KESAH.ID – Pemberian ijin usaha pertambangan pada Ormas Keagamaan patut dicurigai sebagai kejahatan kebijakan. Operasi pertambangan yang selama ini buruk dan menghasilkan dampak lingkungan, sosial dan budaya yang menimbulkan luka serta lara akan diwariskan pada Ormas Keagamaan sebagai episode penutup bisnis yang mulai redup akibat kebijakan transisi energi global.
Puluhan tahun lalu Kota Samarinda pernah ugal-ugalan dalam memberikan ijin tambang. Ada lebih dari 40 ijin tambang yang waktu itu bisa diberikan oleh walikota. Oleh Jaringan Advokasi Tambang, Kota Samarinda kemudian dijuluki sebagai Ibu Kota Tambang Dunia.
Konon hampir 70 persen wilayah Kota Samarinda menjadi konsesi wilayah pertambangan. Geliat tambang begitu terasa, hotel dan restoran ternama ramai dengan ‘meeting’ broker tambang dengan calon investor. Dimana-mana lalu lalang orang membawa map berisi kopian Ijin Usaha Tambang.
Sebuah kajian pemetaan aktor yang dilakukan oleh Indosian Corruption Wacth memunculkan istilah 3 A. Tiga serangkai yang punya daya dan kuasa begitu besar pada pertambangan di Kota Samarinda.
Sebenarnya bukan cuma 3 A, masih ada A lainnya yang juga terlibat erat. Bahkan A yang terakhir ini kini masih menjadi orang kuat di Samarinda.
Tak usah ditebak-tebak, banyak A di Samarinda termasuk A yang sering berkeliaran di jalan.
Salah satu dari 3 A pernah bersabda kalau batubara itu singkatan dari barang Tuhan bagi rata.
Dan dia konsisten dengan ucapannya dengan membagi-bagi hasil dari barang Tuhan itu.
Nampaknya pola bagi-bagi rata ini kemudian jadi konvensi dalam urusan batubara.
Pengeledahan jilid dua yang dilakukan oleh KPK beberapa waktu lalu di Kota Samarinda atas kasus yang didakwakan pada mantan bupati Kutai Kartanegara, membuktikan bagi-bagi rata atas barang Tuhan itu benar adanya.
Dalam setiap ton batubara ada sekian sen dollar untuk pemilik ijin atau pemilik lahan, pemodal ekploitasi, pemberi ijin, kepala teknik tambang dan lain-lain. Termasuk di dalamnya juga ada komponen untuk masyarakat setempat dalam bentuk uang debu, uang bising dan aneka bantuan lain yang dilabeli dengan istilah CSR.
Dengan semua uang itu operasi tambang berjalan lancar, walaupun truk pengangkutnya kerap melewati jalan umum. Masyarakat hanya bisa mengeluh dalam hati tak bisa protes atau memblokade operasi tambang karena sudah turut menikmati hasilnya dalam berbagai rupa fee, kompensasi atau bantuan.
Tak sampai sepuluh tahun semua badan air di Samarida baik yang alami maupun buatan mengalami pendangkalan. Sungai Karang Mumus mendangkal dengan cepat, pun sungai-sungai lainnya. Waduk Lempake juga demikian sehingga daya tampungnya hilang. Waduk atau bendungan kebanggaan warga Samarinda itu kini sudah habis umur.
Got, parit atau saluran air juga dangkal. Hingga kalau hari hujan airnya akan meluap ke jalan. Kalau jalannya lebih tinggi air akan meluap ke halaman rumah orang dan kemudian bertamu mengenangi isi rumah. Samarinda Kota Basah jadi Kota Banjir.
Dari atas udara wajah Samarinda jadi bopeng. Ada banyak cebakan atau genangan disana-sini karena tambang selalu meninggalkan void atau bekas galian yang dipenuhi air. Saking biasanya melihat void, warga Kota Samarinda kemudian menyebutnya sebagai danau.
