KESAH.ID – Praktek bakar uang dalam perusahaan konvensional pasti dihindari. Membakar uang akan membahayakan fundamental keuangan dan tertib akuntasi. Tapi untuk start up membakar uang mutlak dilakukan, tak membakar uang kemungkinan suksesnya kecil. Demikian juga dengan politisi, praktek bakar uang adalah biasa untuk meraup kemenangan. Mengakuisi suara pemilih.
Awal tahun 2022, selain dibuka dengan harapan baru karena mulai meredanya serangan Covid 19, namun mendung lain juga mulai menggayuti. Ekonomi yang diprediksi akan tumbuh ternyata menujukkan gejala pelemahan disana-sana, inflasi meninggi bahkan diprediksi akan menjadi hiperinflasi yang berujung pada resesi.
Beberapa negara bahkan mulai menunjukkan gejala bangkrut. Pun demikian dengan industri, namun yang paling menarik adalah perusahaan teknologi. Sempat menjadi bintang, perusahaan teknologi yang lazimnya disebut start up mulai berguguran.
Masa depan start up diramalkan gelap. Pegawainya terancam PHK massal, musim bulan madunya telah lewat.
Benarkah?.
Menyebut masa depan start up gelap tentu saja sebuah kesimpulan yang kelewat berani. Model pengembangan bisnis ala start up saat ini justru merupakan mainstreams industri dan ekonomi. Model inkubasinya juga macam-macam.
Bahwa ada beberapa start up yang berguguran atau mesti melakukan koreksi atas model bisnis dan layanannya, itu adalah hal yang biasa. Untuk apa bertahan kalau tidak relevan, untuk apa bertahan kalau tidak punya potensi pertumbuhan dan keuntungan di masa depan.
Adalah biasa ketika hype dalam bidang tertentu lewat maka akan terjadi penyeimbangan, koreksi sehingga yang paling kuat akan bertahan, sedangkan yang lainnya mesti pamit mundur.
Start up kerap diidentikan dengan bakar uang. Dan kemudian disimpulkan bahwa bakar uang inilah yang kemudian menjadi biang kegagalan. Bakar uang menjadi negatif.
Padahal dalam kenyataannya start up yang mapanpun masih terus membakar uang. Burning rate adalah paradigma bisnis untuk mengejar pertumbuhan. Untuk mengakuisi pemakai baru dan mempertahankan pemakai lama agar tetap aktif.
Sekelas Facebook yang kini menjadi Meta.Inc juga masih membakar uang lewat proyek metaverse-nya. Pilihan bakar uang yang bukan hanya menguras uang namun juga membuat banyak investornya mundur dan sahamnya turun.
Tesla pun demikian. Pabriknya di Eropa jelas membuat kantong Tesla terkuras. Keinginan Elon Musk untuk membeli Twitter yang kemudian diurungkan itu juga pilihan untuk membakar uang.
Namun ketika ada start up yang mempropose pendanaan dan kemudian tidak memperolehnya bukan berarti bakar uang tidak prospektif lagi. Melainkan dalam bidang-bidang tertentu mungkin sudah bukan merupakan cara terbaik.
Seperti Go Jek yang kini menjadi Go To karena bergabung dengan Tokopedia. Bisa jadi bakar uang lewat Go Ride, Go car atau Go Pay bukan lagi jadi pilihan, bakar uangnya lewat layanan lain seperti Go Food dan lainnya.
Start Up ketika layanannya sudah kuat, penggunanya sudah loyal, tentu akan menghentikan bakar uangnya dan mulai mengenakan biaya untuk layanannya, mulai dari biaya aplikasi, administrasi dan lainnya.
Toh pada akhirnya akan berujung pada cari untung dan neraca keuangan yang sehat. Investor yang sebelumnya mengucurkan uang juga tak rela begitu saja uangnya hilang, mereka butuh pengembalian.
