KESAH.ID – Suharto amat menyukai seragam untuk menyatukan. Bukan hanya baju melainkan juga makanan pokok. Program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian berhasil menjadikan beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia. Program ini kemudian dikritisi hingga muncul kampanye diversivity pangan. Namun tidak mudah membangkitkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sumber-sumber pangan pokok lokal nusantara.
Di pojok pertigaan dari Jalan Kusuma Bangsa ke arah Jembatan Baru ada baliho besar dengan gambar aneka jenis makanan pokok. Saya lupa persis apa tulisannya namun intinya mau mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok.
Mungkin baliho itu dipasang dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Yang pada tahun 2022 lalu mempunyai tema “Keragaman Pangan Sebagai Sumber Gizi Rakyat”.
Untuk masyarakat Indonesia tema keragaman pangan ini penting. Negeri dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika bukan hanya mempunyai keragaman suku atau etnis melainkan juga keragaman kebiasaan dalam konsumsi makanan pokok. Keragaman bahan makanan pokok bukan hanya cermin keragaman budaya melainkan juga merefleksikan kekayaan sumber daya alam Indonesia dalam bentuk keragaman tanaman atau tumbuhan pangan.
Namun dalam masa orde baru, Suharto lewat kebijakan ektensifikasi dan intensifikasi pertanian kemudian memfokuskan tanaman pangan pada padi. Beras yang kemudian secara politik dipromosikan sebagai bahan makanan pokok utama.
Program revolusi hijau yang dijalankan oleh Suharto bertujuan untuk meningkatkan swasembada pangan. Ketahanan pangan dalam versi pemerintahan orde baru adalah terpenuhinya cadangan beras untuk konsumsi masyarakat selama setahun ke depan.
Peningkatan produksi padi dilakukan dengan penamanan varietas unggul dan peningkatan jumlah tanam per tahunnya. Jenis padi unggul yang ditanam adalah IR, hasil panen per hektarnya bisa berkali lipat dari varietas tradisional yang biasa ditanam petani. Dan agar petani bisa menanam dua sampai 3 kali setahun, Presiden Suharto banyak membangun bendungan untuk pengairan {irigasi teknis} persawahanan.
Pada tahun 1984 produksi beras mencapai jumlah 25,8 ton, sukses ini membuat Indonesia tujuan swasembada beras tercapai. Keberhasilan ini membuat pemerintah Indonesia mendapat penghargaan dari FAO atau Organisasi Pangan Dunia pada tahun 1985.
Walau banyak gugatan terhadap konsep ketahanan pangan yang menyamakan dengan ketersediaan dan produksi beras per tahun, 36 tahun kemudian Menteri Pertanian pada masa pemerintahan Joko Widodo dengan bangga kembali mengatakan “Indonesia swa sembada beras”
Surplus beras ini terjadi di tahun 2021 dimana produksi beras nasional mencapai 54,42 juta ton Gabah Kering Giling. Jika dikonversi menjadi beras setara dengan 31.36 juta ton. Ada suplus sekitar 1,33 juta ton karena kebutuhan beras nasional pertahun diperkirakan hanya 30,03 juta ton.
Regim ketahanan pangan lewat swasembada beras dikritik karena melemahkan keragaman pangan. Menjadikan beras menjadi bahan pangan nomor satu membuat bahan pangan lain kemudian diabaikan. Masyarakat yang memakan nasi non beras bahkan distigma sebagai masyarakat yang tertinggal, masyarakat miskin.
Mendudukkan bahan pangan non beras sebagai sumber pangan yang lebih rendah membuat yang disebut sebagai pangan alternatif adalah tepung terigu atau gandum. Dari tahun ke tahun gandum yang murni diimport dari luar negeri terus meningkat.
Tahun 2022 lalu import gandum mencapai jumlah 11 juta ton per tahun.
Masyarakat Indonesia menjadi semakin terbiasa makan roti, pasta dan mie yang merupakan produk makanan berbahan tepung terigu.
Meski masih banyak yang beranggapan belum merasa makan kalau perut belum kemasukan nasi, pada faktanya generasi baru yang tidak terindoktrinasi regim ketahanan pangan ala Suharto mulai terbiasa tidak makan nasi lagi, bukan karena diet melainkan telah merasa makan setelah mengkonsumsi roti-rotian, pasta dan mie.
Tak heran jika kemudian perusahaan pangan yang paling kaya di Indonesia adalah Salim Group. Perusahaan yang didirikan oleh Liem Sie Liong ini lewat Indofood berhasil menjadi produsen mie instan terbesar bukan hanya di Indonesia melainkan di dunia.
