KESAH.ID – Samarinda mendeklarasikan diri sebagai Kota Pusat Peradaban. Namun road map kea rah itu tak terlalu jelas, geliat Kota Samarinda yang paling nyata adalah semakin merajalelanya peradaban semen. Ekonomi kreatif bisa menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan peradaban baru di Kota Samarinda, setelah kota ini secara ekonomi dan demografi membesar karena bom kayu dan bom batubara.
Dua kali ikut pemilu walau tak berhasil lolos elektoral threshold Partai Solidaritas Indonesia tetap melahirkan catatan menarik.
Saat dipimpin oleh Grace Natalie, PSI berhasil membuat banyak jurnalis terjun ke politik.
Kemudian ketika diketuai oleh Giring Nidji, jauh hari sebelum pemilu 2024 Giring berkeliling mengkampanyekan dirinya sebagai calon presiden.
Menjelang pemilu, PSI kembali memberi kejutan dengan memilih Kaesang Pangarep sebagai ketua umumnya, mengantikan Giring. Peralihan yang mulus, tanpa ontran-ontran sebagaimana partai lainnya.
Sebelum dipilih menjadi Ketua Umum, bahkan sebelum menjadi anggota PSI Bro Kaesang telah digadang-gadang oleh PSI untuk menjadi calon walikota Depok.
Upaya membawa Kaesang ke Depok oleh PSI ini menarik, sebab Depok dengan segala pemberitaannya memang unik. Kotanya unik, warganya unik dan walikota-walikotanya juga tak kalah unik.
Orang mungkin lupa soal potensi Kota Depok dengan orang mudanya, para calon intelek muda yang studi disana. Universitas Indonesia mempunyai kampus di Depok.
Jika Jakarta punya anak-anak muda di Senoparty, anak-anak muda di Depok nongkrong di Margocity.
Melihat Depok dengan segala keunikannya, pantaslah jika PSI yang mencitrakan diri sebagai partai anak muda dengan sapaan bro and sis itu berandai-andai Depok dipimpin oleh Kaesang.
Dibanding kakaknya yang juga sama-sama masih muda, Kaesang lebih bergaya muda dan tak kalah kreatif dalam dunia usaha. Kota Depok yang dijuluki sebagai Kota Belimbing dengan anak mudanya cocok sebagai kota untuk pengembangan start up.
Dan Kaesang terbukti sukses melahirkan berbagai macam start up khususnya dalam dunia F&B seperti Sang Pisang, Madhang, Mangkokku, Yang Ayam, Ternakopi,Let’s Toast hingga Enigma IT Bootcamp.
Jadi sebagai warga Samarinda tak ada salahnya menjelang perhelatan pilkada serentak 2024 ini berandai-andai tentang Kaesang memimpin Kota Samarinda.
Tak harus PSI yang mencoba mencalonkannya setelah gagal di Depok namun justru berhasil mendudukkan Bro Kaesang sebagai ketumnya.
Melihat road map perjalanan politik bapak dan kakaknya, menjadi walikota adalah pondasi perjalanan politik Jokowi dan Gibran hingga fly to the moon.
Penting buat Kaesang untuk melirik Kota Samarinda karena Samarinda bertetangga dengan IKN Nusantara, mirip Depok bertetangga dengan DKI Jakarta.
Pemimpin Indonesia di masa depan mesti diuji lebih dahulu di tanah Borneo sebelum menduduki tahta di IKN Nusantara. Dan Samarinda adalah kunci, sebab dalam catatan sejarah demokrasi Samarinda adalah pioner.
Seperti yang ditulis oleh Chai Siswandi, kepeloporan Samarinda dalam demokrasi dimulai sejak jaman pra kemerdekaan. Di masa kerajaan Nusantara telah dicatat adanya model kepemimpinan republik di Kota Samarinda.
Dibandingkan Solo dan Depok, Samarinda nggak ada kurang-kurangnya.
BACA JUGA : SPG Kambing
Kurang lebih enam bulan sebelum hari pencoblosan, langit dan darat Samarinda mulai diwarnai perbincangan soal bursa calon walikota 2024 – 2029. Nama pertama yang hampir dipastikan maju adalah Walikota Incumbent. Kemudian disusul oleh nama Wakil Walikota Incumbent dan ada nama lain juga yang muncul, seorang legislator dari DPRD Provinsi Kaltim.
Melihat rekam jejaknya, mereka yang berada di permukaan bursa calon walikota Samarinda ini dalam terawangan saya tak akan membuat Samarinda jadi kotanya orang muda.
Padahal mulai sekitar tahun 2013, Kota Samarinda mulai menunjukkan kecenderungan memuda. Aktivitas di ruang publik, terutama di ruang ekonomi mulai diisi oleh sosok-sosok muda.
Bisnis pakaian, fashion atau wastra yang sebelumnya dikuasai oleh toko-toko tertentu, mulai mencair. Muncul clothing line yang diinisiasi oleh anak-anak muda, kini membuat kaos dengan desain sesukanya sudah jadi hal biasa di Samarinda.
Distro pernah merebak, mungkin terpengaruh dari Bandung. Dan setelah era cakar bokar di Pasar Galunggung, kini thrift shop menjamur di Kota Samarinda.
Merebak pula bisnis minyak wangi refill, postur pengusahanya juga muda-muda. Kalaupun sudah papa dan mama, kategorinya tetap papa dan mama muda.
Dunia IT dan Mobile Phone juga digeluti oleh anak-anak muda.
