KESAH.IDBulan September sering diartikan sebagai sat sate sumber atau saat kering-keringnya mata air. Dan nampaknya memang benar di berbagai daerah yang kemudian mengalami kekeringan. Nuansa coklat nampak dimana-mana karena rumput mengering dan pohon merangas. Suasana alam ini juga melambangkan hitamnya September dalam konteks Hak Asasi Manusia. Semenjak jaman kemerdekaan hingga sekarang banyak peristiwa pelanggaran HAM berat di bulan September yang belum terselesaikan.

Urusan kalender bagi orang Jawa itu rumit, segala sesuatu dihitung, dinilai atau direka berdasarkan waktu, hari, tanggal, bulan dan seterusnya. Urusan sial, untung, baik dan buruk ditentukan oleh weton atau neptu.

Masyarakat Jawa mengenal pranata mongso, atau kalender musim. Kalender yang dijadikan pakem terutama dalam dunia agraria. Kalender yang berbasis masehi ini dimaknai pada masing-masing bulannya berdasarkan ilmu titen, atau karakter umum terkait air pada bulan itu.

Karakter atau gejala alam pada masing-masing bulan kemudian dijadikan patokan untuk memulai atau tidak memulai sesuatu terutama dalam bercocok tanam. Pertanda-pertanda penting dalam kalender musim adalah perubahan, pergantian atau peralihan musim.

Maka dalam kalender musim dikenal istilah labuhan, pergantian dari musim kemarau ke musim hujan. Rendeng atau musim penghujan, mareng atau peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau atau pancaroba. Dan ketiga atau musim kemarau.

Berdasarkan hitungan kalender musim, masyarakat Jawa mengenal empat musim, yakni labuhan, rendeng, mareng dan ketiga.

Selain itu juga ada enam mangsa, yakni mangsa terang, mangsa paceklik, mangsa semplah, mangsa udan, mangsa pangarep-arep dan mangsa panen.

Walau kesannya menghubung-hubungkan atau gotak-gatuk namun mengartikan Januari sebagai hujan sehari-hari dan Maret sebagai mak bleret atau mulai mereda sepertinya cocok dengan realita pada kebanyakan tahun yang berlalu.

Dan kemudian bulan-bulan yang diakhiri ber disebut sebagai bulan ngember saat banyak air. Terkecuali pada bulan September yang diartikan sebagai sat-sate sumber atau musim kering-keringnya air/mata air.

Di sebagian wilayah Jawa, September memang kering. Hampir dua minggu menghabiskan waktu disana rasanya hanya sekali saya menemui hari diguyur hujan. Hujan yang tak lama dan tak terlalu deras.

Ketika pesawat yang saya tumpangi hendak landing di bandara YIA, nampak benar rona coklat dimana-mana. Nuansa coklat karena rumput kering dan pohon-pohon merangas.

Pemandangan daratan kering yang jarang diguyur hujan semakin kentara dari jendela kereta api yang membawa saya dari bandara ke Stasiun Tugu Yogyakarta.

Pun ketika menyeberangi Jembatan Bogowonto sesaat sebelum sampai ke kampung halaman di Purworejo, nampak air sungainya kehijauan. Itu pertanda air yang tergenang dan tak mendapat pasokan air baru karena tiada hujan yang turun beberapa waktu.

Saya memang tak sempat berkeliling melihat persawahan yang dulu mengepung kampung halaman saya, namun kini sebagian telah ditumbuhi perumahan.

Tapi dari perbincangan selama beberapa hari di Purworejo, jelas tema panas, kering dan hujan yang tak turun-turun selalu ditemui dalam setiap perjumpaan.

Dulu masa-masa seperti ini disebut mangsa ketiga yang identik dengan paceklik. Panen akan gagal sehingga harga pangan jadi mahal. Kehidupan menjadi sulit.

Namun nampaknya cuaca panas September 2024 tidak sampai membuat Jawa mengalami paceklik. Memang ada harga makanan yang muahal, tapi bukan karena langka melainkan karena di jual di restoran-restoran besar.

Sedangkan di angkringan, warung-warung jagongan, penjual gendongan dan lainnya makanan masih murah meriah dan bikin wareg.

BACA JUGA : Pahamlah Ikam

September bukan hanya panas dalam cuaca tapi juga dalam sejarah Indonesia terutama yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia.

Mereka yang peduli pada HAM menyebut September sebagai September Hitam.

Sejumlah peristiwa kelam Hak Asasi Manusia memang terjadi di bulan September, mulai dari tahun 1965 hingga 2020-an.

Sepanjang masa itu, berbagai peristiwa yang terjadi di bulan September patut dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, namun hingga sekarang penyelesaian tak memuaskan. Berbagai roadmap yang ditawarkan untuk menyelesaikan kasus-kasus itu tidak dianggap atau ditanggapi secara serius oleh regim.

Kasus pelanggaran HAM berat selalu jadi komitmen untuk diselesaikan tatkala para calon pemimpin sedang mengobral janji sebelum pemilu. Usai pemilu kasus-kasus itu kembali menjadi hitam.

Dalam musim atau cuaca, September terasa panas. Namun untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, September terasa kelam, bulan yang penuh nestapa.

Nestapa terpanjang dialami oleh mereka yang korban tragedi 1965, peristiwa G30S/PKI yang kemudian diikuti serentetan aksi pembunuhan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota PKI. Yang tidak dibunuh kemudian ditangkap dan dihukum tanpa peradilan yang mumpuni.