Lubang itu dibiarkan begitu saja padahal menyimpan bahaya.
Dan sejak tahun 2012, berulang kali terdengar kabar tentang anak-anak, generasi masa depan Kota Samarinda kehilangan nyawa di lubang bekas tambang. Mereka menganggap lubang bekas tambang itu sebagai tempat piknik, area bermain.
Air yang nampak jernih, berkilau dan tenang memanggil anak-anak untuk bermain. Karena kurang waspada, anak-anak itu lupa pepatah kalau air tenang bisa menghanyutkan atau menenggelamkan.
BACA JUGA : Paguyuban Tambang
Di Kalimantan Timur, menjelang pemilu kepala daerah biasanya akan meledak jumlah ijin-ijin. Begitu situasinya sampai dengan kewenangan untuk memberikan ijin tertentu kemudian sebagian dikebiri oleh pemerintah nasional.
Kini ijin pertambangan, terutama migas, mineral dan batubara ada di dalam kewenangan pemerintah pusat.
Jadi yang sekarang bisa mengobral ijin adalah pemerintah nasional terutama presiden.
Jika presiden mengijinkan maka departemen atau badan yang terkait akan dengan cepat memprosesnya.
Dan Presiden Joko Widodo menjelang masa akhir pemerintahannya menawarkan pemberian ijin pertambangan batubara untuk ormas keagamaan. Entah apa tujuan dari tawaran itu. Namun yang pasti kesempatan atau peluang bagi ormas keagamaan untuk ikut menambang batubara kemudian disambut antusias oleh beberapa ormas.
Bahkan ada sebagian lain yang tidak disebutkan atau tidak ditawari kemudian ikut meminta. Kini daftar ormas yang meminta nampaknya lebih panjang daripada yang menolak.
Dalam pelajaran agama manapun memang tak baik untuk menolak tawaran baik, apalagi jika tawaran itu dapat dipergunakan untuk meningkatkan kebaikan.
Bisa jadi inspirasi untuk memberikan ijin tambang pada ormas muncul dari Kota Samarinda. Menjelang penentuan pemindahan IKN dari Jakarta ke Sepaku, Presiden Joko Widodo memang kerap ke Samarinda. Dan setelah ditetapkan dan kemudian IKN mulai dibangun, Presiden Joko Widodo lebih sering lagi mampir Kota Samarinda.
Di Samarinda, Presiden Joko Widodo kemudian tahu kalau arti batubara itu adalah barang Tuhan dibagi rata.
Selama ini batubara memang dikuasai investor, baik investor murni maupun yang menjadi kroni-kroni penguasa. Sebagian yang memperoleh cuan besar dari batubara kemudian memang agamis, tapi tidak hidup dalam jalan agama melainkan tetap menjadi pengusaha, termasuk pengusaha yang berkuasa.
Dampak dari penguasaan ini luar biasa, uang besar dari batubara kemudian tidak mendatangkan kemaslahatan untuk umat. Banyak umat justru menderita seperti sawahnya terendam banjir, ditimpa lumpur, jalanan rusak dan berdebu dan lain-lain. Tak sedikit pula umat yang kehilangan lahan produktifnya karena operasi pertambangan.
Pun ketika tambang melakukan kepedulian atau tanggungjawab sosial. Perhitungannya hanya lebih untuk memuluskan operasi pertambangannya agar tidak mendapat gangguan dari warga sekitar. Memberdayakan dan meningkatkan mutu masyarakat sekitar tambang berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari operasi tambang bukan tujuan dari perusahaan.
Mungkin ini yang dipikirkan oleh Presiden Joko Widodo. Jika ijin tambang diberikan kepada ormas agama maka social licence to operate-nya juga akan makin tinggi. Operasi tambang tidak lagi menjadi sumber konflik dengan masyarakat atau lingkungan.
