KESAH.ID – Manusia sesungguhnya mahkluk individual, atribut sebagai mahkluk sosial muncul dari kontrak mulai dari kelompok yang terkecil atau gerombolan. Identitas gerombolan ini perlahan menguat menjadi suku, bangsa dan lainnya. Dan antara satu gerombolan dengan gerombolan lainnya selalu memandang sebagai ancaman. Dalam perkembangannya kesadaran akan kerjasama menjadi semakin menguat. Perlahan-lahan sikap bermusuhan pada gerombolan lainnya memudar, namun belum hilang sama sekali.
Di DIY sedang berlangsung pembangunan JJLS, Jalur Jalan Lintas Selatan. Pada saat pembangunan JJLS Planjan, Kapanewon Saptasari, Gunung Kidung ditemukan sebuah gua dengan stalagtit yang masih aktif.
Gunung Kidul memang mempunyai banyak gua karena karakter geografinya. Temuan gua itu membuat banyak orang tertarik untuk menyaksikannya. Namun kemudian pelaksana proyek menutupnya dengan berbagai alasan, salah satu alasannya adalah keamanan.
Ketika salah satu akun instagram mempostingnya, berita ini kemudian menjadi viral.
Yang viral selalu memancing komentar karena yang melihatnya merasa relate dengannya.
Seperti biasa dalam postingan yang viral selalu ada yang menunggang gelombang, bukan memposting komentar namun justru dagangan.
Yang lainnya memposting komentar berisi pro dan kontra.
Tapi disela hujan komentar selalu saja muncul komentar dengan nada syak wasangka yang terwariskan lewat DNA.
Sejak jaman purba manusia memang membawa mental gerombolan, vlog istilahnya.
Dalam sekumpulan sesama yang akrab mereka kemudian memandang yang lainnya sebagai musuh atau golongan.
Watak ini kemudian menumbuhkan sikap turunan sampai sekarang dalam bentuk sikap intoleran, rasialis, judgmental dan sikap, sifat serta persepsi buruk lainnya.
Di kolom komentar gua yang ditutup oleh pelaksana proyek JJLS itu muncul ucapan dukungan pada penutupan. Menurut pemberi komentar sebaiknya memang ditutup saja karena kalau tidak nanti akan diklaim oleh sekelompok orang dari agama tertentu, setelah itu akan ditambahkan patung dan kemudian jadi tempat ibadah.
Sontak saja komentar ini mendapat serangan. Muncul litani komentar “Dasar SDM rendah,”.
Komentarnya memang tak relevan atau kalau dalam teori logika disebut sebagai jumping conclusion.
Sebagai orang berlatar religi Katolik saya tahu kalau yang dibidik adalah kelompok orang Katolik. Dalam tradisi Katolik memang ada Gua Maria, tempat peziarahan untuk melakukan devosi terhadap Bunda Maria. Per Mariam Ad Iesum itu dasarnya, dari Maria menuju Yesus.
Di sekitar Jawa Tengah dan DIY memang banyak Gua Maria. Beberapa diantaranya sungguh populer seperti Gua Maria Sedangsono dan Gua Maria Sendang Sriningsih.
Tapi dari semua antara Gua Maria itu tak ada yang menempatkan patung Bunda Maria dalam gua alam. Yang disebut Gua Maria kebanyakan adalah gua buatan.
Menempatkan patung Bunda Maria dalam gua alam apalagi yang lubangnya masuk ke dalam membuat patungnya dibawah. Sementara dalam devosi Bunda Maria patungnya selalu lebih tinggi dan diatas dari mereka yang sedang berdoa atau berziarah.
Menjadikan gua alam sebagai Gua Maria jelas punya banyak kelemahan. Termasuk ruang yang tidak besar dan lebar.
Dan pada dasarnya Gua Maria justru lebih sering dibangun bukan ditempat yang bergua-gua melainkan di tempat-tempat yang mempunyai sumber air alami, entah itu mata air, sendang atau sungai.
BACA JUGA : Nomor Satu
Terhadap komentar-komentar acak semacam itu saya sudah berdamai. Gejolak untuk langsung menanggapi atau bahkan mungkin mengedukasi dengan ikut memberi komentar mudah saya redakan.
Saya tahu dididik dengan cara apapun, keacakan semacam itu sulit untuk dihilangkan karena sebagian merupakan bawaan lahir.
Sekarang ini sudah lebih lumayan, karena orang dengan mudah mengumbar semangat rasialis dan lainnya di media sosial. Kalau dulu malah lebih parah karena diekpresikan lewat act out. Saya mengalami jaman itu.
Suatu ketika saat saya pergi ke sekolah dengan naik sepeda begitu akan melewati jembatan kali Bogowonto dicegat oleh sekelompok tentara. Saya tidak boleh menyeberang memasuki kota tempat sekolah saya berada.
“Pulang ya, nda usah sekolah hari ini,” kata mereka.
Saya tak tahu kenapa.
Beberapa waktu kemudian saya mendapat kabar yang simpang siur. Tapi intinya adalah ada kerusuhan anti China. Rumah yang sekaligus toko di Pecinan dilempari batu, ada pula yang hendak dibakar.
Untung kota saya adalah kota kecil walau punya kawasan pecinan yang cukup besar. Untung karena di kota kecil ini ada tangsi tentara yang besar sehingga kerusuhan dengan cepat bisa dicegah.
Sebenarnya saya bisa saja masuk kota tanpa melewati jembatan Kali Bogowonto yang cukup panjang itu tapi harus memutar untuk sampai tempat penyeberangan. Waktu itu ada layanan penyeberangan dengan memakai gethek atau rakit bambu.
