KESAH.ID – Ada banyak hal yang menimbulkan kekhawatiran. Sebagian besar karena prasangka dan ketidaktahuan. Kita semua pasti punya pengalaman tentang kekhawatiran baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain dan lingkungan sekitar yang ternyata tak terbukti. Khawatir sebagai bagian dari kewaspadaan tentu saja baik, namun sebaiknya tidak perlu terlalu berlebihan apalagi sampai membuat orang lain tidak nyaman bahkan sakit hati.

Sewaktu saya sunat, bapak dan ibu tidak membuat ‘undangan supitan’ untuk tetangga dan kerabat. Namun namanya hidup di desa tetap saja orang-orang tahu dan kemudian datang kondangan ke rumah.

Saya malu jadi pura-pura terbaring tidur dalam kamar tapi pintunya terbuka. Yang datang kebanyakan ibu-ibu dan sebelum pulang beberapa diantaranya menyelipkan amplop kecil di bawah bantal.

Berbekal uang itu saat luka hasil goresan bong supit sudah sembuh, saya pergi ke toko baju dan toko kaset. Yang saya beli celana jean, dulu lebih dikenal dengan sebutan levis dan kaset Ikang Fawzi.

Melihat apa yang beli ibu marah. Celana dan kaset disita olehnya. Keputusan membeli celana levis dan kaset album berjudul Preman oleh ibu dianggap salah. Celana jean dan kaset lagu rock oleh ibu dianggap sebagai pertanda saya ingin jadi berandalan.

Tentu saya tidak bisa protes walau hati kurang senang. Saya tak cukup punya argumen untuk melunturkan kekhawatiran ibu yang tidak beralasan itu.

Bicara soal kekhawatiran, berkali-kali saya mengalami kekhawatiran dari orang tua yang didasarkan atas asumsi belaka. Saat ingin belajar karate, bapak melarang karena saya dianggap ingin petetengan, siap-siap untuk berkelahi.

Pun ketika ingin punya gitar. Keinginan itu tidak dituruti karena nanti kalau punya gitar bakal tongkrongan di pinggir jalan sambil genjrang-genjreng.

Masa kecil saya dipenuhi banyak larangan, dari orang tua, dari tetangga, dari guru dan lain-lain. Rasanya hanya Simbah {kakek dan nenek} yang tidak terlalu suka melarang-larang. Makanya ibu tidak terlalu suka jika saat liburan saya memilih untuk menghabiskannya di rumah Simbah.

Di rumah Simbah Wetan {orang tua dari bapak} saya dibiarkan merokok, bahkan sering dibelikan. Sementara di rumah Simbah Kulon, saya dibebaskan bermain di sungai dan minum kopi. Waktu itu anak-anak sering dilarang minum kopi karena dianggap bisa bikin cepat tua. Anak manis adalah anak yang doyan minum susu. Saya tidak terlalu suka susu, tak tahan baunya.

Orang tua waktu itu memang cenderung keras dalam mendidik anak-anaknya, demikian juga guru-guru di sekolah.

Tidak semuanya. Maka rumah-rumah dimana orang tuanya agak bebas, tak terlalu gila pada urusan anaknya selalu menjadi tempat favorit untuk dolan. Berkumpul dan bermain bersama teman-teman.

Tapi saya tahu sebenarnya ada juga orang tua yang baik pada rekan sebaya anak-anaknya karena tak ingin anaknya keluyuran di luar rumah bersama teman-temannya. Jadi dibelikan berbagai mainan dan hal lainnya biar teman-temannya datang bermain dan dolanan ke rumahnya sehingga bisa diawasi.

Kekhawatiran terbesar dari orang tua adalah anak-anaknya salah bergaul dan jadi anak nakal, bocah berandalan. Cita-cita terbesar orang tua adalah menjadikan anaknya sebagai good boy dan nice girl.

Anak yang ideal adalah anak yang manut atau penurut, mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua. Orang Minahasa atau Manado menyebutnya sebagai anak yang dengar-dengaran.

Merasa sangat diawasi, terlalu dikhawatirkan akan jadi begitu begini, salah satu cita-cita terbesar saya adalah keluar dari rumah tapi bukan minggat.

Ketika masuk SMA saya gunakan kesempatan itu untuk minta ijin ngekost, kebetulan sekolah saya jauh, dua kali naik kendaraan umum. Tapi lagi-lagi tak diijinkan oleh bapak ibu saya.

