KESAH.IDBersamaan dengan gencarnya pemerintah menutup lokalisasi atau prostitusi konvensional, ekosistem internet kemudian menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya prostitusi online. Pelaku prostitusi kemudian makin tersembunyi sekaligus makin meluas dan makin sulit diawasi. Spektrum cybersex juga lebih lebar dari prostitusi konvensional sehingga cara-cara lama untuk melakukan pembatasan tidak lagi cukup untuk mengatasinya.

Dolly, lokasi prostitusi di Surabaya itu sebelum ditutup sering dianggap sebagai kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara, bombastis sekali.

Namun anggapan seperti itu mesti dikoreksi karena yang disebut Dolly sebenarnya hanya sebuah gang yang kemudian terhubung ke lokasi prostitusi lain yang disebut Gang Besar yang semuanya berada di daerah Dukuh Kupang, Surabaya.

Jika penghuni Gang Dolly dan Gang Besar digabungkan jumlahnya memang banyak, ribuan sehingga layak disebut sebagai salah satu lokasi prostitusi terbesar di Indonesia, atau bahkan di Asia Tenggara.

Dolly memang lebih dikenal karena dikanan kiri jalan yang tak terlalu lebar itu berdiri rumah-rumah prostitusi yang diset mirip akuarium. Pekerja seks duduk berderet di sofa pada ruangan dengan kaca lebar sehingga bisa dilihat dari jalanan.

Dengan karakter seperti itu, Dolly kemudian menjadi lokasi prostitusi yang paling ekplisit di Indonesia hingga menjadi salah satu ‘destinasi magnet’ Kota Surabaya.

Meski menghasilkan putaran uang besar setiap harinya, namun Tri Rismaharini, Walikota Surabaya saat itu bersikukuh untuk menutup Dolly. Dan pada 19 Juni 2014, lokasi prostitusi legendaris itu akhirnya ditutup.

Trend menutup lokalisasi dimulai oleh Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta yang menutup lokalisasi Kramat Tunggak pada tahun 1999. Keberanian ini kemudian diikuti oleh Kepala Daerah lainnya baik di berbagai wilayah Indonesia, bahkan kebijakan ini kemudian diadopsi oleh Menteri Sosial hingga kemudian tak ada lagi lokalisasi ‘resmi’ yang tersisa saat ini kecuali Pasar Kembang di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Era lokalisasi berakhir namun prostitusi tidak. Secara fisik pemandangan pekerja seks duduk-duduk di etalase showroom dan pinggiran jalan sudah berakhir atau jarang ditemui. Bukan hilang melainkan format marketingnya telah berubah.

Seperti jual beli pada umumnya yang kemudian memasuki format e-commerce atau belanja online, prostitusi kemudian juga dijalankan secara virtual. Esek-esek virtual atau prostitusi online bahkan kemudian lebih sulit dikendalikan, semua tersembunyi di balik gawai.

Kabarnya tak lama setelah Dolly ditutup muncul profesi baru di kawasan itu, namanya Angelo {baca anjelo} kependekan dari antar jemput lonte. Tugasnya melakukan antar jemput pekerja seks yang standby di kamar kos ke hotel, motel atau penginapan yang disepakati dengan pelanggannya.

Selain beroperasi secara mandiri banyak pula pekerja seks yang kemudian dikelola oleh ‘agensi’.

Seiring dengan berkembangnya platform perpesanan instan dan sosial media, cara marketing bisnis esek-esek juga ikut berkembang. Jenis layanannya juga semakin beragam.

Twitter menjadi salah satu platform media sosial yang dekat dengan esek-esek. Secara ekplisit ada banyak akun {entah asli entah palsu} yang menawarkan layanan seks di twitter. Lewat postingan di akun twitternya, pekerja seks menulis jenis layanan, rule dan lokasi dimana mereka bisa di-eksekusi.

