KESAH.IDHarapan akan negara dan bangsa yang sejahtera, adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 terus dipelihara termasuk lewat berbagai ramalan para pujangga di jaman Pra Indonesia. Perubahan dari masa Kalabendu ke Kalasuba dinyatakan dan dicita-citakan oleh para pemimpin lewat Visi Indonesia Emas 1945. Di masa 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia itu diharapkan Indonesia akan mengalami kejayaan, menjadi negara maju, negara kaya dan negara terkemuka di dunia.

Apa yang membuat manusia sebagai spesies tidak mudah punah?. Jawabannya banyak, tergantung dari sudut mana mau dimaknai.

Namun, salah satu yang membuat bangsa manusia bertahan dan kemudian terus berkembang adalah harapan. Manusia adalah binatang yang mempunyai harapan.

Harapan inilah yang memberikan sumbangsih besar bagi peradaban dan kebudayaan manusia.

Kenapa manusia mempunyai harapan?. Dibanding dengan saudara-saudara sesama binatang, manusia adalah mahkluk yang sadar waktu. Kemarin dan hari ini akan disimpan menjadi memori yang akan diproyeksikan untuk hari esok.

Jika kemarin dan hari ini dipenuhi dengan penderitaan, manusia tidak akan tenggelam dalam nestapa yang dalam karena dari dalam dirinya bisa muncul pengharapan bahwa esok akan lebih baik.

Manifestasi hal ini bisa dalam bentuk personal maupun komunal.

Orang Jawa misalnya secara komunal mempunyai harapan tentang Ratu Adil. Konsep ini muncul dalam ramalan atau jangka Jayabaya.

Jayabaya men’jangka’ atau memprediksi masa depan Jawa, yang kemudian dalam masa berikutnya ditafsirkan sebagai Nusantara atau Indonesia saat ini.

Ramalannya adalah refleksi dari perubahan-perubahan yang terjadi di masa kerajaan sebelumnya mulai dari Kediri, Pajang, Majapahit, Pajajaran, Demak hingga Mataram Islam. Dari perjalanan kerajaan-kerajaan itu dia meramalkan setelah masa Mataram akan ada jaman susah, kacau, menderita yakni Jaman Kalabendu.

Jaman ini menurut ramalannya akan datang bangsa dari luar yang datang untuk menguasai dan membuat masyarakat menderita. Bukan hanya kehilangan harta dan kekayaan tapi juga jiwa.

Namun keadaaan itu tidak lama dan segera akan berganti dengan jaman keemasan, kejayaan atau keagungan yang disebut Kalasuba.

Kedatangan jaman keemasan ini sebelumnya akan ditandai oleh datangnya malapetaka besar, bencana maha dahsyat dan kondisi masyarakat yang secara moral kacau balau.

Di masa ini akan muncul seorang pemimpin yang disebut Notonegoro, yang artinya seseorang yang menata negara dengan benar dan kerja keras dengan didampingi oleh seorang wanita.

Berdasarkan jangka Jayabaya itu, Pangeran Diponegoro pernah dianggap sebagai sosok ratu adil. Kemunculan Diponegoro memang cocok dengan keadaan yang digambarkan dalam ramalam Jayabaya. Jawa waktu itu baru mengalami bencana hebat akibat letusan Gunung Merapi yang teramat dahsyat. Selain itu juga dilanda wabah kolera.

Sementara dari sisi moral, keraton Yogyakarta dianggap rusak. Ada yang menganggap kraton sebagai rumah bordil.

Dari sisi ekonomi masyarakat juga menderita karena tanah, kebun, atau sawah mereka dirampas oleh kolonial untuk dijadikan perkebunan milik para investor yang mendapat ijin dari pemerintahan Hindia Belanda.

Diponegoro yang melawan keraton, melawan kolonial Hindia Belanda kemudian oleh masyarakat kebanyakan dianggap sebagai Ratu Adil.

Perlawanan Diponegoro memang sempat membuat kolonial Hindia Belanda kerepotan dan hampir bangkrut. Namun kemudian jaman keemasan yang dibayangkan oleh masyarakat tidak tiba, Diponegoro ditundukkan oleh kolonial Hindia Belanda dengan cara yang licik.

BACA JUGA : Naluri Rasialis

Diponegoro kemudian diasingkan oleh Kolonial Belanda keluar Jawa, Ke Sulawesi yakni Manado lalu Makassar dan wafat di Benteng Rotterdam.

Konon kegigihan perlawanan Diponegoro dan pasukannya pada tentara Belanda pernah membuat Kolonial Belanda hendak menjadikan Purworejo sebagai Ibu Kota yang akan dipindahkan dari Maluku. Namun ketika perlawanan Diponegoro berhasil dihentikan, Ibu Kota Kolonial Belanda akhirnya dipindah dari Maluku ke Batavia.

Usainya perlawanan Diponegoro juga membuat bayangan masyarakat tentang Ratu Adil berakhir.

Namun harapan tentang Ratu Adil sebagaimana diwasiatkan oleh Jayabaya belum berakhir.

Ramalan yang dibuat oleh Jayabaya dalam konteks masyarakat Jawa kemudian terpelihara dan diwariskan ketika masyarakat Nusantara yang awalnya terdiri dari kerajaan-kerajaan kemudian memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Duet Sukarno – Hatta sebagai proklamator kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.

Sukarno kemudian dianggap sebagai manifestasi Ratu Adil. Syarat kemunculan Ratu Adil dipenuhi karena sebelum kemerdekaan, masyarakat hidup dalam penindasan, terlebih ketika dijajah oleh Jepang. Tentara Jepang dikenal kejam.

