. Kalau tak salah setelah pemilu 1982, pemilu yang selalu dimenangkan oleh Golongan Karya.

Hati kami riang saat melihat truk-truk besar menurunkan tiang beton, kalau tidak salah ingat buatan Wika, Wijaya Karya. Dan lebih riang lagi ketika melihat pekerja mulai menggali lubang di pinggir jalan untuk mendirikan tiang. Tak lama kabel baja pun terpasang.

Dan hati bersorak ketika kemudian kabel tersambung dari tiang ke rumah-rumah. Rasanya malam jadi terang benderang dengan listrik yang punya tegangan 220 volt.

Listrik memang baru untuk penerangan karena jatah tiap rumah hanya 450 watt, karena itu istilah listrik identik dengan lampu listrik.

Dengan aliran listrik lampu tinggal di-cekrek dan nyala. Hilang satu kesibukan saya tiap sore untuk mengisi minyak tanah di lampu semprong dan membersihkan torongnya.

Saya juga tak harus memasang lampu ting atau lampu kapal untuk penerangan di pinggir jalan.

Senter juga mulai dipensiunkan.

Hanya saja senter dan lampu semprong masih tetap dipertahankan untuk berjaga-jaga kalau listrik mati. Jaman itu listrik memang sering mati, seperti makan obat sehari bisa tiga kali.

Kehadiran listrik juga menyenangkan untuk ibu-ibu dan juga para pembantu rumah tangga dalam hal menyetrika. Setrika berat yang dipanaskan dengan arang kemudian dipensiunkan. Setrika listik lebih ringan dan panasnya bisa diatur sehingga kejadian baju atau kain meleleh dan bolong mulai berkurang.

Perlahan-lahan semua menjadi serba listrik. Air sumur yang dulu ditimba dengan ember memakai kerekan kemudian disedot dengan pompa listrik. Catu daya untuk televisi, radio, tape recorder dan lain-lain kemudian juga memakai listrik.

Tempat pengisian aki kemudian mulai berkurang, pemandangan orang menjemur batu baterei juga perlahan menghilang.

Peralatan yang berbasis listrik makin banyak. Makanan atau minuman yang dulu harus dikocok-kocok atau diaduk-aduk dengan tangan kemudian digantikan dengan peralatan listrik. Mulai ada warung es di rumahan, jualan Es Juice. Sebelumnya penjual es umumnya berkeliling dengan gerobak atau sepeda.

Pendek kata listrik merevolusi kehidupan. Siang dan malam yang tadinya terasa lambat kemudian mulai terasa lebih dinamis. Sepi dan gelap berubah menjadi ramai dan terang.

Maka tak perlu heran jika kemudian Suharto dianggap sebagai Pahlawan Pembangunan karena dalam masa pemerintahannya banyak terjadi perubahan. Salah satu yang paling berkesan untuk masyarakat adalah listrik.

BACA JUGA : Menang Sepang

Keberhasilan Suharto merubah kondisi buruk sosial dan ekonomi masyarakat di masa orde lama secara cepat kemudian memunculkan ucapan-ucapan terimakasih. Salah satunya dalam bentuk lagu, seperti yang dinyanyikan oleh Titiek Puspa yang berjudul Suharto Bapak Kami. Dan kemudian ada juga lagu yang diciptakan oleh Onny Suryono dengan judul Bapak Pembangunan.

Booming minyak sempat membuat pundi-pundi negara menjadi tebal. Suharto dengan konsep Repelita-nya mulai meningkatkan kwalitas hidup masyarakat lewat pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, transportasi dan pertanian.

Di setiap desa dibangun sekolah dasar, SD Inpres sehingga banyak desa mempunyai SD bukan hanya satu tetapi dua atau bahkan 3 lebih jika sebelumnya juga ada SD Swasta. Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas juga berdiri dimana-mana.

Bangunan atau infrastruktur yang disebut dengan Inpres bukan hanya sekolah melainkan juga pasar dan terminal.

Hanya saja musim tak selamanya bersemi. Pujian yang awalnya tulus untuk Suharto kemudian berubah menjadi pengkultusan. Puja-puji untuk Suharto sebagian besar kemudian bernuansa menjilat untuk menyenangkannya. Muncul istilah ABS atau Asal Bapak Senang.

Pembangunanpun semakin digencarkan dan ketika tak cukup uang, Suharto mulai berhutang entah kepada Bank Dunia atau IMF.

Pembangunan besar-besaran pun kemudian dibiayai dengan hutang. Dan rakyat mulai berhadapan dengan pemerintah karena pembangunan infrastruktur besar sering kali mengambil tanah rakyat bahkan mengusir rakyat dari tanahnya sendiri.

Salah satu kasus yang terbesar adalah pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menenggelamkan beberapa desa di beberapa kecamatan. Warganya harus berpindah, melakukan bedol deso dengan direlokasi ke lokasi transmigrasi di luar pulau.

Pembangunan adalah panglima terlebih lagi pembangunan pangan karena cita-cita Suharto untuk mencapai swasembada pangan.

Maka yang menolak atau menghalang-halangi pembangunan akan dianggap sebagai musuh negara, dituduh makar dan bisa di-komunis-kan.

Waktu itu tuduhan sebagai komunis adalah tuduhan yang mematikan.

Sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya alam, pemerintah orde baru memang menyandarkan pendapatan dari sektor ekstraksi terutama minyak bumi. Minyak yang disedot dan dijual sebanyak mungkin untuk membiayai pembangunan akhirnya habis. Indonesia bahkan mesti keluar dari OPEC atau organisasi pengekspor minyak karena berubah menjadi negara pengimpor minyak akibat produksi minyak tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pemerintah mesti mengekstraksi sumberdaya lainnya, salah satu yang kemudian marak adalah hutan. Pemerintah kemudian menerbitkan hak pengusahaan hutan yang dimulai dari penebangan besar-besaran untuk dijual sebagai kayu gelondongan.

Namun kemudian dilakukan pembatasan dengan hanya boleh menjual kayu olahan. Hutan alami tetap ditebang kayunya sebagai bahan kayu lapis. Era ini memunculkan pengusaha-pengusaha besar atau konglomerat. Kaum kaya raya yang bukan hanya punya kekuatan uang melainkan juga politik.

Salah satu yang jaya raya karena pemberian ijin oleh orde baru adalah Bob Hasan dan kawan-kawan.

Yang kaya raya bukan hanya pengusaha nasional. Di tingkat lokal atau regional juga memunculkan raja-raja kayu tersendiri. Sebagian jejak kekayaannya masih terlihat sampai sekarang.

Ekstraksi kayupun surut, hutan porak poranda. Berbagai upaya untuk memulihkan hutan lewat aneka skema sebagian besar tidak berhasil. Penebangan besar-besaran yang kemudian hanya menebalkan kantong kelompok tertentu meninggalkan jejak bencana ekologi yang makin hari makin parah.

Dan yang paling parah hingga hari ini Indonesia tak mampu menjaga atau memulihkan hutan dengan sumberdaya sendiri. Hampir semua proyek-proyek kehutanan yang besar dibiayai oleh luar negeri entah dalam bentuk sumbangan maupun hutang.

BACA JUGA : Orang Boentoet

Di jaman sekolah dari sekolah dasar hingga menengah atas yang semuanya saya lalui pada masa orde baru pada beberapa pelajaran selalu ada selipan pesan. Yang pertama jelas untuk membenci PKI, komunisme. Sistem komunis selalu digambarkan dengan mantra “Tujuan menghalalkan cara”.

Sukarno meninggalkan banyak monumen. Bangunan-bangunan yang ikonik. Dan orde baru punya mantra untuk mendegradasinya yakni “Proyek Mercusuar”.

Kelak saya tahu stigma terhadap PKI dan Sukarno tidak seluruhnya benar. Dan orde baru yang seolah membenci hal itu ternyata jatuh juga dalam perilaku yang sama. Dalam banyak proyek pembangunan dengan ucapan demi nusa bangsa, demi kemajuan dan lainnya rakyat juga banyak digilas, dirampas  haknya, penghidupan serta asetnya.

Dan Suharto juga banyak membangun proyek-proyek mercusuar. Bangunan atau infrastruktur besar, megah, tinggi, luas demi mendapat predikat sebagai yang terbesar, yang tertinggi, yang terluas dan seterusnya.

Dan regim yang telah beberapa kali berganti ternyata belum mampu lepas dari semua itu. Pondasi pembangunan masih bertumpu pada ekstraksi. Semua diekstrak demi memberi pendapatan yang tinggi namun jika belum cukup mata hutang akan menjadi jalan keluar. Akhirnya nasib negeri sama dengan kebanyakan rakyatnya, terjerat utang. Negara terjerat utang luar negeri, rakyat terjerat utang pinjol.

Jaman terus berubah, sistem pemerintahan berganti namun sikap dan persepsi rakyat masih sama selalu terpesona pada pemimpin yang giat membangun infrastruktur dan membanggakannya sebagai sebuah kemajuan.

Jokowi yang mulanya dikenal dengan gagasan revolusi mental ternyata lebih populer sebagai pembangun jalan tol, mulai tol darat, tol laut hingga tol udara. Dan diakhir masa jabatannya, dia malah lebih ingin dikenang sebagai pemindah Ibu Kota Negara, rencana yang dicita-citakan sejak jaman Sukarno.

Kita lupa bahwa infrastruktur tidak bisa dinilai sebagai keberhasilan begitu selesai dibangun. Infrastruktur baru bernilai jika mendatangkan kemanfaatan. Untuk apa jalan tol dibangun jika sepi, untuk apa bandara dibangun jika tak ada pesawat yang menyinggahi, untuk apa kereta cepat dioperasikan jika kemudian hanya menjadi transportasi piknik seperti anak-anak bermain odong-odong.

Pembangunan mesti dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau mengantisipasi perkembangan. Jika pembangunan ditujukan untuk ‘monumen’ niscaya akan ada banyak bangunan atau instalasi lain yang minim fungsi dan guna dan lama kelamaan tak terpelihara hingga menjadi infrastruktur yang mangkrak.

Dan monumen seperti itu banyak, namun tetap saja duulang oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.

Kita sering bilang bahwa keledai bodoh karena sering jatuh dalam lubang yang sama. Padahal mungkin kita yang lebih bodoh lagi karena menjatuhkan diri dalam kubangan yang sama.

note : sumber gambar – TEMPO