Sejak hari Jum’at (22 Mei 2020) beberapa wilayah Kota Samarinda mulai digenangi air banjir. Warga tengah bersibuk untuk mempersiapkan perayaan hari lebaran meski secara minimal karena pandemi Covid 19.

Minggu terakhir bulan puasa saat kebijakan pembatasan sosial belum dicabut, situasi Kota Samarinda cenderung normal. Titik-titik keramaian terjadi di beberapa tempat. Toko-toko busana ramai dikunjungi warga tanpa protokol pencegahan penularan Covid 19 secara ketat.

Lebaran tahun ini pasti tidak akan seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat mahfum dengan keadaan ini dan mau tak mau harus menerima hal itu. Namun ternyata lebaran menjadi lebih buruk bagi warga di beberapa kelurahan di Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Sungai Pinang. Mereka sama sekali tak bisa merayakan lebaran, bukan karena covid 19 melainkan karena banjir yang makin meninggi. Di beberapa tempat tinggi air sudah melewati pinggang orang dewasa. Warga harus mengungsi.

Terlanjur membeli baju baru, tak bisa saling berkunjung, ambal mesti digulung, meja jadi tempat menaruh kursi agar tak terendam lengkaplah sudah penderitaan di hari yang bahagia, hari yang fitri ini.

Namun selalu ada cara untuk bahagia di tengah derita sekalipun, sebab bahagia itu sederhana, begitu kalimat yang sering kita temukan dalam status di media sosial.

Meski tak ditulis begitu, di media sosial kemudian beredar foto dan bahkan rekaman video yang mengambarkan titik keramaian di area yang terendam air. Area yang kemudian menjadi lokasi wisata dadakan adalah genangan air di persawahan dan rawa-rawa di Betapus, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara.

Ramai orang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa di sana. Dari rona wajahnya terlihat banyak yang menyempatkan diri untuk pergi, bukan hanya mampir tidak sengaja. Dan dimana ada kumpulan banyak orang, penjual pentol dan lain-lain ikut hadir untuk meramaikan.

Semua lupa bahwa sedang ada pembatasan sosial. Dan di tempat yang kebanjiran, area persawahan dan rawa yang rata dengan air hingga kemudian mirip danau kemudian menjadi tempat ‘wisata dadakan’.

Adalah lazim hari lebaran menjadi saat liburan, kesempatan untuk piknik. Dan sudah dua kali lebaran warga di Samarinda Utara kehilangan kesempatan piknik di tempat-tempat wisata yang ada di Samarinda Utara. Tahun lalu lebaran juga banjir sehingga mereka tak bisa berkunjung ke Shalma Shofa, Taman Borneo, Permandian Serayu, Waduk Benanga dan lain-lain.

Tahun inipun demikian bukan hanya karena banjir tapi karena tempat wisata belum boleh dibuka karena pandemi covid 19.

Tak ada tempat wisata yang buka, genangan air banjir kemudian menjadi tempat untuk piknik. Tapi namanya tempat wisata dadakan maka tak ada yang bertanggungjawab, tak ada yang mengawasi dan tak ada yang mengingatkan. Semua bersuka dengan resiko ditanggung oleh masing-masing. Dan dalam kerumunan yang sedang bergembira yang namanya kewaspadaan biasanya menjadi langka.

Tak semua yang ada disitu tahu apa yang ada di balik bentangan genangan air. Bahwa antara jalan yang disemen dan genangan air di kanan kirinya itu ada saluran air. Saluran yang tentu saja mempunyai kedalaman dan arus yang berbeda hingga membuat seseorang terperosok dalam kedalamannya dan kemudian terseret arusnya.

Dan Selasa (26 Mei 2020) seorang bocah berumur 10 tahun terbenam di saluran air yang tak kelihatan, terseret airnya dan ditemukan sekitar satu jam setelah kejadian dalam kondisi kritis. Bocah itu tak bisa diselamatkan dan menjadi korban wisata dadakan.

Air memang selalu memanggil sekalipun itu adalah air banjir. Dan realitas itu menjadi sempurna karena pada dasarnya masyarakat kita ada masyarakat kerumunan. Suka berkumpul dan melihat apa saja yang tidak seperti biasanya. Dan dalam kerumunan semua menjadi tidak waspada. Sayangnya jika kemudian ada yang menjadi korban maka hanya dianggap kesialan belaka.

kredit foto : Achmad Wijaya