Bukan hanya mereka yang sengsara melainkan juga keluarganya. Nestapa itu berlangsung puluhan tahun dan tak ada upaya pemulihan yang cukup oleh negara.

Tragedi berdarah tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya tidak menjadi pelajaran yang berharga. Atas salah satu cara peristiwa itu berulang. Apapun gerakan yang berusaha kritis pada kebijakan atau keadaan bangsa dan negara kerap ditumpas dengan cara membabi buta.

September kemudian kembali mencatatkan peristiwa hitam yakni Tragedi Tanjung Priok di tahun 1984. Tragedi ini bermula dari permintaan aparat pada jamaah sebuah masjid untuk menyingkirkan spanduk dan brosur yang mengkritik pemerintah.

Tanggapan terhadap aparat yang bertindak tidak sopan di rumah ibadah ditindaklanjuti dengan penangkapan. Masyarakat bereaksi dan kemudian melakukan demonstrasi. Demontrasi itu berujung rusuh, demonstran ditembaki oleh aparat.

Jumlah korban simpang siur antara versi pemerintah atau aparat keamanan dan masyarakat. Versi resmi hanya menyebut puluhan, namun dalam versi masyarakat mereka yang tewas dan hilang sampai sekarang berjumlah ratusan.

Proses hukum dan politik yang dilakukan untuk kasus ini tidak berakhir dengan memuaskan.

Di bulan September juga terjadi pembunuhan terhadap aktifis HAM. Pada tahun 2004, Munis Said Thalib dibunuh di udara dalam perjalanannya menuju Belanda.

Dalam proses hukum, peradilan mengadili pilot dan kru Garuda. Jaksa menuntut hukuman seumur hidup pada salah satu tersangka, namun hakim memutuskan hukuman selama 8 tahun.

Peradilan ini menjadi kontroversi karena apa urusannya kru Garuda membunuh Munir?.

Korban kekerasan aparat di bulan September juga menimpa para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019. Dan jauh sebelumnya, aksi mahasiswa yang dihadapi dengan kekerasan juga terjadi di tahun 1999 dalam peritiwa Semanggi II.

Pada bulan September 2015 seorang warga biasa juga tumbang karena menolak tambang pasir di desanya. Kepala desa dan anteknya mengeroyok Salim Kancil hingga meninggal dengan tragis.

Regim yang silih berganti, negeri yang makin demokratis ternyata tak membuat hitam yang memayungi September menjadi putih.

BACA JUGA : Dewa Mandalika

Samarinda beruntung, Agustus penuh hujan karena rekayasa cuaca yang dilakukan di IKN. Menjelang tengah malam hingga dini hari, langit Samarinda dihiasi bunyi pesawat ringan terbang keliling angkasa menebar garam.

Esoknya meski tak merata hujan turun, sesekali deras, sesekali bercampur dengan panas.

Pembangunan IKN yang dikebut memang bakal terhambat jika disiram hujan, maka hujan disingkirkan ke daerah sekitarnya seperti Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Samarinda.

Setelah peringatan HUT Kemerdekaan RI pertama di IKN, rekayasa cuaca tetap diteruskan. Presiden ingin segera berkantor disana dan beberapa kementerian juga akan mencoba work from IKN.

Meski tak seperti di sebagian Jawa, September sebenarnya juga cukup kering untuk Kota Samarinda. Beberapa komunitas mulai kesulitan air bersih. Yang tak dilayani oleh PDAM kemudian memanfaatkan air ‘danau’ sisa tinggalan tambang.

‘Danau’ bekas tambang mungkin bisa diibaratkan sumur besar. Airnya selalu ada namun tak seperti sumur gali atau sumur bor, airnya kurang terbaharui dan sedimen tersuspensinya tinggi. Air bekas lubang tambang juga cenderung asam.

Dan September yang cenderung panas ini tiba-tiba diguyur hujan deras. Jum’at pagi Kota Samarinda disiram hujan hampir merata, hujan yang awalnya hanya rintik kemudian menggila. Karena berada di bawah guyurannya, saya merasa hujan Jum’at pagi yang lalu termasuk salah satu hujan terderas.

Saking derasnya beberapa ruas jalan yang saya lewati segera tergenang. Untung masih bisa ditembus. Namun di ruas depan jalan Suwandi, pembatas jalan hampir tak terlihat, genangannya cukup dalam dan bisa membuat motor mati mesin.

Saya harus ke Unmul dan tak ada jalan memutar. Maka satu-satunya cara hanya menaiki pembatas jalan agar tak mesti berputar di U Turn yang tergenang air. Untungnya pembatas jalan tak terlalu tinggi sehingga motor genio yang ringan bisa dengan mudah melewatinya.

Dengan sepatu basah, dan sebagian celana serta baju yang juga membasah saya menutup September dengan perbincangan di ruang ber-ac perihal perjuangan hidup masyarakat adat Balik yang memanas karena tanah dan ruang hidup mereka kini dibangun menjadi kota yang dilabeli Kota Rimba Raya. Rimba yang bukan lagi milik mereka, bahkan juga bukan untuk mereka.

Di negeri ini meski dinyatakan dan dilindungi oleh konstitusi, para penjaga dan pemilik rimba bisa dengan mudah disingkirkan oleh negara jika sang penguasa punya mau.

September memang hitam.

note : sumber gambar – KOMPASIANA