Dan sebelum untung, investor sudah bisa menarik kembali uangnya sembari mendapat keuntungan. Saat valuasi start up-nya meninggi maka harga sahamnya tentu akan meningkat, terbang ke bulan. Dari situ investor menaguk untung, meski start upnya masih buntung.
BACA JUGA : Minta Maaf Bukan Cermin Dari Rasa Bersalah
Banyak yang menyangka iklan sebagai bakar uang. Menyamakan promosi sebagai bakar uang tentu saja salah. Sebab perusahaan non start up juga mengalokasikan uang dalam jumlah besar untuk melakukan promosi.
Dengan demikian jika promosi disamakan dengan bakar uang maka semua jenis usaha membakar uang, bahkan pemerintah juga.
Istilah bakar uang merujuk pada harga atau pricing. Ada yang disebut dengan predatory pricing, mengenakan harga lebih rendah atau jauh lebih rendah dari pada modal produksinya.
Maka dalam bisnis sebetulnya bakar uang bermasalah, bukan soal menghambur uangnya, melainkan mematikan competitor. Bersaing secara tidak sehat, karena berani menjual rugi.
Dulu China dan beberapa negara lain kerap diperingatkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia karena melakukan praktek dumping untuk meningkatkan eksport. Barang dijual lebih murah daripada harga di dalam negeri mereka.
Lalu kenapa praktek bakar uang ala start up tidak dipersoalkan misalnya oleh Komiter Pengawas Persaingan Usaha?.
Bakar uang di start up umumnya memang tidak terkait dengan kompetitor atau persaingan usaha. Layanan yang diselenggarakan oleh start up umumnya belum ada, jenis layanan yang baru diperkenalkan.
Itu kenapa start up sering disebut sebagai distruptor karena menciptakan sesuatu yang baru, yang membakar praktek atau model ekonomi sebelumnya.
Jika model ekonomi sebelumnya umumnya menyasar pucuk piramid pasar untuk segera mengejar keuntungan, start up juga menyasar lantai dasar piramid pasar, bukan keuntungan yang pertama dikejar melainkan jumlah pengguna yang besar.
Market place untuk mengakuisisi pasar masih terus membakar uang dengan cara memberi cash back, free ongkir, poin rewards, tarif flat untuk pengiriman dan lain sebagainya.
Selama belum mencapai angka pemakai yang dianggap bisa memberi keuntungan atau kestabilan usaha, akuisisi pasar lewat bakar uang terus akan dilakukan.
Go ride dan Go car dulu membakar uang dengan cara memberi insentif cukup besar kepada drivernya. Sekarang, tak ada lagi cerita driver yang pulang membawa uang jutaan per harinya. Pemakai ojek dan taksi online sudah stabil.
Jika berpikir memakai paradigma perusahaan non start up, maka bakar uang jelas berbahaya. Perusahaan yang bukan start up berpandangan bahwa cash is king, pendapatan adalah raja. Maka membakar uang akan merusak pondasi bisnisnya.
Sementara paradigma yang dipakai oleh start up adalah growth at any cost, bukan untung yang pertama kali dilihat melainkan pertumbuhan, perkembangan secara eksponensial.
Lalu kapan untungnya?.
Start up mulai akan mencari untung jika sudah tidak ada kompetitornya, pasar telah terkonsolidasi dalam ekosistemnya, kasarnya sudah memonopoli.
Namun dalam prakteknya para founder bahkan sudah kaya duluan sebelum perusahaannya untung kayak puting beliung. Monitize atau pendapatan untuk para founder dan investor sudah akan datang ketika valuasi perusahaannya tinggi.
Exit strategi dari para pendana atau investor biasanya juga dilakukan ketika perusahaan mulai menawarkan sahamnya baik terbatas maupun publik.
Dan banyak start up sukses melakukan IPO, ketika belum menuai untung.
BACA JUGA : Membincang Relawan Tahan Stres Di Taman Samarendah
Kalau ditelisik, praktek bakar uang tidak hanya terjadi dalam start up atau ekonomi. Dalam politik juga dikenal praktek uang politik.
