KESAH.IDDi mana-mana kini dalam setiap keramaian selalu dihiasi dengan goyang-goyang. Trend goyang gemoy pada pemilu 2024 seakan merepresentasikan kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat di segala penjuru untuk ‘dijogetin aja’. Politik dimanapun selalu mencerminkan kondisi masyarakatnya, dan goyang mengoyang yang subur di masyarakat ternyata juga senada dalam kehidupan politik. Politik goyang mengoyang begitu kental mesti presiden dan wakil presiden terpilih tinggal tunggu dilantik.

Apakah yang dapat menyatukan kita. Salah satunya dengan Musik. Dangdut is the music of my country, my country, my country.

Begitulah penggalan syair tembang rap yang diluncurkan oleh kelompok komedi kreatif Project Pop pada tahun 1996. Lagu itu berhasil menjadikan album Pop OK sebagai album paling populer dari Project Pop dengan raihan double platinum pada penjualannya.

Pesan dari lagu bergenre rock dangdut di terima di masyarakat. Dangdut terbukti mampu menyatukan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Musik dangdut menyatukan lewat goyang.

Dangdut sendiri merupakan musik yang punya DNA melayu, namun terbuka pada modifikasi nada dan irama yang berbau genre lainnya seperti pop, rock, elektonik dan lainnya. Hasilnya menjadi musik yang enak untuk dinikmati dan membumi.

Paduan antara lirik yang lugas sederhana, dan beat yang muncul dari kendang membuat dangdut selalu mengajak untuk bergoyang. Ritme atau alunan musiknya memang mengandung goyangan.

Ditambah dengan goyangan penyanyinya, yang mendengar atau menyaksikan pertunjukan dangdut sulit untuk tidak ikut bergoyang.

Setelah era Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, A Rafiq, Camelia Malik dan lain-lain, dangdut makin populer dengan muncul Inul Daratista dan teman-temannya. Jaman Inul, dangdut memang benar-benar mengekpolitasi goyangan.

Goyang ngebor, goyang gergaji, goyang ngecor, goyang itik dan lain-lain jadi labelnya.

Musik yang berkembang sejak tahun 1940-an ini pernah menjadi antitesis dari music rock atau nggak nggik nggok yang dianggap brutal di jaman Sukarno. Rhoma Irama kemudian mempopulerkannya sebagai musik untuk dakwah.

Lama kelamaan irama musik dangdut yang dibawakan oleh Rhoma Irama dan Soneta Grup membosankan. Masyarakat jenuh dengan dangdut yang biasa-biasa saja.

Muncul berbagai group lainnya yang menyebut diri OM atau Orkes Melayu. Dan kendang serta seruling kemudian memicu dampak dan gairah untuk bergoyang. Tabuhan gendang dan tiupan seruling serta penyanyi perempuan dengan aura merangsang, membuat goyang semakin tak terbendungkan.

Berpadu dengan musik lainnya, seperti pop, rock, disko dan campur sari, kini dangdut yang populer adalah dangdut koplo.

Jawa Timur menjadi tempat tumbuh suburnya dangdut koplo lewat banyak group orkes melayunya. Pengaruhnya menyebar kemana-mana.

Tren kegemaran pada musik dangdut yang kemudian menjadi jedag-jedug disertai gelang-geleng ini kemudian malah menjadi perayaan massal. Festival, karnaval dan lainnya diwarnai oleh sound horeq, adu kekuatan sound yang bukan hanya membuat badan bergoyang melainkan bumi juga bergetar.

“Apa salah dan dosaku, sayang. Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan ku berikan. Jaran goyang, jaran goyang”

Sulit memang menolak untuk bergoyang ketika mendengar lagu Jaran Goyang yang dinyanyikan oleh Nella Kharisma ini.

BACA JUGA : Dewa Mandalika

Tren goyang dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote sudah layak untuk menyebut Indonesia sebagai Republik Goyang.

Goyang telah menjadi bagian dari kehidupan, bukan hanya goyang badan tapi juga goyang kehidupan.

Kehidupan di Indonesia memang selalu bergoyang-goyang karena politik sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bersama dipenuhi dengan saling goyang.

Pemilu presiden dan legislatif 2024 yang disusul dengan pilkada serentak jika diikuti dengan survey indeks kebahagiaan bisa dipastikan akan membuat peringkat kebahagiaan masyarakat Indonesia menurun.

Masyarakat dengan empati yang tinggi pada kehidupan bersama pasti tidak bahagia melihat aksi dan dinamika politik 2 tahun belakangan ini.

