KESAH.IDDeddy Corbuzier pernah berjanji untuk tidak membuat orang tolol terkenal di kanal youtube-nya. “Don’t make stupid people be famous,” ujarnya. Istilah itu kini diplesetkan menjadi “Don’t make stupid people be pejabat,” karena dalam berbagai publikasi debat kandidat menjelang pilkada serentak banyak calon yang random. Debat yang semestinya menjadi tempat gagasan dan diadu atau diuji ternyata justru menjadi tempat ajang ngecap. Berhambur janji-janji setinggi langit.

“Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang,”. Konon itu dikatakan oleh Sukarno untuk memompa semangat anak-anak muda revolusioner agar memacu diri untuk menjadi yang terbaik.  Be number one pokoknya.

Sukarno memang futurolog, dia yakin di masa depan persaingan antar negara akan sengit. Bangsa yang tak mampu membangun sumber daya manusianya akan tergilas.

Dan cita-cita anak-anak Indonesia sekurangnya di jaman saya masih sekolah memang tinggi-tinggi. Yang tertinggi adalah menjadi insan yang berguna dan mengabdi untuk bangsa, negara dan agama.

Itu cita-cita nomor satu anak-anak Indonesia waktu itu. Kalaupun cita-cita setinggi langit itu terpeleset maka akan tetap tinggi yakni berguna dan membanggakan orang tua serta keluarga.

Walau bercita-cita tinggi waktu itu jarang sekali ada anak-anak yang merasa nomor satu. Seba banak-anak selalu diajar untuk rendah hati.

Seingat saya sepanjang hidup di Indonesia yang paling berani mengklaim sebagai nomor satu adalah kecap. Sampai sekarang saya tak pernah menemukan ada produk kecap yang mengklaim diri sebagai Kecap No 2.

Satu-satunya klaim nomor 2 baru saya temui di Samarinda tapi bukan kecap melainkan teh, tepatnya es teh. Orang Samarinda pasti tahu es teh apa.

Tak ada yang protes pada semua kecap yang mengklaim sebagai Kecap No 1 itu. Walau sebenarnya masyarakat tak percaya, tak perduli. Ketidakpercayaan itu diungkapkan dengan berkembangnya istilah ngecap.

Ngecap artinya bohong, membual, omong besar, berlebihan atau hanya bagus kulitnya tapi tujuannya tidak benar adanya.

Dan urusan ngecap ini kerap dilakukan orang, sekelompok orang atau bahkan sebuah institusi dan organisasi saat menawarkan sesuatu. Dulu yang disebut sebagai Tukang Kecap adalah penjual obat di pinggir jalan yang obatnya bisa menyembuhkan semua penyakit.

Kini makin banyak terutama di media sosial, yang jualan apa saja juga gemar ngecap. Dengan mantera storytelling mereka ini sering mendapat gelar S3 marketing.

Lima tahun sekali, Indonesia juga dibanjiri oleh Tukang Kecap. Menjelang pemilu ada banyak calon yang kerjanya mirip tukang obat karena mengklaim visi-misi dan program unggulannya akan mengobati semua masalah dalam masyarakat yang dipimpinnya.

Saat kampanye berapi-api ingin mewujudkan masyarakat yang damai, saling menghormati, aman dan tenteram namun kemana-mana suka naik mobil anti peluru. Mobil buatan industri pertahanan.

Atau dengan penuh semangat berjanji untuk memelihara demokrasi, menyuburkan peran rakyat untuk melakukan pengawasan namun kemudian represif pada demonstran dan menyerang pengkritik dengan meminjam tangan buzzer. Maka jelaslah dia sedang ngecap.

Kecap memang top, selalu nomor satu sehingga tak punya sebutan lainnya. Tidak seperti minyak goreng walau menyebut dirinya yang terbaik tetap kalau sudah dipakai akan menjadi minyak bekas atau jelantah.

Untung orang Jawa kreatif, maksudnya kere aktif. Yang bekas tetap bisa dimanfaatkan, hasilnya adalah sambal yang nikmat. Ya, sambal kalau diberi minyak jelantah konon rasanya lebih nikmat.

Minyak jelantah terutama yang dipanaskan memang akan menambah rasa dan aroma dari sambal, selain itu minyak juga akan membuat campuran antar bahan dalam sambal menjadi nge-blend hingga sambalnya makin maknyuss.

Tapi ingat memakai minyak bekas sebagai tambahan di ulekan sambal tidak dianjurkan oleh para ahli kesehatan.

BACA JUGA : Kilas Balik 

Tidak semua yang bekas itu buruk, tetap juga ada yang baik. Seperti mokas atau mobil bekas. Dulu para penjual mobil kerap mengiklankan mobil bekas yang terbaik adalah mobil bekas milik dokter.

Penjual menyebutkan kalau membeli mobil ‘bekas dokter’ tidak akan mengecewakan. Logikanya berdasarkan tupoksi profesi dokter yang menyelamatkan kehidupan. Dokter amat manusiawi karena kemanusiaan yang menjadi ukuran pertama dalam profesinya.

Jadi dokter amat manusiawi dalam memperlakukan mobilnya. Mobil dokter lebih sering diparkir daripada digunakan. Kalaupun digunakan jarak tempuhnya tak jauh, hanya dari rumah ke tempat praktek atau dari rumah ke rumah sakit.

Maka mobil dokter umumnya masih mulus, seperti baru dan angka kilometernya masih rendah walau sudah dipakai beberapa tahun.

Maka dulu istilah ‘bekas dokter’ kerap dipakai oleh penjual atau makelar mobkas untuk ngecap. Kecapnya akan lebih berlebihan dengan tambahan ‘perempuan’, dengan logika perlakuan perempuan terhadap mobilnya lebih halus, tidak pernah digeber-geber atau dipakai kebut-kebutan.