Dalam artian tertentu, uang politik mirip-mirip dengan bakar uang.
Mari kita lihat seberapa banyak para tokoh politik yang menduduki jabatan lewat proses elektoral dipilih karena visi misi, program atau track records-nya.
Tidaklah banyak.
Sebab kebanyakan dipilih karena uang. Bukan hanya ke pemilih melainkan juga ke partai politik bahkan ke organ penyelenggara atau kelengkapan pemilihan umum.
Kenapa?. Karena politik elektoral kerap identik dengan dagang, istilah terkenalnya dagang sapi.
Politik memang mahal terutama dalam kontestasi pemilihan langsung, one man one vote.
Namun ongkos yang mahal itu tak membuat politisi kapok membakar uang. Ada banyak orang mencalonkan berkali-kali walau terus menerus gagal.
Dalam pemilu legislative dikenal istilah NPWP yang artinya Nomer Piro Wani Piro. Nomor urut daftar caleg sudah diperjualbelikan. Makin atas makin mahal.
Kenapa bakar uang menjadi penting dalam pemilu di Indonesia?.
Pemilih di Indonesia bukanlah pemilih loyal, sebagaian besar pemilihnya adalah masa mengambang atau swing voter.
Logika sederhana mengandaikan bahwa pemilih yang tidak jelas preferensi politiknya ini akan mudah dipengaruhi dengan uang ketimbang visi misi atau program kerja.
Dalam pemilu legislative, partai peserta pemilunya banyak, masing-masing partai juga mencalonkan banyak orang, jumlahnya lebih banyak dari kursi yang tersedia.
Jangankan dengan partai lain, didalam partainya sendiri saja para calon sudah bersaing. Persaingan macam apa yang membuat seorang calon bisa berbeda dengan calon lainnya, diferensiasi apa yang hendak dipilih?.
Menunjukkan diri lebih pintar dari calon lainnya?. Rasanya sulit karena kebanyakan sama-sama pintar atau sama-sama tak pintar. Dari sisi ideologi juga sama, visi misi atau programnya juga sama karena berasal patokannya adalah visi misi dan program partainya.
Maka salah satu yang memungkinkan untuk membuat perbedaan adalah uang. Walau tidak jaminan, namun calon dengan jumlah uang jauh lebih banyak dari calon lainnya, kemungkinan kemenangannya akan lebih besar.
Sekarang ke pemilu kepala daerah, bupati, walikota atau gubernur. Berapa uang yang harus disiapkan oleh para calon, pastinya milyard-an.
Jelas itu bakar uang karena uang yang dikeluarkan mustahil akan bisa dikembali dengan mengandalkan pendapatan resmi dan legal saat duduk sebagai bupati, walikota atau gubernur.
Lalu dari mana uang yang dikeluarkan akan dikembalikan?. Kalau uang yang dibakar itu berasal dari pengusaha maka dikembalikan lewat proyek atau konsesi atau ijin tertentu.
Dan praktek membakar uang tidak hanya dilakukan menjelang pemilu. Saat menjabat para pejabat bisa terus membakar uang untuk menjaga popularitas dan juga elektabilitas jika nanti akan mencalonkan diri kembali, atau untuk meraup tiket naik kelas, misalnya dari bupati jadi gubernur, atau dari gubernur jadi presiden.
Bakar uang dilakukan dengan mengalokasikan sejumlah besar uang misalnya untuk bantuan sosial, bantuan langsung tunai dan lain-lain. Namun bakar uang tidak selalu dilakukan dengan cara memberi uang, merogoh kocek anggaran, melainkan bisa juga dengan cara memberi insentif, kemudahan bagi pihak tertentu, pemotongan pajak atau retribusi dan lainnya.
Sama seperti halnya start up, politisi juga bisa membakar uang dengan berbagai cara. Dan kelak ada juga banyak cara untuk me-monitize kedudukannya.
note : sumber gambar – JOJONOMIC,COM