Namun sebagian besar lainnya tidak berani mengekpos dirinya terang-terangan di media sosial, terlalu berbahaya. Maka platform perpesanan instant yang dijadikan pilihan untuk memasarkan diri, berhubungan dengan pelanggannya.

BACA JUGA : Narkobucks

Diantara puluhan aplikasi perpesanan instant, Mi Chat menjadi yang paling populer digunakan untuk prostitusi online. Aplikasi ini kemudian identik dengan Open BO yang biasa diartikan sebagai open booking online, open booking order atau open booking out.

Aplikasi yang diluncurkan di Singapura pada tahun 2018 ini masuk dalam peringkat 20 besar di Playstore Indonesia, jauh diatas popularitasnya di negeri kelahirannya. Di Singapura, Mi Chat hanya menempati posisi ke 84.

Berbeda dengan aplikasi perpesanan pada umumnya, Mi Chat dilengkapi dengan fitur People Nearby. Dengan fitur ini seorang pengguna bisa menemukan pengguna lainnya yang ada di sekitar mereka. Dengan fitur ini seorang pengguna bisa mempromosikan diri kepada pengguna lain dan kemudian dipertemukan.

Mi Chat juga mempunyai fitur Momen dimana pengguna bisa berbagi status, foto atau video keseharian mereka yang bisa ditujukan untuk promosi diri.

Pengguna Mi Chat juga bisa mengirim pesan random di fitur Pohon Pesan. Pesan itu bisa diambil, dibaca dan ditanggapi oleh pengguna lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Similarweb pada akhir tahun 2022, Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna Mi Chat terbesar di dunia. 83,73 persen pengguna Mi Chat adalah orang Indonesia, disusul oleh Perancis sebanyak 5,96 persen, Argentina sebanyak 4,25 persen, Malaysia sebesar 2,52 persen dan Amerika Serikat sebesar 2,19 persen.

Data dari Playstore menunjukkan aplikasi ini telah diunduh kurang lebih 50 juta kali. 41 juta pengunduh diindikasikan dari Indonesia.

Data lain dari Similarweb menyatakan mayoritas pengguna Mi Chat adalah kelompok usia 18 – 24 tahun atau biasa disebut sebagai generasi Z. Disusul oleh kelompok usia 25 – 34 tahun dan 35  – 44 tahun. Pengguna diatas usia 45 tahun tidak sebanyak pengguna usia dibawahnya.

Berdasarkan data tersebut terlihat pemakai Mi Chat adalah kelompok yang aktif secara seksual, baik sebagai penjaja maupun pengguna.

Dari sisi penjaja, data ini mengkhawatirkan karena prostitusi online menyuburkan praktek pekerja seks usia dini atau prostitusi anak.

Fakta ini terkonfirmasi lewat kasus yang terjadi dalam perhelatan G 20 di Denpasar Bali. Seorang anggota Polri yang turut menjadi anggota pengamanan Konperensi Tingkat Tinggi G20 tewas setelah terlibat cekcok dengan perempuan yang dikenal lewat aplikasi Mi Chat.

Korban sepakat untuk melakukan kencan dan telah mentranfer sejumlah uang. Namun kemudian membatalkan dan meminta uang kembali. Niat itu tidak diterima baik oleh perempuan yang ingin dikencani sehingga terjadi keributan.

Korban kemudian dikeroyok dan ditikam oleh dua pelaku yang berusia 16 dan 17 tahun.

Ada banyak contoh lain yang menunjukkan prostitusi online banyak melibatkan anak-anak muda, anak dibawah umur baik sebagai pelaku prostitusi maupun ‘agensi’-nya.

Ada banyak review negatif terkait dengan penggunaan aplikasi Mi Chat dan muncul desakan dari publik untuk menutup atau mem-banned layanan itu di Indonesia.

Hanya saja kita tahu pihak penyelenggara layanan tidak mudah untuk disalahkan. Aplikasi perpesanan instant tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk menyuburkan praktek prostitusi online. Tidak ada platform yang secara resmi dimaksudkan sebagai market place atau e-commerce untuk mewadahi transaksi layanan seksual.

