KESAH.IDBeberapa tahun lalu seorang kawan menulis lagu yang isinya menganjurkan untuk ‘ambil uangnya, jangan coblos orangnya’, lagu ini merupakan moderasi permenungannya yang teramat sulit untuk menganjurkan orang menolak uang. Uang memang sulit ditolak karena merupakan hal yang paling dipercaya oleh manusia diseluruh dunia. Maka memilih untuk menerima uang daripada memakan janji menjadi pilihan yang paling masuk akal dalam sebuah pesta demokrasi. Memasang spanduk atau poster bertuliskan ‘Kami Tolak Politik Uang’ mungkin menjadi sebuah keanehan bagi Demokrasi Indonesia.

Selasa dan Jumat sore, saya dan beberapa teman berusaha untuk rutin olahraga jalan kaki. Konon sebutan populernya on on. Tapi kami lebih sering menyebutnya sebagai susur gang karena jalur yang dipilih adalah kawasan permukiman yang tidak dilewati jalan besar.

Walau begitu pada ruas-ruas tertentu kami harus melewati jalan besar, jalan utama atau jalan protokol.

Beberapa tahun terakhir ini di depan instansi, rumah dinas dan tempat strategis lainnya dipasang videotron. Yang memasang bukan biro iklan untuk diisi materi iklan dari perusahaan atau badan perniagaan. Sepertinya videotron model ini tak populer lagi.

Videotron sekarang ini kalaupun berisi iklan jenisnya iklan layanan masyarakat. Himbauan dari instasi, badan pemerintah atau lembaga pemerintah lainnya terhadap masyarakat. Isi lainnya adalah dokumentasi dari kegiatan yang dilakukan oleh pejabat atau instansi, mungkin dimaksudkan sebagai bagian dari transparasi agar masyarakat tahu apa yang dikerjakan oleh mereka.

Hari Jum’at lalu setelah naik turun bukit di Argamulya, lalu menyusuri sejengkal tepian Sungai Karang Mumus yang belum lama dibongkar, kami melewati salah satu taman yang pembangunannya menggusur salah satu tempat paling bersejarah untuk Kalimantan Timur. Yang digusur adalah sekolah pertama dan sebuah lapangan.

Di salah satu sisinya berdiri megah Rumah Dinas Wakil Gubernur yang kosong karena tak ada jabatan PJ Wakil Gubernur. Di pojoknya ada Videtron besar, pasti tak banyak yang menyadarinya.

Saat kami melewatinya, Videotron itu tengah menayangkan iklan layanan masyarakat. Talentnya anak-anak muda, sepertinya pemilih pemula. Dari teks yang disertakan, isi iklan layanannya adalah mengajak pemilih untuk menggunakan hak suara secara tepat dan benar. Pesannya adalah memilih jangan karena uang. Atau aktif menolak politik uang.

Saya yakin iklan layanan itu pasti mempunyai suara, tapi videotron itu sepertinya tak dilengkapi dengan audio sehingga suaranya tidak terdengar. Dan untuk menangkap pesannya mesti menatap baik-baik teks yang disertakan, itu agak mustahil karena posisi Videotron di belokan. Saya bisa membaca karena jalan kaki, entah mereka yang berkendara apakah masih bisa membacanya atau tidak.

Sabtu pagi, seperti biasa setelah bangun dan menyelesaikan urusan di belakang saya membuka satu situs untuk membaca tulisan di dalamnya. Itu kebiasaan rutin saya menunaikan tugas dari diri sendiri untuk membaca satu tulisan bagus setiap harinya.

Saya berusaha membaca untuk belajar menulis sebagaimana yang diajarkan oleh seorang mentor yang kelasnya tak pernah saya ikuti. Dia menasehatkan agar membaca tulisan sebagai seorang penulis, artinya bukan hanya mengagumi isinya tapi mempelajari bagaimana penulis membuat tulisan yang bagus dalam tulisannya. Bagaimana dia memulai tulisan, memilih kata-kata, menyusun kalimat, membuat alur, menyisipkan kalimat langsung, membuat metafor dan lain-lain.

Saat saya membuka dan mulai membaca sebuah tulisan ternyata di halamannya disertakan iklan layanan audio. Otomatis iklannya terputar dan lagi-lagi berisi tentang himbauan untuk menolak politik uang.

Karena bukan di Videotron pesannya menjadi sangat jelas, apalagi saya dengarkan sambil duduk dan fokus pada layar.

Intinya pesan itu mengajak untuk menghargai suara kita bukan dengan cara menggadaikan dengan uang yang tak seberapa.

Pesan itu mengingatkan kalau uang yang sebut saja 500 ribu itu tak sebanding dengan nilai suara kita. 500 ribu untuk lima tahun, artinya seratus ribu untuk tiap tahun. Jika seratus ribu dibagi dengan 365 hari dalam setahun maka nilai suara kita hanya senilai 273,9 rupiah saja. Nilai itu tak cukup untuk membeli satu buah kerupuk Bandung. Atau kalau untuk membeli ayam goreng krispi, maka hanya akan dapat secuil kulitnya.

Bagus sekali pesannya, amat detail. Tapi siapa yang akan mendengar dan mempraktekkannya, berani menolak uang.

BACA JUGA : End Gane

Pikiran sayapun melayang ke jaman saat saya sering ikut rame melakukan pendidikan politik. Rasanya kalau tak salah sejak pemilu pertama setelah reformasi. Waktu itu salah satu pokok yang didesakkan untuk para pemilih adalah melakukan kontrak politik dengan para calon, tujuannya agar ada ikatan moral dan etik jika nantinya calon terpilih. Janji politik bisa ditagih.