Mereka yang di depan layar terlihat akrab, saling tersenyum bersama ternyata di belakang saling memunggungi, bahkan saling potong.

Jika pemilu sebelumnya masyarakat disuguhi fenomena yang mengkhawatirkan yakni Cebong dan Kampret. Pemilu kali ini masyarakat disuguhi oleh aksi tukang kayu yang bukan hanya menebang pohon melainkan juga menyembelih banteng.

Beringin tumbang, kayunya dipaksa jadi kursi. Tapi jelas bukan kursi yang nyaman karena kayu beringin berlekuk-lekuk. Kursi beringin bukan kursi Ligna yang ketika sudah duduk malas untuk berdiri.

Kursi beringin memang kursi panas, karena beringin lebih cocok dibiarkan hidup untuk menjadi peneduh dan pelindung air. Atau jika ingin dijadikan hiasan, pohon beringin yang berbatang besar serta rindang itu ternyata cocok untuk dibonsai.

Sebelum menebang beringin, tukang kayu menyembelih banteng. Padahal sebelumnya tukang kayu itu berada dalam naungan kandang banteng.

Sembelih menyembelih dan potong memotong ini mengkhawatirkan. Karena menurut teori sebuah kekerasan pasti akan melahirkan kekerasan baru sehingga tercipta lingkaran kekerasan.

Yang menjadi korban bisa jadi menyimpan dendam atau memendam amarah. Dan kelak akan mencari cari untuk membalaskannya, itulah yang disebut sebagai lingkaran setan.

Dan goyang mengoyang ternyata terus berlanjut meski presiden dan wakil presiden terpilih telah diumumkan serta menunggu saat untuk dilantik.

Berbagai organisasi baik politik maupun ekonomi digoyang dengan isu munaslub. Kedudukan dalam organisasi tiba-tiba saja diganti tanpa ha-hi-hu atau ba-bi-bu.

Goyang mengoyang ini kemudian menular sampai ke akar rumput.

Sekelompok orang dengan tanpa malu-malu menerobos masuk dalam sebuah pertemuan untuk melakukan pembubaran.

Kelompok masyarakat dengan mudah menuduh pihak lain bermaksud mengganggu jalannya pemerintahan. Dan mereka merasa berhak untuk menghentikannya.

Jika tebas menebas seperti ini kemudian menjadi kebiasaan di masyarakat niscaya kehidupan bersama menjadi semakin menakutkan.

BACA JUGA : September Panas

Meski sama-sama berada di panggung, panggung politik dan panggung dangdut jelas berbeda jauh.

Panggung dangdut selalu menghadirkan keriangan, keceriaan dan rangkaian kesenangan lainnya. Tapi panggung politik selalu melahirkan kecemasan.

Politik menghadirkan kecemasan karena dalam prakteknya laku politik yang semestinya menghadirkan kepastian dalam kehidupan bersama justru berwatak abu-abu.

Dalam politik tidak ada yang mustahil, tak ada yang tak mungkin.

Bahkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak diperkenankan pun kemudian diperbolehkan karena intervensi politik.

Politik menjadi mencemaskan karena sebagai alat untuk mengatur kehidupan bersama yang lebih baik, politik justru kemudian menjadi senjata bagi sekelompok orang tertentu untuk melanggengkan kepentingan pribadi, keluarga maupun golongannya.

Ini terjadi karena tujuan dari politik adalah kekuasaan dan kuasa itu indah sekaligus menyenangkan sehingga siapapun yang merengkuhnya tak ingin kehilangan walau saatnya sudah tiba.

Kekuasaan kemudian diawetkan lewat aksi-aksi dan laku politik.

Aksi dan laku yang kemudian menciderai demokrasi.

Bahwa anak pemain bola kemudian menjadi pemain bola adalah hal yang biasa. Sebab anak-anak bisa saja mengikuti atau belajar dari orang tuanya.

Namun bukan berarti kalau bapaknya pemain timnas, kemudian anaknya akan langsung masuk timnas juga.

Pun dalam politik dinasti politik adalah hal yang biasa, sebagaimana dinasti usaha, olahraga atau kesenian.

Namun politik dinasti mestinya tak boleh dipraktekkan dalam iklim demokrasi. Artinya kalau bapaknya politisi dan anaknya mengikuti jejaknya, maka bukan berarti jika bapaknya turun jabatan sebagai pemimpin kemudian akan langsung diganti oleh anaknya.

Praktek seperti ini akan rawan goyang mengoyang sehingga iklim demokrasi menjadi berantakan dan politik akan selalu menimbulkan kekhawatiran.

note : sumber gambar – MERDEKA