Di jaman Jepang masyarakat kurang pangan karena hasil panen diambil oleh Jepang untuk keperluan perang. Jepang juga menerapkan kerja paksa atau romusha. Perempuan-perempuan juga dijadikan budak pemuas nafsu tentara atau jugun ianfu.

Karena miskin, masyarakat di jaman Jepang tidak mampu mengkonsumsi beras. Singkong kemudian menjadi bahan makanan pokok dengan cara diolah menjadi gaplek, lalu dimasak menjadi nasi tiwul.

Selain kesulitan pangan, masyarakat juga kesulitan sandang. Masyarakat kemudian memakai pakaian berbahan goni. Padahal kain goni sering menjadi tempat bersarang kutu, sehingga tubuh menjadi gatal-gatal.

Kisah pemuda-pemudi yang gagah berani melakukan gerilya berbekal bambu runcing dan Sukarno – Hatta yang kemudian berani memproklamirkan kemerdekaan sehingga lahir negara baru membawa harapan besar bagi masyarakat. Mereka menganggap Sang Notonegoro telah hadir untuk memimpin Indonesia menuju masyarakat yang adil sejahtera.

Sukarno memang memenuhi syarat untuk disebut sebagai Ratu Adil karena penampilannya yang mempesona terutama lewat pidato-pidatonya yang mampu menggerakkan. Sukarno adalah orator yang ulung.

Namun situasi politik setelah kemerdekaan ternyata tidak stabil yang berakibat pada pembangunan ekonomi nan lesu. Masyarakat bangga dengan negara dan bangsa yang baru namun kehidupan tidak berubah jauh lebih baik.

Tafsir terhadap ramalan Jayabaya berubah. Ratu Adil akan hadir nanti setelah Indonesia melewati lima masa kepemimpinan. Sukarno dianggap sebagai permulaan dengan menghubungkan Sukarno dengan No.

Muncul istilah ‘Satrio Pininggit’ yakni putra mahkota yang masih tersembunyi. Jika Satrio Pininggit muncul maka dia akan menjadi ratu adil.

BACA JUGA : Tolak Uang

Kebetulan suku kata akhir dari nama Suharto sesuai dengan yakni to sesuai dengan suku kata kedua dari Notonegoro. Pas yang pertama Sukar-no kemudian diteruskan oleh Suhar-to.

Begitu Suharto memimpin, Indonesia dengan cepat berubah terutama karena kekayaan yang diperoleh dari minyak bumi. Indonesia menjadi kaya raya dan Suharto kemudian giat membangun dimana-mana.

Tapi Suharto tak mau dikultuskan, tak mau disebut Satrio Pininggit yang muncul sebagai Ratu Adil walau dirinya suka kejawen. Suharto ingin dipandang sebagai manusia modern, sehingga dia menerima ketika disebut sebagai Bapak Pembangunan.

Namun jaman keemasan tak bertahan lama. Minyak yang jadi andalan kemudian habis, tak cukup lagi untuk mengisi pundi-pundi negara. Indonesia dari kaya uang kemudian berubah menjadi kaya hutang.

Suharto terlalu lama memimpin dan masih dibujuk-bujuk oleh kroninya untuk terus memimpin. Padahal salah satu yang diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah untuk mendelegitimasi Sukarno adalah keinginan Sukarno untuk menjadi pemimpin seumur hidup. Keinginan ini kemudian diajarkan sebagai salah satu hal buruk dari Sukarno.

Dan Suharto ternyata ingin melakukan apa yang diajarkan sebagai tidak boleh dilakukan.

Akhirnya Suharto dilengserkan. Satrio Pininggit yang mestinya lengser keprabon justru mundur dengan menahan malu. Dipaksa mundur oleh orang-orang terdekatnya, mereka yang dulu memuji-muji dirinya.

Suharto dulu ingin mundur sebagai Satrio Pinandito, seorang Satria yang gagah berani namun kemudian menjadi orang yang bijaksana. Tapi terlambat, dia dilengserkan dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai Satrio Wirang.

Dan presiden-presiden berikutnya tak ada yang cocok dengan urutan Notonegoro. Setelah Suharto, nama akhir presiden tak ada yang pas dengan ne-go dan ro. Karena Suharto kemudian digantikan Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati.

Yang memaksa untuk tetap gotak-gatuk dengan ramalan Jayabaya mungkin berkilah, ketika presiden setelah Suharto itu adalah presiden transisi jadi tidak dihitung.

Walau begitu tetap saja tidak cocok karena 3 presiden setelah Megawati adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo dan Prabowo.

Kalau dipaksa-paksa mungkin cocok saja, yang kelima akan cocok karena Prabowo waktu jaman kampanye sering disebut Praroro. Jadi cocok dengan ro, sebagai akhir dari Notonegoro.

Masalah Notonegoro digambarkan sebagai pemimpin yang bijak dengan didampingi seorang perempuan atau istri. Sedangkan Praroro eh Prabowo tidak.

Mungkin ramalan Joyoboyo soal Notonegoro harus dilupakan. Tapi kerinduan pada jaman keemasan atau kejayaan Indonesia masih bisa terpelihara. Jaman yang disebut Kalasuba bisa jadi dibayangkan dalam apa yang sekarang didengungkan sebagai Indonesia Emas di tahun 2045 saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan.

Jaman itu masih 20 tahunan lagi masih cukup lama. Artinya kita masih akan terus melewati masa Kalabendu atau jaman edan. Dan belum tentu jaman edan itu akan diakhiri dengan Jaman Keemasan.  Terlebih tanda-tanda kita akan mempunyai pemimpin yang Notonegoro belum kelihatan.

note : sumber gambar – NUSANTARANEWS