Saya dan teman-teman kemudian melakukan pendampingan aktif pada kelompok masyarakat tertentu. Di perdesaan kepada kelompok tani dan nelayan, di perkotaan kepada kelompok buruh dan pedagang kaki lima.

Kami dorong kelompok-kelompok ini untuk secara aktif berhubungan dengan para calon. Suara atau dukungan akan ditransaksikan dengan janji para calon yang dituangkan lewat dokumen kontrak politik. Janji yang paling tertinggi adalah calon jika terpilih nanti berani mundur jika tak memenuhi kontrak politik.

Ketika beberapa kelompok berhasil melakukan kontrak politik, kamipun senang. Rasanya politik ke depan akan semakin baik.

Namun optimisme itu pudar ketika seorang teman mempertanyakan bagaimana mekanisme menagih janji atau kontrak politik itu. Karena kontrak politik tidak ada dalam undang-undang dan peraturan pemilu. Yang harus ditaati oleh mereka yang terpilih melalui pemilu adalah undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya.

Jadi selembar kertas yang ditandatangani dan diberi materai itu tak bisa dipakai untuk menuntut mereka yang terpilih mundur dari jabatannya. Karena rakyat atau masyarakat sebenarnya tak punya kekuatan memundurkan atau memecat pejabat.

Betul juga, guman saya dalam hati namun gengsi untuk segera mengakui.

Kontrak politik dengan mereka yang akan maju dalam pemilu sesungguhnya hanya komitmen moral. Dan melanggar komitmen moral tidak sama dengan melanggar hukum. Jadi meski ingkar janji seseorang tetap saja akan nyaman menduduki jabatannya tanpa rasa bersalah pada mereka yang diberi janji. Malupun tidak.

Janji politik memang lebih sering ditujukan untuk menyenangkan pemilih agar memberikan suara. Yang diperlukan oleh para calon memang hanya suara untuk menghantarnya menduduki kursi tertentu. Setelah duduk, suara itu tak penting lagi. Kalaupun nanti suara itu membuat gejolak, dengan kedudukannya seseorang telah punya ‘senjata’ untuk menghadapinya. Salah satunya dengan bantuan.

Memang ada cara untuk menghukum mereka yang ingkar janji yakni dengan tidak memilihnya saat mencalonkan diri kembali. Tapi itu mensyaratkan pemilih yang terkonsolidasi. Persoalannya siapa yang akan mengkonsolidasi pemilih?.

BACA JUGA : Naluri Rasialis

Beberapa pemilu yang lalu masih banyak lembaga donor internasional maupun nasional yang mendukung pendidikan politik untuk pemilih, namun semakin kesini hal semacam itu semakin berkurang. Mungkin Indonesia sudah dianggap demokratis dan masyarakatnya melek politik.

Benar bahwa masyarakat Indonesia melek politik, politik dalam artian apapun. Perbincangan tentang politik ada di mana-mana, menjadi sebuah perbincangan keseharian.

Yang namanya politik selalu menarik karena berhubungan dengan kepentingan.

Partisipasi politik juga makin tinggi. Lihat saja setiap menjelang pemilu banyak muncul kelompok non partai yang menjadi relawan bagi para calon. Setiap calon punya ratusan kelompok relawan.

Secara kuantitatif, demokrasi mungkin sudah tercapai.

Namun secara kualitatif memang masih dipertanyakan. Terutama semakin kesini kegiatan politik dalam kerangka demokrasi semakin berpondasi uang.

Sejak semula politik memang dekat dengan uang. Namun bau-bau uang makin membusuk setelah pemilu 2004. Mulai banyak yang bersuara tentang politik transaksional, suara yang terbeli atau dibeli.

Yang sangat idealis akan bilang “Tolak politik uang,”, sementara yang realistis menganjurkan “Terima uangnya, jangan pilih orangnya,”. Sedangkan yang pragmatis akan memilih siapa yang paling besar memberi uang.

Makin kesini kuasa uang makin membesar. Bukan hanya kaum idealis yang pusing, para calon sekalipun juga tak kalah pusingnya. Tak ada yang bisa maju hanya bermodal liur.

Dua pemilu lalu masih ada satu dua kawasan permukiman yang memasang spanduk atau poster yang secara ekplisit menolak politik uang atau melarang yang membagi-bagi uang untuk masuk.

Namun hal itu semakin menjadi barang langka. Yang berkembang di masyarakat setiap kali didatangi oleh tim yang melakukan sosialisasi atau kampanye door to door adalah pertanyaan “Ada uangnya atau tidak?,”

Infrastruktur untuk membagi uang juga semakin paten. Di tengah masyarakat mulai dikenal sosok-sosok tertentu sebagai operator calon-calon tertentu.

“Setor saja KTP sama XXX, nanti dapat uang,” begitu kata banyak orang.

Semakin merajalelanya uang untuk meraup suara, semakin sedikit orang yang sadar bahwa uang itu merusak demokrasi.

Karena sudah terbiasa dengan uang, maka mencoblos dan kemudian memperoleh uang dianggap sebagai sebuah kelaziman.

Cerita sehabis pemilu, bukan soal siapa yang menang tapi kisah-kisah tentang keluarga atau sekelompok orang yang bisa meraup puluhan juta karena menukar suara mereka dengan uang. Sehabis pemilu ada banyak keluarga bisa membeli nmax dan pcx secara kontan.

Uang memang lebih dipercaya dari pada janji politik, karena janji memang mudah diingkari selain oleh merpati.

note : sumber gambar – DETIK