KESAH.ID – Manusia sebenarnya ingin guyub dan ingin tahu manusia lainnya sebanyak mungkin. Namun ruang dan waktu kerap membatasi sehingga lingkungan pertemanan menjadi terbatas. Media sosial meretas jalan itu, walau kemudian kerap tak terhindarkan sebuah kenyataan bahwa kita menjadi dekat dengan yang jauh dan menjadi jauh dengan yang dekat.

Sejak kecil Mark Zuckkerberg yang lahir pada tahun 1984 di White Plains, New York itu menyukai komputer. Bukan hanya memakai untuk bermain melainkan juga mulai belajar membuat program.

Ketika kuliah di Harvard, Mark menemukan bahwa universitas tidak membagikan buku direktori yang memuat identitas dan foto mahasiswa yang kuliah di kampus itu.

Dari situ muncul gagasannya untuk membuat direktori online agar mahasiswa baru bisa mempunyai kesempatan untuk membangun pertemanan dengan rekan-rekan yang lain secara lebih luas.

Mark meluncurkan proyek pertamanya yang dinamai CourseMatch yang diperuntukkan bagi teman seangkatan yang mengambil mata kuliah yang sama.

CourceMatch tidak memberikan hasil yang diharapkan oleh Mark. Lalu diperbaharui dengan FaceMash.

Memadukan dua foto mahasiswi yang kemudian dinilai siapa yang lebih hot, FaceMash mendapatkan sambutan hangat di kalangan mahasiswa.

FaceMash meledak ketika Mark berhasil meretas direktori Harvard, foto dan data mereka dimasukkan ke website. Dalam beberapa jam saja ratusan orang mengunjungi websitenya dan 22.000 kali foto dibuka oleh pengunjungnya.

Belajar dari hal itu, Mark kemudian merasa bahwa banyak orang butuh website jejaring sosial untuk menghubungkan mereka dengan orang lainnya.

Berangkat dari kode FaceMash, Mark Zuckerberg bersama Chris Hughes, Eduardo Saverin dan Dustin Moskovits berhasil meluncurkan situs www.thefacebook.com dari salah satu kamar di asrama Harvard pada bulan Februari 2004.

Mark dan rekan-rekannya kemudian mulai sibuk dengan pengembangan Facebook yang mendapat respon positif dari publik. Kesibukan yang akhirnya membawa pada pilihan untuk melanjutkan kuliah atau mengembangkan bisnis dengan meninggalkan bangku kuliah.

Yakin dengan masa depan temuannya, Mark dan rekannya kemudian memilih untuk meninggalkan bangku kuliah untuk menekuni pengembangan facebook yang diyakini oleh mereka sebagai investasi untuk masa depan.

Pilihan mereka terbukti benar, meski kemudian yang identik dengan Facebook adalah Mark Zuckerberg namun rekan-rekan lainnya juga terkenal sebagai pengusaha industri teknologi di Silicon Valley.

Dari sisi kekayaan mereka juga termasuk dalam deretan kaum trilyuner.

Berangkat dari visi mulianya untuk menghubungan satu orang dengan orang lainnya tanpa batas ruang dan waktu, Facebook kemudian menjadi salah satu pioner perusahaan teknologi era baru.

Perusahaan teknologi sebelumnya adalah perusahaan yang menghasilkan produk, entah program, sistem operasi atau gadget. Konsumen harus membeli untuk memperoleh manfaatnya. Kalau tak cukup uang beli bajakannya.

Tapi menikmati facebook, konsumen atau penggunanya tak perlu membayar. Cukup buka websitenya dan mendaftar lalu mendapat akun dan segera bisa membangun jejaring pertemanan serta saling berkirim kabar.

BACA JUGA : Bakar Uang Ala Start Up dan Politisi

Jau sebelum Facebook berdiri telah lahir Yahoo di tahun 1994 dan kemudian disusul oleh Google di tahun 1998. Keduanya lahir dari mahasiswa Universitas Stanford.

Yahoo didirikan untuk menjadi jalan bagi masyarakat masuk ke dunia worl wide web, memanfaatkannya untuk produktifitas. Salah satu layanan yang paling terkenal adalah email dan mailing list.

Demikian juga dengan Google, mengandalkan layanan email gratis, sesungguhnya perusahaan ini mulanya didirikan sebagai entitas untuk mengumpulkan informasi dari berbagai penjuru dunia agar bisa diakses secara mudah oleh pengguna internet.

Google kemudian dikenal dengan layanan mesin pencarian atau search engine.

Baik Yahoo maupun Google sama-sama memberi layanan gratis. Saat itu mulai dikenal istilah freemium.  Pengguna bisa memakai layanan gratis namun kalau mau layanan lebih harus membayar.

Diakui atau tidak, Facebook yang lahir sesudahnya belajar banyak dari para pendahulunya. Yang paling menginspirasi adalah email.

Sebelum Facebook lahir, banyak orang kecanduan email. Semua punya alamat email dan sehari bisa berkirim email berkali-kali, bertukar kabar. Yang ditunggu adalah notifikasi email masuk.

Selain bersifat personal, kemudian juga muncul mailgroup atau newsroom yang memungkinkan saling memberi kabar yang bisa dibuka oleh semua orang. Email juga makin menarik karena bukan hanya mengirim teks melainkan juga gambar, cuplikan video dan dokumen lainnya.