Dengan demikian menutup akses pengguna pada aplikasi Mi Chat di Indonesia juga tidak secara otomatis akan menghilangkan praktek e-prostitution, platform atau aplikasi lainnya yang masih tersedia bisa dengan mudah digunakannya.

BACA JUGA : Era Matinya Kecerdasan Bawaan

Prostitusi online pada dasarnya merupakan proses komunikasi transaksi seksual yang termediasi lewat saluran komunikasi berbasis internet. Artinya berbagai macam platform media sosial dan perpesanan instant maupun aplikasi live streaming berpotensi untuk disalahgunakan.

Bahwa pada masa tertentu atau ada kecenderungan untuk memakai platform atau atau aplikasi tertentu sulit untuk diprediksi. Di Indonesia yang populer saat ini Mi Chat namun di negara lainnya akan berbeda.

Sebelum Mi Chat populer, prostitusi online dulu pernah berjaya lewat website, forum-forum di internet dan juga di twitter. Sampai hari ini twitter bahkan masih menjadi tempat favorit untuk mengakses pornografi. Selain banyak postingan berisi video-video pendek, di twitter banyak akun juga terang-terangan melakukan jual beli video porno dan forum atau group untuk mengakses konten pornografi.

Dibandingkan dengan prostitusi konvensional, mengawasi praktek prostitusi online menjadi lebih sulit. Utamanya dalam kaitan dengan penyebaran penyakit menular seksual. Pelaku atau pemain prostitusi online tidak terekspos sebagaimana prostitusi konvensional. Karena tersembunyi, pendataan dan pengawasannya menjadi lebih sulit.

Dimensi prostitusi online juga lebih luas dari prostitusi konvensional. Selain soal model pemasaran atau transaksinya, dalam prostitusi online juga berkembang layanan seks virtual. Antara penyedia jasa dan penggunanya tidak terlibat kontak fisik.

Layanan seks virtual ini dikenal dengan istilah VCS atau Video Call Sex. Layanan ini bisa dilakukan lewat aplikasi live streaming. Namun bisa juga dilakukan lewat Whatsapp.

Karena dilakukan secara live atau real time, antara penyedia jasa dan pengguna bisa berkomunikasi perihal aksi-aksi seksualnya.

Layanan seks virtual juga bisa berbentuk pertunjukan, penyedia jasa melakukan aksi seksual dan pengguna menyaksikan. Aksi seksualnya bisa tunggal namun bisa juga berpasangan.

Pada aplikasi live straming, pengguna atau penonton akan memberi bayaran dengan gift yang bisa diuangkan oleh pelaku seks virtual.

Karena berbasis internet, seks online atau cybersex penanganannya lebih diserahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi. Dengan kewenangannya Kominfo memang bisa memblokir situs-situs atau layanan penyelenggara sistem elektronik dan juga memerintahkan kepada PSE untuk men-take down konten-konten dengan muatan seks komersial atau pornografi.

Namun model seperti itu bisa dengan mudah diatasi oleh para pelaku. Ibarat kata mati satu tumbuh seribu.

Pun demikian jika persoalan ini diserahkan kepada kepolisian, bisa dipastikan polisi akan kehabisan tenaga karena ruang cybersex sangat luas.

Memadamkan api memang penting namun jauh lebih penting melakukan pencegahan agar tidak ada kebakaran. Literasi digital terutama kepada anak-anak muda, generasi penerus bangsa untuk menggunakan internet dengan cara yang positif menjadi lebih penting dan utama.

Memikirkan dan melakukan kampanye internet positif yang jauh lebih menarik dari konten-konten berbau seks adalah tantangan yang harus segera dijawab. Selama ini gerakan literasi internet lebih kuat di slogan dan bersifat eventual. Pelaku literasi internet tidak segigih dan sekreatif para penjaja seks yang terus gencar mengobarkan dan mengaktivasi nafsu para mahkluk seksual.