BACA JUGA : Flexing 2.0 : Kemewahan Berkah Yang Jadi Musibah
Sebagai generasi manula dan sempat berkeliling di berbagai wilayah nusantara saya mempunyai cukup memori tentang praktek konsumsi pangan non beras yang beragam.
Sewaktu kecil saya sering kali sarapan nasi gadung. Gadung adalah umbi yang masuk dalam jenis uwi-uwian. Umbinya harus diolah secara khusus agak tidak beracun. Sebelum dimasak umbi gadung dikupas kulitnya, diiris-iris dan dicuci berulang kali pada air mengalir, direndam air garam dan gula lalu dijemur hingga kering agar racunnya hilang.
Setelah itu dikukus lalu ditumbuk halus menjadi semacam gethuk.
Selain gadung dan uwi ada umbi lain yang sejenis yakni gembili.
Tanaman pangan umbi-umbian yang tumbuh di Indonesia sebenarnya banyak. Mulai dari umbi lapis, umbi batang dan umbi akar.
Yang termasuk umbi lapis antara lain bawang merah, bawang putih, bunga bakung dan lain-lain. Bukan merupakan bahan makanan pokok melainkan dipakai untuk bahan pelengkap pangan, bumbu dapur dan tanaman hias.
Sedangkan bahan pangan pokok yang berasal dari tanaman umbi batang misalnya gembili, kentang, suweg, talas, ganyong, keladi, senthe dan lain-lain.
Beberapa waktu lalu terkenal tanaman porang yang bentuk dan tampakkannya mirip suweg. Namun porang terkenal bukan karena menjadi trend makanan pokok dalam negeri melainkan dibudidayakan untuk tepung yang diekpor ke luar negeri. Di Jepang produk turunan tepung porang yang terkenal adalah beras shirataki. Harganya mahal sekali.
Meski serupa dengan suweg, porang tidak bisa langsung dikonsumsi karena rasanya pahit.
Salah satu jenis umbian yang dulu sering saya makan dan sekarang sudah sangat jarang adalah ganyong. Bentuknya seperti lengkuas, jika direbus rasanya manis-manis berserat. Ganyong juga bisa diparut dan diambil patinya lalu dibuat jenang.
Umbian lain yang lazim dikonsumsi sebagai makanan pokok atau sayuran adalah umbi akar seperti ketela pohon, ubi jalar, uwi, wortel, garut/kerut dan lain-lain.
Yang paling terkenal tentu saja singkong atau ketela pohon. Selain direbus secara langsung atau digoreng, di Jawa jika panen berlimpah maka singkong akan dibuat jadi gaplek dengan cara dikupas lalu dijemur sampai kering.
Ada beberapa olahan makanan dari gaplek, namun yang paling lazim dibuat tiwul. Gaplek ditumbuk jadi tepung lalu dikukus.
Sego atau nasi tiwul dulu populer di jaman susah beras, pada masa penjajahan Jepang atau ketika paceklik. Di masa saya kecil, orang Gunung Kidul kerap kali jadi bahan ejekan karena kebiasaan memakan sego tiwul karena tanah pertanian mereka yang gersang.
Ketika tinggal di asrama waktu kuliah di Sulawesi Utara, teman-teman dari Maluku Tenggara khususnya Pulau Key memperkenalkan Mbal/Embal/Enbal. Makanan ini terbuat dari kasbi, atau singkong yang beracun.
Singkong dikupas, dicuci berulang kali lalu diparut. Hasil parutannya kemudian dipress untuk mengeluarkan airnya. Setelah itu parutan halus yang telah berkurang banyak kandungan airnya dibiarkan atau diangin-anginkan semalaman agar terfermentasi.
Tepungnya kemudian diolah menjadi embal lempeng/bunga, embal kacang, embal manis dan lain-lain. Embal ini awet sehingga cocok untuk menjadi bekal perjalanan atau mengembara. Embal lembeng bentuknya padat dan keras sehingga untuk memakannya mesti dicelup dalam air atau kuah.
Rasanya hambar dan agak asam. Namun jika dicelup dalam teh manis atau disiram kuah ikan, rasanya juga akan ikut nyaman.
BACA JUGA : Negeri Ter – Mi CHAT
Masih banyak ragam atau jenis bahan makanan pokok selain umbi-umbian. Masyarakat nusantara juga mengenal makanan pokok dari jenis biji-bijan dan kacang-kacangan. Seperti jagung, kacang merah, kacang hijau, kacang kedelai, sorgum, jelai dan lain-lain.
Ketika tinggal di Minahasa, saya masih menemukan sejumlah petani yang lebih suka makan nasi milu {jagung} untuk sarapan pagi. Konon rasa kenyangnya lebih lama bertahan di perut.