Facebook kemudian membuat email tampil secara publik, bisa dilihat semua orang dan setiap orang bisa memberi tanggapan sehingga terjadi komunikasi yang intens.

Halaman Facebook berkembang dari penyempurnaan email, namun menampilkan teks dan lampirannya dalam layar tanpa melewati inbox. Sehingga setiap orang bisa langsung melihat, memberi tanggapan yang kemudian juga langsung terpampang dalam layar, tanpa harus membuka satu persatu di inbox seperti halnya email.

Sukses Facebook kemudian diikuti oleh lahirnya perusahaan-perusahaan serupa. Perusahaan teknologi yang mengratiskan layanannya. Muncullah era yang disebut media sosial.

Pertanyaannya darimana mereka mendapat uang untuk menjalankan perusahaannya. Apa sebenarnya yang dijual oleh Facebook dan rekan-rekannya itu sehingga para pendirinya dengan cepat melejit menjadi orang-orang terkaya di dunia?

Dimulai oleh Yahoo, Google dan kemudian disusul oleh Facebook serta lainnya, perusahaan teknologi ini tidak menghasilkan produk yang diperjual belikan, yang dijadikan produk oleh mereka adalah pemakai atau konsumen. Dengan demikian yang dijual oleh perusahaan teknologi berbasis internet ini adalah manusia, penggunanya.

Perusahaan sejenis ini akan makin bernilai jika pengguna banyak dan terus bertumbuh. Junlah pengguna yang akan menentukan valuasi atau nilai perusahaan. Jumlah pemakai dan pemakai aktif yang akan dijadikan daya tarik untuk para investor, membeli sahamnya.

Jumlah pemakai dan pengakses aktif atau rutin harian inilah yang kemudian akan dijual ke pemasang iklan. Mesin penghasil uang dari perusahaan teknologi yang memberikan layanan gratis adalah iklan.

Semakin besar pemakaianya, semakin sering pemakai meluangkan atau menghabiskan waktu maka nilai iklannya akan semakin tinggi.

Dan bagaimana teknologi kemudian berubah menjadi ‘narkoba’ yang membuat orang kecanduan untuk terus memakainya, itulah yang kemudian menjadi fokus utama dari perusahaan teknologi sejenis Facebook yang sekarang berubah menjadi Meta.

Mereka berusaha keras untuk membuat algoritmanya makin sempurna agar pemakai tidak berpaling dari aplikasinya. Semua kebutuhan emosional para penggunanya berusaha dipenuhi, dengan melihat Facebook atau media sosial lainnya otak para pengguna kemudian terstimulus untuk memproduksi dopamine, oksitosin dan endorfin.

Facebook menjadi candu. Juga youtube, instagram, twitter, tik tok dan lainnya.

Kecanduan inilah yang kemudian menjadi tambang uang bagi penyelenggara sistem elektronik yang mengratiskan pemakaiannya.

BACA JUGA : Minta Maaf Bukan Cermin Rasa Bersalah

Mesti diakui dengan kehadiran media sosial, dunia kemudian memang menjadi selebar daun kelor. Selama ada sambungan internet, siapapun dan apapun dari berbagai penjuru dunia akan bisa terhubung, saling tahu, saling berkabar dan seterusnya.

Facebook yang awalnya tidak begitu disukai oleh orang-orang yang mulai tua, akhirnya berkembang menjadi media sosial kesayangan manula. Sebab dengan facebook mereka bisa bertemu lagi dengan teman-teman sebayanya, teman masa sekolah dasar yang sudah lebih dari tiga puluhan tahun tak tahu lagi kabar rimbanya.

Ada banyak orang juga bertemu kembali dengan saudara, orang tua dan kerabat lainnya yang puluhan tahun menghilang, terpisah atau sengaja dipisahkan.

Ada banyak keajaiban dan ‘mukjizat’ karena Facebook, juga media sosial lainnya.

Dan itu memang misi awal mereka, menghubungkan orang dari berbagai penjuru dunia agar bisa bersilaturahmi, saling kabar, berbagi informasi dan bahkan saling tolong.

Tapi ibarat pisau yang ketajamannya memungkin hidangan lezat terjadi di meja makan, ketajaman yang sama juga bisa membuat orang terluka, teriris perih tangannya atau bahkan tertancap di tubuh hingga meregang nyawa.

Pun demikian dengan media sosial, menyatukan dan memperkenalkan satu sama lainnya, namun ternyata juga membuat keterpisahan.

Adalah lazim kita melihat mereka yang saling berkabar dengan media sosial untuk bertemu di tempat tertentu, setelah mereka bersama, duduk melingkar di sebuah meja, kemudian mulai asyik dengan gadgetnya masing-masing.

Ada yang tersenyum, ada yang mukanya tegang, ada yang berteriak, ada yang harap-harap cemas tapi bukan karena bertukar kabar dengan sesama rekan satu meja melainkan karena tekun tunduk di hadapan layar smartphone masing-masing.

Saat ada yang bertanya sambil setengah berbisik “Apa kabarmu,”. Dijawab tanpa menenggok “Lihat saja di wall facebook ku,”.

Yang bertanya kemudian membisu walau sebenarnya ingin teriak “Bangxxxx kamu,”

note : sumber gambar – INPUTRAKYAT.CO.ID