Baru setamat SMA akhirnya saya sekolah jauh, jauh sekali karena menyeberangi lautan melewati banyak pulau.

Dan semenjak itu saya secara teknis tidak lagi tinggal bersama bapak dan ibu. Sesekali saya pulang, bukan untuk tinggal kembali di rumah, tetapi hanya singgah, menenggok bapak dan ibu. Saya kemudian masuk dalam kelompok kaum mudikers.

BACA JUGA : Kabar Palsu, Jurnalisme VS Pembuat Konten

Sepanjang perjalanan hidup, saya mencatat banyak kekhawatiran-kekhawatiran komunal. Kekhawatiran kaum tua terhadap kaum muda, juga kekhawatiran masyarakat umum atas perubahan atau trend-trend sesaat yang berkembang di masyarakat.

Soal kehidupan sosial, budaya dan politik memang banyak pakar. Ulasan-ulasannya kerap disampaikan ke publik lewat berbagai saluran dan kesempatan.

Pakar memang harus mengungkapkan pendapat dan menjadi hebat ketika pendapatnya didengarkan serta diamini oleh banyak orang.

Dulu mungkin juga sampai sekarang, para pakar moral, agama dan pendidikan tak terlalu suka pada komik serta film. Gemar membaca komik dan suka menonton film dianggap membuang-buang waktu untuk hal yang tidak mendidik. Baca komik dan nonton film dianggap hobi yang negatif.

Para pakar berlomba mencari alasan untuk membenarkan anggapan bahwa komik dan film bisa berdampak negatif untuk anak-anak.

Bisa jadi kekhawatiran yang berlebihan dari para pakar yang kemudian diamini oleh masyarakat ini menjadi salah satu penyebab rendahnya minat baca. Sebab semenjak anak-anak, generasi kita dipaksa untuk menyukai baca kitab suci dan buku pelajaran. Kita dipaksa membaca, bukan dibangkitkan minat bacanya melalui bacaan yang kita suka.

Soal film, para pakar umumnya mengkhawatirkan anak-anak akan meniru adegan dalam film. Dasarnya adalah kesukaan anak-anak untuk meniru dan kemampuan menilai resiko yang belum matang.

Menonton film superman, batman dan lain-lain dianggap berisiko karena nanti anak-anak akan mencoba terbang, meloncat dari ketinggian dengan bantuan sarung atau jarik.

Faktanya tanpa menonton film Superman sekalipun, banyak anak-anak mencoba terbang dari ketinggian. Yang bisa menginspirasi terbang serta lainnya bukan hanya tokoh superhero dalam film melainkan juga burung.

Sesungguhnya ketertarikan seorang anak pada setiap sosok entah itu nyata atau rekaan akan beda-beda. Ada anak yang akan meniru gaya rambut superman, ada pula yang menyukai celana dalamnya yang dipakai di luar, tetapi tak tertutup kemungkinan yang lain menyukai sifatnya yang suka menolong orang lemah atau melawan kejahatan.

Kita percaya soal aksi dan reaksi, hukum sebab akibat. Meski benar namun hal itu tak berlaku sama untuk setiap orang. Hanya saja kita kemudian suka mengeneralisasi dan generalisasi kemudian jadi patokan, norma umum.

Diperkuat dengan berbagai slogan, falsafah dan lainnya norma umum itu kemudian menguat menjadi semacam dogma yang diterima mentah-mentah. Apapun atau siapapun yang tidak berada didalamnya akan dianggap tidak normal, aneh, menyimpang  dan itu berarti negatif.

Dalam kaitan dengan teknologi atau alat bantu. Dulu anak-anak kecil dilarang memegang kalkulator terutama ketika belajar matematika. Memakai kalkulator dianggap akan menumpulkan kemampuan matematik.

Padahal kalau dipikir-pikir, kita yang belajar mati-matian matematika sampai banyak yang trauma karena gurunya galak itu, kini setiap hari jarang memakainya karena semua hitung-hitungkan sekarang sudah otomatis.

Matematika sering dipahami sebagai ketrampilan hitung-hitungan angka, padahal essensinya adalah logika. Trampil berhitung secara manual di jaman sekarang hampir tak ada gunanya, tidak ada lowongan pekerjaan hitung menghitung secara manual.

