KESAH.ID – Kritik terhadap dunia pendidikan selalu dianggap mempermalukan. Bahkan ketika itu dilakukan sendiri oleh mereka yang bergelut di dalamnya atau terkait dengannya. Nampaknya dunia pendidikan selalu dianggap sebagai dunia yang suci, penuh dengan pengabdian demi memajukan negeri. Padahal sektor yang diamanatkan oleh konstitusi ini tengah digerogoti oleh liberalisasi dan komersialisasi.

Berbekal kamera pinjaman dari seorang teman yang bekerja di sebuah institusi pendidikan tinggi, saya dan beberapa teman lain yang salah satunya kini terpilih menjadi wakil rakyat berkeliling mengikuti pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan berkontestasi waktu itu.

Niatannya adalah merekam semua janji politik mereka dalam kampanye. Rekaman itu nantinya akan dipakai untuk membuat sebuah dokumenter yang berjudul Tagih Janji untuk pasangan yang memenangkan pemilukada.

Waktu itu kami tengah meluncurkan sebuah gerakan yang dinamai Gergaji atau Gerakan Tagih Janji.

Berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, sering membuat kami diolok-olok oleh anak-anak dengan teriakan “TV Youtube”.

Ya, Youtube waktu itu mulai naik daun walau belum banyak konten kreator yang sangat terkenal dan menjadi konglomerasi seperti saat ini.

Yang memenangkan kontestasi waktu itu adalah pasangan Awang Faroek Ishak dan Mukmin Faisal. Untuk Awang Faroek kemenangan ini mengantarnya pada periode kedua sebagai Gubernur Kalimantan Tmur.

Seingat salah satu janji utamanya adalah mengatasi listrik yang byar pet. Awang Faroek berjanji mati listrik tak lagi seperti minum obat, terjadi tiga kali sehari.

Saya tak terlalu berharap pada pemenuhan janji soal ini sebab listrik tidak dalam kendali Gubernur, terkecuali Gubernur mau membangun pembangkit listrik sendiri. Baik buruknya listrik ada di tangan PLN dan Menteri ESDM serta Menteri BUMN.

Mode tombol rekam baru ditekan habis saat Awang Faroek Ishak mengungkapkan janjinya soal pendidikan dasar. Pemerintah nasional waktu itu mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun, namun Awang Faroek memastikan program pendidikan dasar Kaltim adalah 12 tahun.

Awang berjanji pendidikan tidak boleh memberatkan orang tua sehingga tidak ada anak-anak yang putus sekolah, gagal menamatkan pendidikan dasar 12 tahun hanya karena urusan biaya.

Pasangan Awang – Mukmin berjanji jika mereka terpilih pendidikan dasar akan digratiskan, pun demikian juga dengan buku-bukunya. Awang – Mukmin juga berjanji untuk meneruskan program beasiswa Kaltim Cemerlang.

Dan memang benar, anggaran pendidikan di APBD Kaltim waktu itu tinggi sampai-sampai Kepala Dinas Pendidikan ketakutan melihat besarnya angka yang tertera di anggaran kantornya. Kepala Dinas takut ada kesalahan kelola sehingga bisa berakhir di pemeriksaan KPK.

Perkara pendidikan Awang Faroek Ishak memang mendapat banyak pujian. Seingat saya kisruh perihal pendidikan di jaman Awang Faroek sebagai gubernur adalah soal SMA Plus Melati. Ada ribut-ribut antara Yayasan Melati dengan SMA Negeri 10 di Kampus A, Samarinda Seberang.

Awang Faroek Ishak juga pernah berseteru dengan para guru. Forum Solidaritas Pegawai Tidak Tetap Harian {FSPTTH} Samarinda menganggap Awang tidak menepati janji untuk mengangkat guru honorer sebagai pegawai negeri.

Guru-guru honorer kemudian melakukan demonstrasi untuk menagih janji politik Awang Faroek. Namun Awang berkilah bahwa wewenang untuk mengangkat guru honorer menjadi pegawai negeri tidak berada dalam tangannya.

Saat menghadapi guru yang berdemo, Awang sempat mengancam jika guru-guru terus melakukan demonstrasi maka dia akan mencabut kebijakan fasilitas pendidikan seperti insentif guru, beasiswa guru dan lainnya.

Sikap ini cukup mencoreng nama Awang Faroek Ishak yang dikenal peduli pada dunia pendidikan di Kaltim.

BACA JUGA : Marc Ducati

Puluhan emak-emak berdaster mengeruduk Kantor Gubernur Kaltim pada Rabu, 24 Juli 2024 untuk menyuarakan keberatan dan keprihatinan tentang komersialisasi serta liberalisasi pendidikan.

Emak-emak yang lancar berorasi ini keberatan dengan punggutan liar dari sekolah untuk keperluan membeli buku paket, padahal pemerintah telah mengalokasikan dana BOS.

Keluhan tentang uang buku memang sudah lama terdengar. Namun umumnya emak-emak enggan menyuarakan keberatannya. Mereka takut akan ada apa-apa terhadap anaknya di sekolah nanti.

