Bondan tertawa tawa sendiri di bawah pohon Trembesi rindang. Pohon penghijauan yang ditanam di tepian Sungai Karang Mumus. Tak ada satupun orang disampingnya, tapi anehnya Bondan seperti tengah kegelian.
“Jangan-jangan kesambet Hantu Banyu,” guman Mustofa mendekat.
Tawa Bondan belum hilang, bahkan dia sama sekali tak memperhatikan ketika Mustofa sampai di hadapannya. Matanya terus tertuju pada layar HP-nya.
“Kenapa kamu tertawa sendiri Bondan, salah makan kah?”
Bondan tak menjawab.
“Kamu gilaaaaaaa…. kah?” teriak Mustofa persis disamping telinga kanan Bondan.
“Kamu tu yang gila Mumus. Menganggu kesenangan orang saja,” Bondan balik marah.
“Kenapa kamu ketawa sendiri?” tanya Mustofa
Bondan memberikan HP-nya pada Mustofa. Dan kemudian Mustofa membaca apa yang memenuhi layarnya. Perlahan, satu demi satu kalimat dibacanya dan tak lama kemudian pecah suara tawanya. Bondanpun ikut tertawa.
“Edan ini Mukidi,” ujar Mustofa.
“Tuh kamu ikut gila juga kan Mumus,” kata Bondan masih sambil tertawa.
Kemudian Bondan dan Mustofa membincang Mukidi, mereka menemukan sosok yang antik yang hampir serupa dengan Mukidi, pada diri tetangga mereka yang kini sudah pindah entah kemana.
“Dia kayak Lik Parto, tetangga kita yang jualan bakso tapi nggak laku itu,”
“Iya nggak laku karena nggak mau pakai vetsin,” sahut Mustofa.
“He..eh… lalu bangkrut, sering nggak jadi jualan karena nggak tahan lihat sampah di sungai,” tambah Bondan.
Sejauh pengetahuan Mustofa yang belum masuk kategori orang dewasa, karena masih memandang segala sesuatu dari gejala yang kelihatan, Lik Parto memang masuk kategori manusia non generik. Parto kata bocah-bocah kekinian jelas bukan orang mainstreams.
“Lik Parto memang tak peduli, siapapun yang buang sampah ke sungai pasti dianggap musuh. Tapi caranya memerangi musuh memang aneh. Apa yang dibuang oleh orang diambilnya dan kemudian dibuang di tempat yang semestinya,” ujar Mustofa.
“Iya, aneh bin ajaib memang Lik Parto itu, golongan manusia langka. Dan yang pasti Lik Parto melakukan itu bukan karena pencitraan,” tambah Bondan.
“Betul, Lik Parto itu hanya ingin jadi dirinya sendiri, nggak punya cita-cita jadi tentara atau polisi, apalagi politisi,” kata Mustofa yakin.
Mustofa jelas bukan ingin menjilat atau cari muka, toh nda ada juga menjilat dan cari muka dihadapan Lik Parto. Keyakinan Mustofa muncul karena dia kenal betul keseharian Lik Parto. Sekali waktu Mustofa pernah bercerita panjang dengannya. Cerita tentang masa lalunya yang tumbuh dan besar di pinggiran sungai. Pilihan Lik Parto tinggal di tepi Sungai Karang Mumus selain faktor ongkos sewa yang jauh lebih murah juga karena kesenangannya tinggal di tepi sungai.
“Sungai itu ruang kehidupan, bukan hanya untuk manusia tetapi untuk mahkluk dan ciptaan Tuhan lainnya,” ujar Lik Parto.
Panjang lebar Lik Parto menerangkan fungsi dan kemanfaatan sungai. Mulai dari sumber air bersih, ikan atau binatang tangkapan, sarana transportasi, pengendali banjir, ruang pendidikan dan juga potensi untuk pengembangan wisata dan rekreasi.
“Jasa lingkungan sungai itu banyak, tapi kita selalu menghitung jasa lingkungan dengan perhitungan ekonomi uang, berapa yang dihasilkan dan masuk ke kas negara atau daerah,” terang Lik Parto.
“Dengan hitung-hitungan seperti itu maka Sungai Karang Mumus menjadi SDA yang tidak potensial di mata pemerintah, sungai ini jadi sungai penuh masalah dan hanya akan menghabiskan anggaran pemerintah untuk mengatasi persoalan itu,” lanjutnya.