Yang sukses memanfaatkan kehebatan berhitung secara manual juga tak banyak. Dalam lautan usaha kuliner, mungkin hanya Rawon Kalkulator yang berhasil menjadikan kemampuan berhitung sebagai branding.

Teknologi yang merupakan alat bantu dalam sejarahnya memang kerap memunculkan kekhawatiran di awal-awal kemunculannya. Seperti misalnya teknologi permainan dalam bentuk games.

Ketika konsol games mulai ditemukan lagi-lagi banyak pakar khawatir dan berlomba-lomba untuk menemukan bahayanya bagi tumbuh kembang anak.

Rasanya jaman itu doyan main games setara dengan gemar berdosa.

Tentu saja biasa sesuatu yang baru akan membuat orang keranjingan. Tapi toh lama kelamaan akan jadi biasa dan hanya sebagian kecil yang kemudian benar-benar kecanduan. Dan hal itu normal untuk semua hal, bukan hanya mainan.

Dan siapa yang menyangka jika kini games, memainkannya justru menjadi sebuah pilihan profesi. Games kemudian masuk menjadi salah satu cabang olahraga yang disebut sebagai esport. Menjadi seorang player atau gamers peluang untuk mendapat cuan tidak selalu lewat kompetisi atau pertandingan, live streaming menjadi cara bersenang-senang namun menghasilkan uang.

BACA JUGA : Paradigma Cara Makan Terbaik 

Dunia memang diliputi oleh banyak kekhawatiran. Hal-hal baru, pengalaman baru memang selalu mengkhawatirkan apalagi jika kebaharuan itu muncul dengan cepat, silih berganti.

Perubahan bisa menguncang terutama jika perubahan tidak berhubungan dengan hal-hal yang sebelumnya, sama sekali berlainan.

Teknologi Informasi dan Komunikasi atau internet sebelumnya tak dibayangkan akan merubah banyak hal yang telah mapan. Online yang tadinya berselancar di internet kini memasuki segala macam sektor kehidupan.

Semua serba online mulai dari transportasi, belanja, wisata, kerja hingga belajar. Bahkan pengobatan bisa dilakukan secara online.

Ketika muncul aplikasi sosial media banyak yang beranggapan asyik bersosial media akan menganggu kemampuan bersosialisasi. Saking yakinnya pada anggapan itu tak sedikit yang kemudian mengarang-ngarang cerita terlalu asyik bersosial media akan menganggu kemampuan otak, terutama untuk anak-anak dan orang muda.

Benarkah demikian?. Entahlah karena tidak ada bukti yang meyakinkan tentang hal itu.

Yang pasti kita kebanyakan masih beranggapan bahwa berkomunikasi yang terbaik adalah tatap muka atau komunikasi langsung.

Ketika komunikasi di sosial media masih memakai teks, bisa jadi syarat komunikasi langsung belum terpenuhi. Namun sekarang komunikasi berbasis gadget, bisa memenuhi hampir semua aspek yang ditemui dalam komunikasi langsung. Komunikasi berbasis gadget mengakomodir teks, suara, gambar dan lain-lain secara langsung.

Dalam artian tertentu moda komunikasi seperti ini bahkan membuat komunikasi antar pihak makin efektif bahkan intensif sekalipun terpisah oleh jarak.

Dengan demikian media sosial tidak menganggu kemampuan komunikasi dan sosialisasi seseorang, dengan media sosial bahkan spektrum sosialisasinya bisa semakin luas.

Kalaupun ada yang patur dikhawatirkan adalah soal keamanan data. Semua yang berbasis digital selalu akan meninggalkan jejak dan para providernya akan menyimpan data-data kita, atau bahkan ada yang sengaja menambangnya.

Data itu tentu bisa dimanfaatkan oleh mereka entah dengan tujuan baik atau buruk. Pun juga bisa dicuri oleh pihak lain jika kemampuan para provider melindungi data pemakainya lemah.

Hanya saja tidak usah terlalu merasa khawatir berlebihan selama jejak digital kita tidak aneh-aneh.

Jadi sebelum mangkhawatirkan banyak hal khawatirlah pada jari sendiri agar tidak mudah memencet berbagai tombol aplikasi di gadget yang berpotensi untuk meruntuhkan martabat dan harga diri jika terbongkar atau dibongkar oleh orang lain.

note : sumber gambar – KOMPASIANA.COM