Selain mengeluhkan transparasi penggelolaan dana BOS dan komersialisasi buku pelajaran, emak-emak juga menyampaikan adanya intimidasi dari pihak sekolah terhadap orang tua yang menyampaikan kritik atas kebijakan pembelian buku paket.

Tentang intimidasi ini, Rina Zaitun dari Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak {TRC PPA} menyebutkan pihaknya banyak menerima laporan tentang pungli dan intimidasi di sekolah.

Tak puas mengeruduk Kantor Gubernur, rombongan emak-emak berdaster juga melakukan unjuk rasa di depan Kantor Walikota Kota Samarinda. Aksi emak emak berdaster jilid dua ini dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2024.

Kali ini emak-emak bukan hanya membawa poster tuntutan dan berorasi, melainkan juga menggelar terpal di tangga pendopo Balai Kota Samarinda. Mereka mengancam akan menginap di Balai Kota jika apa yang menjadi tuntutan tidak mendapat tanggapan.

Selain menggelar terpal mereka juga menghampar buku-buku untuk memberikan contoh dan bukti tentang adanya pungli yang dilakukan di SD dan SMP Negeri di Kota Samarinda.

Dalam demo kali ini emak-emak juga menyampaikan kalau intimidasi dari pihak sekolah semakin kencang terhadap yang mengikuti demo. Anaknya diancam tidak naik kelas.

Pendidikan merupakan sektor prioritas dalam pembangunan nasional dan daerah. Undang-undang telah mengamanatkan alokasi anggaran yang besar untuk pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahanan.

Namun baik pemerintah maupun pelaku sektor pendidikan nampaknya tidak cukup punya kemampuan dan keterbukaan untuk menghadapi kritik dari stakeholder pendidikan, seperti orang tua, peserta belajar dan lainnya.

Dunia pendidikan yang mengajarkan cara berpikir terbuka dan kritis nampaknya tumpul ketika berhadapan dengan kritik atau keberatan. Ancaman selalu dipakai untuk menghadapi hal-hal semacam itu.

Pernyataan kemerdekaan dan lahirnya republik telah mengubur aristokrasi di Nusantara. Beberapa diantaranya merupakan kisah yang sungguh pilu. Hanya saja aristrokrasi baru tumbuh dalam payung demokrasi.

Di gedung-gedung pusat pemerintahan, termasuk yang mengurusi pendidikan muncul watak aristrokrasi baru. Para pemimpinnya demam kalau dikritik, apalagi jika kritik disampaikan secara terbuka lewat aksi unjuk rasa.

Merasa sudah sangat memperdulikan pendidikan, suara kritis terhadap dinamika pendidikan selalu dianggap sebagai kecaman. Atau bahkan dianggap sebagai laku yang mempermalukan mereka-mereka yang sedang bertahta di kursi tinggi.

BACA JUGA : Paguyuban Tambang

Berita yang terbit di Media Kaltim berjudul Viral Video Pencemaran Nama Baik, Aktivis Lilis Laporkan Polisi meski secara penulisan berita sungguh tak lengkap namun bisa menjadi satu contoh pukulan balik terhadap aksi unjuk rasa emak-emak berdaster.

Lilis yang adalah aktivis peduli perempuan dan anak yang mengikuti aksi, diserang lewat video-video aksi yang dicomot dari akun medsosnya namun kemudian diposting dan disebarluaskan kembali dengan narasi yang menyesatkan.

Video yang diedit itu diberi narasi yang mengambarkan Lilis sebagai sosok orang tua murid yang tak mampu beli buku namun ternyata suka dugem.

Serangan terhadap aksi unjuk rasa ini sebenarnya bisa juga dibaca di kolom komentar atas foto atau video-video aksi yang diposting oleh berbagai akun. Dalam kolom komentar bisa terlihat adanya ‘perang’.

Oleh para penyerangnya, aksi peduli ini dianggap sebagai serangan terhadap kepala pemerintahan.

Dan kita semua tahu, kepala pemerintahan selalu punya pasukan pembela. Sebagian diantaranya adalah media-media.

Nampaknya diantara kumpulan emak-emak berdaster yang berunjuk rasa juga ada awak media. Meski keberadaan mewakili ibu-ibu yang resah namun tetap saja bisa menjadi bensin untuk menyulut serangan.

Demo emak-emak kemudian menyulut perang antar kepentingan media yang berseberangan. Antara kepentingan membela rakyat dan melindungi pejabat.

Berita atau warta menjadi bias, melebar kemana-mana dan isu soal tranparasi dana BOS, pungli di sekolah, derita orang tua di awal tahun ajaran baru dan lainnya tertimpa hiruk pikuk pemberitaan lainnya yang berupaya mengalihkan perhatian masyarakat dari esensi tuntutan unjuk rasa emak-emak berdaster.

Mungkin publik tak melihat hiruk pikuk itu karena saya yakin segala nyinyiran tentang aksi unjuk rasa emak-emak berdaster pasti beredar kencang di lalu lintas pesan yang ada di platform pertukaran pesan semacam Whatsapp atau Telegram.

Maju tak gentar membela yang ‘bayar’ atau berkuasa memang sungguh kejam.

note : sumber gambar – HARIAN KALTIM