Namun cara itu tak terpikirkan oleh saya. Buat saya dicegat tentara dan tidak boleh masuk kota sungguh menyenangkan karena artinya saya tak perlu sekolah pada hari itu dan ada alasan jika ditanya bapak, ibu dan guru.
Besoknya jembatan tak ditutup lagi. Sayapun bisa melenggang memasuki kota untuk sekolah. Halaman gereja dekat sekolah saya penuh mobil tapi pintu gereja tertutup. Rupanya gereja menjadi tempat pengungsian mobil dari masyarakat yang toko atau rumahnya diserang oleh gerombolan orang.
Pulang sekolah saya dan beberapa teman berjalan keliling pecinan. Umumnya toko masih tutup, di beberapa toko ada bekas menghitam seperti ada yang berusaha membakar. Di dinding depan banyak yang menempel tulisan ‘Milik Pribumi’.
Dari tulisan itu saya tahu properti milik siapa yang disasar. Milik orang China.
Dulu memang sering terjadi gelombang rusuh anti China. Menular dari satu kota ke kota lainnya.
Penyebabnya seringkali sepele, misalnya mobil orang China menyerempet tukang becak sampai becaknya peyot dan tukang becaknya babak belur. Yang lihat tak terima dan beredar kabar dari mulut ke mulut, orang China nabrak becak sampai tukang becaknya mati.
Lalu toko-toko orang China diserang. Dan kemudian diikuti di tempat lainnya, rusuhnya menular.
Orang China memang masih dipandang sebagai pendatang walau kebudayaan yang mereka bawa sebagian besar telah diserap menjadi kebudayaan Indonesia. Seperti ada dendam lama yang diwariskan turun temurun oleh masyarakat pribumi tentang China.
BACA JUGA : End Game
Muasal dendam dan stigma buruk terhadap orang China bermula di jaman Kolonial Belanda. Kelompok orang China dijadikan mitra atau partner penjajah. Pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu enggan berhubungan langsung dengan masyarakat pribumi, orang China yang kemudian jadi perantara.
Sebagai pendatang, kelompok masyarakat China kemudian lebih baik ekonominya dari masyarakat pribumi. Bidang perniagaan ada di tangan mereka. Orang pribumi merasa jadi babu atau budak di negeri sendiri.
Kaum China karena kemajuan ekonominya menjadi tidak disukai. Tak bisa mengalahkan kemajuan ekonomi masyarakat China, kaum pribumi kemudian merendahkan dengan mengatakan “Orang China kaya karena pelit,”.
Selain itu orang China juga dianggap mendapatkan kekayaan dengan menghalalkan cara, seperti lewat pesugihan. Mereka dianggap memelihara Tuyul atau melakukan perjanjian dengan setan, jin dan toh halus lainnya.
Gunung Kawi sering dianggap sebagai ikon tempat pesugihan yang didatangi oleh keturunan China.
Padahal dibandingkan dengan orang keturunan China, orang pribumi yang mencari pesugihan jauh lebih banyak. Tempat yang diziarahi untuk mencari berkah, penglaris atau jenis pesugihan lainnya juga lebih banyak.
Tapi begitulah cara kerja stigma, bukan soal benar atau salah melainkan siapa yang paling cepat dan kuat menuduh.
Pemerintahan di masa lalu juga punya andil memelihara naluri rasis kaum bumiputera terhadap orang China. Beberapa kebijakan pemerintah terhadap masyarakat keturunan China bercorak diskriminatif.
Suatu ketika pemerintah meminta masyarakat China untuk mengganti nama, nama diri dan nama usaha dengan nama Indonesia. Sie An Mey akhirnya berganti nama menjadi Melani Ratnasari, Nyo Lian Hok berubah namanya menjadi Sunyoto Raharjo dan lain-lain.
Nama tokonya juga berubah. Toko emas banyak yang memakai nama binatang, seperti Toko Mas Merak, Toko Mas Kijang, Toko Mas Gajah dan lain-lain.
Sekitar tahun 1965, stigma terhadap masyarakat China juga bertambah akibat peristiwa G30S/PKI. Orang China kemudian sering dianggap sebagai komunis. Padahal yang komunis adalah negara asal nenek moyangnya.
Di balik kisah tentang reformasi juga mencatat banyak kisah buruk perlakuan terhadap masyarakat keturunan China. Ada banyak trauma dari kelompok masyarakat ini disana, beberapa akhirnya menyingkir keluar negeri, melupakan Indonesia.
Setelah geger reformasi penerimaan terhadap masyarakat keturunan China cenderung membaik. Walau masih ada riak disana-sini.
Bahkan kini muncul istilah Chindo atau China Indonesia. Walau jika ditelisik lebih dalam istilah ini bernada seksis.
Walau begitu ini bisa menjadi awal dari pengakuan bahwa mereka adalah bagian integral dari Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia telah menunjukkan keutamaan seperti itu, pengakuan terhadap pendatang tanpa menghilangkan identitasnya.
Di Minahasa dikenal istilah Jaton atau Jawa Tondano, mereka dianggap bagian integral dari masyarakat Minahasa. Demikian juga di Merauke ada Jamer atau Jawa Merauke, orang keturunan Jawa yang telah menjadi Merauke. Atau di Sumatera ada Pujakesuma, Putra Jawa Kelahiran Sumatera.
Naluri rasis atau rasialis akan hilang jika kita memberi pengakuan dan menerima kenyataan bahwa mereka adalah kita. Kita bisa sama-sama meng-Indonesia walau berasal dari ragam latar yang berbeda.
note : sumber gambar – VICE