Soal mobil bekas ini tak ada penjual atau makelar mobil yang mengiklan jualannya dengan label ‘bekas politisi’ atau ‘bekas juru kampanye’.

Mobil jenis pasti berantakan karena dipakai berlebihan, dipaksa untuk blusukan kesana kemari dan kurang terpelihara karena yang memakai lebih berpikir untuk mengumpulkan suara. Mobil ini terutama di musim kampanye pasti pegal linu.

Walau dibeli baru, umumnya mobil ini telah dipermak sekurangnya penampilannya untuk dipasangi berbagai material kampanye. Jika memasang dan mencopotnya tidak sempurna pasti meninggalkan cacat di bodinya.

Makin tinggi jabatan yang hendak diraihnya dan makin luas daerah pemilihannya, mobilnya juga makin berat kerja paksanya. Rapuhnya sendi-sendi mobil seiring dengan luas dan tingginya janji-janji yang diobral saat berkampanye.

Lalu apa sebutan untuk para politisi yang sudah purna tugas atau tidak terpilih lagi?. Sepertinya tidak ada. Padahal sehabis pemilu yang bekas ini jumlahnya banyak, terutama ‘bekas wakil rakyat’.

Mestinya mereka ini menjadi bekas yang favorit karena berguna untuk masyarakat. Setelah sekian lama duduk di kursi empuk lalu kembali ke masyarakat mereka menjadi lebih dari masyarakat lainnya.

Mereka tahu cara kerja parlemen, cara kerja pemerintahan, modus akal-akalannya dan seluk beluk lainnya. Dan ketika kembali menjadi masyarakat maka mereka bisa menjadi corong yang kencang untuk menyuarakan suara rakyat.

Nah dimana suara mereka ini sekarang, kenapa suara rakyat justru makin hari makin terbungkam padahal jumlah ‘bekas parlemen’ atau ‘bekas pemerintahan’ makin banyak.

Jangan-jangan yang bekas ini malah bersekutu dengan mereka yang sedang duduk. Yang bekas jadi makelar, termasuk makelar kasus.

BACA JUGA : Judi Gemoy

“No viral no justice” nampaknya pepatah ini yang sekarang populer dalam berbagai kasus atau permasalahan yang menimpa masyarakat Indonesia. Sesuatu kalau tidak diviralkan walau sebenarnya bikin miris hati tak akan mendapat perhatian dari yang berwenang.

Fakta ini menunjukkan sebuah kenyataan tentang kekuatan para netizen untuk menyuarakan perubahan. Ada pergeseran dalam konsumsi media, cara kita memakan informasi kini telah berubah. Sebab wartawan yang dulu sering disebut sebagai kuli tinta, kini tak lagi menulis memakai pena.

Wartawan dan netizen punya senjata yang sama yakni smartphone.

Dulu yang disebut sebagai media hebat adalah media nasional yang mampu menempatkan wartawannya diseluruh penjuru nusantara. Tapi kini kehebatannya pudar karena netizen bisa melaporkan kejadian dimanapun tanpa terlebih dahulu ditangkap oleh radar juru warta.

Peran media, pers yang merupakan payung para jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi kemudian goyah, persis sama dengan pilar-pilar demokrasi lainnya.

Yang mengoyahkan tentu independensinya.

Di masa revolusi media massa meletakkan independensinya karena media yang berkembang waktu itu adalah media perjuangan. Para awak medianya tidak memikirkan pendapatan sebagai yang pertama. Berita atau tulisan benar-benar muncul dari inisiatif mereka. Ini jaman dimana para jurnalisnya mempunyai idealisme.

Di masa setelah kemerdekaan, media-media dengan independensi yang kuat masih bisa ditemukan. Sebagian dibreidel oleh pemerintah orde baru. Media pada masa ini sudah menjadi industri karena mulai bertujuan untuk meraup pendapatan. Dan media bisa hidup dari iklan dan uang pembelian atau langganan dari konsumen.

Ketika internet berkembang, spektrum media berubah. Jumlahnya meledak karena untuk membuat media tidak susah, ijin pun kemudian tak diperlukan lagi setelah masa reformasi.

Kue iklan dan langganan makin terbagi. Hingga kemudian apa yang terbagi-bagi itu direbut oleh regim iklan baru yakni google adsense dan facebook ads.

Media massa yang umumnya menjadi media online mulai kembang kempis tak kebagian kue iklan, mengutip biaya langgana dari pembacanya juga sulit. Cara meraup pembaca justru dengan mengratiskan.

Untuk media dan jurnalis yang sekarang ini ingin bekerja serius menjadi sangat sulit, sulit secara finasial. Disinilah kerentanan muncul, opini, berita atau informasi dari media menjadi mudah untuk dibeli. Yang membayar yang akan diberitakan atau diwartakan.

Dulu yang disebut berita pesanan akan diberi tanda atau kode khusus. Sekarang yang disebut dengan pagar api itu telah hilang. Berita propaganda dari yang memberi bayaran disiarkan seolah sebagai berita yang muncul dari inisiatif redaksi sendiri.

Tugas pers, media dan jurnalis sebagai wacthdoc atau anjing penjaga, pemantau atau pengawas telah hilang. Bukan karena tidak mau tetapi karena tidak mampu sebab siapa tak ada atau hanya sedikit yang mau membiayai, menopang biaya operasi dan biaya hidup para awak media.

Maka media menjadi seperti kecap, yang Nomor 1 adalah yang paling berani ngecap dengan menerima bahan berita dan propaganda dari regim lalu mendapat bayaran yang disisipkan dari APBN atau APBD melalui instansi tertentu.

Ngecap-pun dibiayai oleh uang negara, uang rakyat.

note : sumber gambar – KOMPAS