Dan yang sejak tahun 2015-an hingga sekarang tetap belum redup adalah F&B, makan minum lewat kemunculan kedai-kedai yang dibranding dengan kopi.
Warung, Kedai, kafe, Coffe Bar and Bistro, Coffee Shop, Coffee House dan apapun namanya membuat Samarinda hidup, Samarinda semarak dengan budaya-budaya ikutannya yang turut berkembang.
Nuansa muda Kota Samarinda sendiri tidak selalu diendorse oleh trend baru. Yang paling menarik justru revitalisasi hal yang lama, seperti yang terjadi pada warung sembako legendaris Warung Daeng.
Penetrasi minimarket jaringan baik nasional maupun lokal membuat Warung Daeng bangkit. Dulu Warung Daeng sempat merasa didesak oleh kehadiran minimarket, kini balik menyerang dengan munculnya Warung Daeng baru mengepung minimarket.
Warung Daeng terkini semakin bernuansa muda, bukan hanya tampilan yang semakin fresh lewat penataan barang ala-ala mart, tetapi juga pengelolanya yang juga muda-muda.
Di luar semua kecenderungan itu, sebagian besar pemilih di Kota Samarinda adalah anak-anak muda. Momentum pemilu presiden dan legislatif 2024 yang baru berlalu menimbulkan kekhawatiran tersendiri di mata saya.
Anak-anak muda yang bahkan baru pertama kali memilih, termasuk anak saya sudah dijerumuskan sebagai ‘Pemilih Busuk’. Pemilu atau pencoblosan nggak di-relate-kan dengan masa depan atau aspirasi mereka.
Pemilih pemula kita telah tercemar politik uang. Dan ini buruk untuk masa depan demokrasi.
Tapi ini masih bisa diobati dengan ‘mendatangkan’ Kaesang. Andai saja Kaesang masuk bursa calon Walikota Samarinda niscaya ada angin segar untuk anak-anak muda. Kaesang bakal relate dengan aspirasi anak muda baik untuk memandang masa depan atau pengembangan diri.
BACA JUGA : Jalur Independen
Dua malam lalu saya sempat hadir dan turut berbincang dalam silaturahmi dan refreshing Komite Ekonimi Kreatif Kaltim bersama Dinas Pariwisata Provinsi Kaltim.
Ada yang membuat miris dan teriris perihal Kota Samarinda. Dalam bincang-bincang itu hampir tak tersebutkan dinamika ekonomi kreatif di Kota Samarinda, termasuk perilaku kebijakan terkait dengannya.
Yang selalu jadi contoh adalah Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Paser. Ada apa dengan Samarinda, adakah kota ini terlalu sibuk membangun peradaban dengan semen?.
Saya walau sambil lalu sejak tahun 2002-an mulai mengamati geliat kreatifitas di Kota Samarinda meski dalam konteks cultural studies. Saya suka menelisik sub kultur bahkan altern kultur yang tumbuh di kota ini.
Soal musik non mainstreams dan lukis tubuh, waktu itu anak-anak yang mungkin masuk kategori anak gabut menginisiasi sebuah festival yang dinamai Samarinda Muyak. Didalamnya ada pertunjukan musik dan ekshibisi seni tattoo. Seingat saya festival itu berbayar dan pengunjungnya tak bisa dibilang sedikit dalam seharian.
Samarinda Muyak purna saat muncul Jenggala di komplek perumahan Alaya.
Tapi circle ini tak buyar, masih lahir inisiatif lain seperti FPI {Freedom Pray Instrument}, Pasar Setan, Records Store Day dan Gig Para Pekerja.
Dari circle ini lahir pula Syndicate Cinema. Ada pula circle lainnya yang kemudian melahirkan komunitas film indie Samarinda, Layar Mahakama dan lain-lain.
Ada perjuangan mandiri anak-anak muda Samarinda untuk mengembangkan sektor photographi, videographi hingga desain komunikasi visual. Yang terakhir ini misalnya memunculkan Samarinda Desain Hub.
Pekerja atau pelaku muda dalam dunia ini memang menderita, karya-karya atau portofolio mereka kurang dihargai. Tak sedikit yang belajar dalam bidang ini secara akademis justru kemudian menyeberang karena tak dapat jaminan penghidupan yang layak dari keahlian yang mereka pelajari.
Ekosistem kreatif di masa pemerintah mulai banyak menyuarakan soal ekonomi kreatif juga pernah diperjuangkan oleh sekelompok anak muda. Sekurangnya di Samarinda pernah tercatat inisiatif kreatif yang diendorse oleh Cultur Volk dan You Kaltim.
Ada banyak inisatif lain yang juga dikembangkan baik eventual atau programatik oleh kelompok-kelompok lainnya namun hingga hari ini belum cukup untuk ‘memoles’ wajah Kota Samarinda menjadi Kota Kreatif.
Jadi Bro Kaesang, datanglah ke Samarinda nanti setelah ikut Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI untuk pertama kalinya di IKN Nusantara. Lalu majukan diri jadi calon Walikota Samarinda. Yakinkan anak-anak muda Samarinda, kalau dikau pantas memimpin Samarinda melakukan lompatan peradaban baru setelah bom kayu, bom batubara ke bom kreatif dan inovatif. Kreatif yang menghasilkan cuan bukan menghabiskan anggaran.
Rasanya tak pantas mendengar keluhan seorang pelaku ekonomi kreatif yang malah mengaku dirinya menjadi korban. Entah korban apa, tapi mungkin saja korban perasaan karena buaian janji-janji program.
note : sumber gambar – KOMPAS