Dan nature ormas agama adalah pengabdian untuk masyarakat lewat jalur keagamaan dalam arti yang seluas-luasnya. Ormas agama tidak akan memupuk untung, melainkan mencari cuan yang banyak agar bisa lebih bermanfaat untuk umat.
Mungkin begitu yang ada di benak Joko Widodo.
BACA JUGA : Emak Demo
Duapuluhan lalu saya pernah mendengar tentang sustainable mining, tambang berkelanjutan. Istilah yang menurut saya terlalu genit menghubungkan diri dengan sustainable development. Istilah ini jelas rancu atau kontradiktif karena yang ditambang jelas bukan materi yang bisa diperbaharui atau terbarukan.
Istilah sesat ini kemudian diperbaharui dengan terma impact to be property. Artinya area bekas tambang kemudian dimanfaatkan sebagai sarana. Misalnya yang populer di Kalimantan Timur, bekas lubang tambang disebut sebagai danau, lalu dijadikan kawasan wisata. Destinasi ‘Lake View’ makin massiv di Kalimantan Timur.
Cara lain untuk menerapkan konsep dampak menjadi sarana adalah menjadikan void atau lubang bekas tambang sebagai sumber air bersih. Salah satu yang coba serius menerapkannya adalah Kota Bontang, namun di beberapa wilayah Kutai Kartanegara sebenarnya sudah dipraktekkan.
Hanya saja penerapan konsep ini bukan oleh penambang atau perusahaan tambang. Melainkan oleh pihak lainnya yang tak berhubungan dengan perusahaan tambang. Penerapan konsep impact to be property justru berpotensi mengubur dosa masa lalu praktek pertambangan yang buruk.
Jika mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial dan budaya akibat pertambangan batubara di Kalimantan Timur, operasi pertambangan batubara telah menimbulkan luka dan lara yang dalam.
Luka dan lara itu sempat mereda ketika Presiden Joko Widodo memutuskan IKN pindah ke Sepaku, Kalimantan Timur. Dengan konsepsi nusa rimba atau banua rimba raya, cita-cita pembangunan Kalimantan Hijau bakal mendapat mitra yang kuat yakni Ibu Kota Negara Nusantara.
Namun apa lacur harapan itu sia-sia belaka, karena Kalimantan Timur justru menjadi salah satu daerah pertambangan yang akan dilestarikan dengan operasi tambang yang akan diserahkan pada ormas keagamaan.
Mungkin Presiden Joko Widodo meyakini bahwa konsep Green Mining bisa diwujudkan dengan memberikan ijin operasi tambang pada Ormas Keagaamaan yang kental dengan nilai etis, moral dan religius.
Perusahaan tambang yang didirikan oleh Ormas Keagamaan akan mewarisi sifat dan marwah agama sehingga bisa menambang ramah lingkungan, ramah sosial dan ramah keadilan.
Tapi jelas ini hanya merupakan angan palsu, mirip janji politisi yang selalu mengawang-awang di udara sehingga sulit untuk dibumikan.
Maka buat saya, walau Ormas Keagamaan antusias menanggapinya dan yakin bisa mewujudkan Green Mining, namun saya menganggap ini merupakan kejahatan kebijakan. Dibalik niat baik ini ada niat busuk yang mesti disadari oleh siapapun.
Niat busuk itu adalah semua kebusukan tambang kemudian diwariskan kepada Ormas Keagamaan yang menerima konsesi atau ijin tambang. Kerusakan karena tambang jelas tidak bisa dikoreksi. Maka mesti diterima oleh masyarakat dengan suka rela. Dan yang memungkinkan masyarakat menerima luka dan derita dengan sukarela apabila bernuansa agama.
Barang Tuhan dibagi rata, yang selama ini beroperasi dengan buruk akan ditutup dengan episode manis oleh perusahaan-perusahaan yang membawa panji Tuhan karena didirikan oleh Ormas Keagamaan. Yang haram kemudian menjadi halal, karena ditambang atas nama Tuhan sang pecipta dan pemilik alam.
note : sumber gambar – WANAWALA