“Jadi menurut Lik Parto, bagaimana pemerintah akan mengatasi persoalan Sungai Karang Mumus ini?” tanya Mustofa seolah-olah mengerti.
“Maaf saja Mumus, kalau dalam pikiran saya pemerintah pasti tak mau rumit-rumit. Jadi pilih yang gampang tapi manjur. Caranya matikan Sungai Karang Mumus dengan membuat kanal baru yang menghubungkan waduk Benanga langsung ke laut,” jawab Lik Parto.
“Lalu sungai ini jadi apa?”
“Ya jadi sungai kering. Lalu kalau orang tetap buang sampah dan limbah kesitu ya jadi sungai limbah dan sampah?”, jawab Lik Parto.
“Kenapa nggak memperbaiki saja sungai ini?”
“Percumah, biar keluar uang 1 trilyun, nda ada jaminan sungai ini mau baik kembali. Ambil contoh saja pengerukan, biar dikeruk dari Bendungan Benanga sampai Muara, paling ndak lama sungainya juga dangkal kembali, uang besar habis tapi nggak kelihatan hasilnya,” terang Lik Parto.
“Coba kamu lihat got-got itu, biar dikeruk, dibersihkan, begitu hujan kembali lagi pada posisi semula, ruang airnya cuma beberapa senti,”
“Kok bisa begitu ya Lik?”
“Ya begitulah Mumus yang disebut kebijakan pembangunan, semua ingin mulai dari nol. Yang namanya menjaga, merawat dan memanfaatkan secara berkelanjutan itu cuma ada di dokumen sama pidato-pidato. Dalam prakteknya tidak,”
“Prakteknya seperti apa Lik?”
“Ya prakteknya pembangunan itu harus dari nol, mulai penyiapan lahan, pematangan lahan, pondasi dan seterusnya hingga finishing,” terang Lik Parto.
“Kenapa panjang begitu,”
“Ya harus karena di tiap-tiap tahapan itu ada uang. Pembangunan itu pertama memang ditujukan untuk kepentingan umum, tapi keuntungan pembangunan itu bukan untuk umum, nah itu yang penting, mesti ada untuk untuk pemberi ijin, pemberi pekerjaan, panitia dan yang melakukannya,”
“Oh, jadi pembangunan itu artinya untuk kepentingan umum dengan keuntungan untuk golongan tertentu,”
“Nah, pintar sudah kamu Mumus,” kata Lik Parto girang.
**************************
Beberapa waktu terakhir ini di berita media ramai dikatakan soal rencana pemerintah untuk menata Sungai Karang Mumus. Geliatnya juga terasa, pejabat kota misalnya mulai rajin turun ke sungai, kerja bakti di sungai juga bukan pemandangan yang asing lagi.
Sayang Mustofa tak lagi bisa menjumpai Lik Parto. Sudah setahun terakhir ini Lik Parto tak kelihatan lagi, entah pergi kemana. Keberadaannya sulit untuk dicari, karena Lik Parto tak mempunyai satupun alat dan channel komunikasi. Saudara atau kenalan yang bisa ditanyai juga tak ada.
“Mumus, kalau Lik Parto masih ada kita bisa bertanya soal semua ini,” kata Bondan.
“Iya, Lik Parto menghilang seperti raib ditelan bumi,”
“Jangan-jangan dia sudah jadi tokoh yang lagi viral itu?” ujar Bondan.
“Siapa itu?”
“Itu tokoh yang bisa jadi segala sesuatu,”
“Ah, nggak ngerti aku,” kata Mustofa sambil garuk kepala.
“Mukidi, siapa tahu Lik Parto sudah jadi Mukidi,”
Mustofa tetap tidak paham siapa Mukidi itu. Tapi pura-pura mengiyakan, sambil membayangkan andai Mukidi ada di Sungai Karang Mumus. Bayangan sekenanya saja, toh, Karang Mumus sudah biasa ditangani dengan sekenanya saja. Jadi apa salahnya Mustofa membayangkan sesuka-sukanya, dalam bayangan Mustofa andai Mukidi di Sungai Karang Mumus mungkin imutnya dan lucunya akan mengalahkan Timpakul yang kini mulai jarang terlihat lagi di sepanjang tepian lumpur Sungai Karang Mumus.