Lalu ketika tinggal di Manado, saya juga suka makan milu{jagung} siram yang dijual oleh orang Gorontalo. Bentuknya seperti sup yang ditaburi dengan parutan kepala, udang ebi dan kadang disertai daun pepaya diiris tipis-tipis.
Namun yang paling unik di Sulawesi Utara adalah kebiasaan sarapan pagi dengan makan pisang rebus. Boleh dibilang pisang goroho adalah pisang kebangsaan masyarakat Sulawesi Utara. Pisang goroho rebus enak dimakan di pagi hari dengan ditemani sambal roa. Pisang ini juga populer sebagai teman minum teh atau kopi, digoreng lalu colo di dabu-dabu.
Di Kalimantan Timur, masyarakat Kutai {Kutai Kartanegara dan Kutai Barat} mengenal jelai, tanaman yang masuk dalam keluarga padi-padian. Saya pernah mencicipi bubur jelai yang cocok untuk sarapan pagi di Linggang Melapeh, Kutai Barat.
Di luar semua jenis makanan pokok itu, sejarah mencatat bahwa makanan pokok yang dahulu paling umum dikonsumsi oleh masyarakat Nusantara adalah sagu.
Jejak konsumsi sagu masih kuat terasa di Sulawesi, Maluku dan Papua. Kapurung, sinonggi, sagu lempeng dan papeda masih cukup mudah ditemui serta disantap dengan rasa cinta dan bangga.
Sedangkan di Jawa umumnya sudah jadi memori. Sebutan sego untuk nasi atau sangu untuk bekal ditenggarai berasal dari kata sagu. Ikatan dengan sagu juga terpelihara dalam sagon, nama panggana atau kue yang cukup terkenal di Jawa.
Sejarah juga mencatat sejak kedatangan masyarakat lain dari luar entah untuk berdagang atau menjajah, masyarakat Nusantara kemudian menerima pengaruh besar dalam pola atau kebiasaan makannya.
Secara perlahan makanan pokok lokal atau tradisional tergusur, digantikan oleh makanan pokok yang diperkenalkan oleh pedagang mancanegara dan penjajah. Padi misalnya diperkenalkan entah oleh pedagang dari India atau Tiongkok. Sedangkan ketela, jagung dan lainnya kemungkinan besar dibawa oleh penjelajah {atau penjajah} Portugis, dibawa dari benua Amerika.
Telo, kasbi, kaspe, kausbi, kaope sebagai sebutan lokal untuk ketela pohon, jika dilihat jejak asal usul katanya kemungkinan besar merupakan ucapan berdasarkan lidah lokal atas caslilla sebutan untuk singkong dalam bahasa Spanyol atau cassava dalam bahasa Portugis.
Di Sulawesi Utara dan Gorontalo, jagung dikenal dengan sebutan milu, bentuk ucapan lidah lokal atas kata milho, sebutan jagung di Portugis.
Kesadaran untuk mewujudkan ketahanan pangan berbasis pada keragaman pangan lokal patut diapresiasi. Namun ada banyak tantangan kesejarahan dan industrial untuk implementasinya.
Kita telah memperlakukan bahan pangan lokal sebagai pangan arkaik, pangan kuno. Dan lebih membuka tangan untuk jenis-jenis bahan pangan pokok yang datang dari pengaruh masyarakat luar, masyarakat yang kita anggap lebih maju dan modern.
Yang disebut sebagai pangan non beras adalah terigu.
Alih-alih doyan makan nasi tiwul, sego jagung, sagu lempeng, embal, papeda atau pisang goroho kita lebih memilih untuk menyukai berger, sandwich, pizza, taco, ramen, spagetthi, lasagna dan lain-lain.
Tanpa campur tangan industri pangan, makanan pokok lokal akan sulit populer karena pangan merupakan salah satu sektor industri besar. Jika gagal menjadi komoditas, maka eksistensinya juga akan senin kemis alias kembang kempis.
Kampanye keragaman pangan lokal tanpa dorongan atau insentif bagi industri untuk mengeluti hanya akan menghasilkan foto-foto atau video dengan wajah penuh kebanggaan di media sosial. Keanekaragaman pangan lokal hanya menjadi pencitraan, event yang dirayakan setahun sekali waktu hari pangan.
Jawaban dari ‘Jangan hanya merasa kenyang karena makan nasi.” Adalah dengan melahap Burger Bangor, Ramen Noko, Pizza Dominos atau menyeduh mie instan Nongshim Soon Veggie Ramyun yang diimport dari Korea Selatan.
note : sumber gambar – POPMAMA.COM