KESAH.ID – Kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario pada David membuka tabir betapa pamer kemewahan dan kedudukan orang tua bisa berakhir menjadi musibah bukan hanya bagi keluarga melainkan juga pihak-pihak lainnya. Kekayaan dan kedudukan orang tuanya yang tidak disyukuri membuat apa yang seharusnya jadi berkah berubah menjadi musibah.
Mental health issues, banyak yang kesel saat Oza Rangkuti sedikit-sedikit mengatakan hal itu dalam berbagai obrolannya seputar fenomena Anak Muda Jaksel. Kesannya memang jadi gurauan dan receh belaka.
Tapi dalam artian tertentu Oza benar, masalah kesehatan mental itu perlu disadari benar karena hal itu menentukan bagaimana perilaku kita dalam hidup sehari-hari. Walau demikian soal sehat tidaknya mental kita jangan sekali-kali memberi peringkat berdasarkan hasil self diagnose.
Issue kesehatan mental sendiri telah menjadi perhatian dunia. Di Amerika Serikat telah menjadi masalah besar. Negara yang konon paling civilized itu, angka kejahatannya tinggi sekali. Sebagian kejadiannya berhubungan dengan kondisi mental pelaku yang tidak sehat.
Dokter Ryu Hasan, seorang ahli neurosains mengatakan 23 persen masyarakat Amerika Serikat adalah psikopat.
Karena pengaruh film, psikopat digambarkan sebagai orang yang menikmati saat berbuat jahat, kecanduan melihat penderitaan orang lain, padahal tidak demikian. Psikopat adalah kondisi bawaan dimana seseorang tidak punya empati dalam dirinya. Dia bukan menikmati penderitaan orang lain tetapi tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bukan hanya penderitaan, kesedihan, kesakitan melainkan juga kegembiraan atau kesenangan.
Indonesia tidak setinggi itu, namun seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Inggris telah dihukum seumur hidup pada tahun 2020 lalu. Reynhard Sinaga, disebut-sebut oleh penyelidik di Inggris sebagai psikopat. Reynhard didakwa telah melakukan perkosaan sebanyak 159 kasus dan penyerangan seksual terhadap laki-laki sebanyak 48 korban.
Karena kejahatannya, Reynhard Sinaga dijuluki “Pemerkosa berantai terbesar di dunia.”
Studi yang dilakukan oleh The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey {I-NAMHS} dan Universitas Gajah Mada tahun 2022 menunjukkan 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosis mengalami gangguan jiwa dalam 12 bulan terakhir.
Penelitian itu juga menemukan 15,5 remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam 12 bulan terakhir.
Artinya satu dari 3 remaja Indonesia ternyata mengalami gangguan kesehatan jiwa selama 12 bulan terakhir dan 1 dari 20 remaja Indonesia mengalami gangguan jiwa dalam 12 bulan terakhir.
Pedoman yang dipakai untuk melakukan diagnostik masalah mental ini adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Sebuah pedoman yang umum dipakai secara internasional.
Gangguan jiwa yang paling umum diderita adalah gangguan kecemasan, depresi, gangguan perilaku, sulit fokus, bingung, gangguan stres paska trauma dan hiperaktif.
Pandemi Covid 19 disebut membawa dampak cukup signifikan dalam kesehatan mental remaja. Anak-anak remaja disebut menjadi semakin sulit berkonsentrasi, mudah cemas dan lebih kesepian dibanding sebelum pandemi.
Di luar hasil survey itu dalam kehidupan sehari-hari teramat mudah kita menyaksikan orang bertindak agresif karena tersinggung atau marah yang sulit ditahan sehingga melakukan tindak kekerasan yang membahayakan orang lainnya.
Hampir setiap hari ada video atau foto yang kemudian viral di media sosial karena kontrol impuls semacam ini.
Perilaku ‘amuk’ itu seakan menegaskan masyarakat kita semenjak jaman lampau memang dikenal suka marah-marah tanpa alasan. Atau pelampiasan rasa marahnya kelewat lebay dibandingkan dengan penyebabnya. Hal-hal sepele saja bisa membuat seseorang melakukan agresifitas yang membuat orang lainnya babak belur, setengah mati atau bahkan kehilangan nyawa secara mengenaskan.
BACA JUGA : Negeri Ter-MiCHAT
Dalam kajian post kolonial, masyarakat Indonesia kerap digambarkan sebagai masyarakat yang mewarisi rasa minder dan rendah diri akibat dijajah selama ratusan tahun.
Gejala umum yang diperlihatkan adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan bangsa sendiri, melecehkan keberhasilan bangsa dan mengagung-agungkan apa saja yang datang dari negeri seberang terutama Eropa dan Amerika atau wilayah Asia yang berhasil seperti Jepang, Korea dan kini China.
Orang tua di Jawa misalnya gemar sekali ‘mengutuk’ anaknya dengan perkataan ‘ora njawani’ dan memuji-muji Bule Amerika atau Londo Inggris yang blekak-blekuk belajar bahasa Jawa serta suka nonton wayang, kuda lumping dan ndolalak.
Meski banyak yang menganggap mental warisan masyarakat terjajah ini sebagai masalah bahkan dianggap sebagai ‘penyakit nasional’ dalam kenyataan pemerintah sendiri kerap berlaku serupa dalam soal investasi. Investor dari luar negeri selalu dianggap lebih, diberi karpet merah.
Penanaman modal yang dilakukan oleh mereka selalu dianggap punya tujuan mulia, ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa lewat transfer sumberdaya dan teknologi. Padahal yang namanya investasi tujuan jelas cari keuntungan diri.
Investor terutama yang ternama bahkan dikejar-kejar dan dirayu-rayu, didatangi untuk dibujuk-bujuk agar berinvestasi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Elon Musk.
Lalu apa hubungannya antara warisan mental bangsa terjajah dengan masalah kesehatan mental?.
Mungkin belum ada yang benar-benar menelitinya. Namun bisa jadi kebiasaan masyarakat Indonesia suka pamer kuasa dan kekayaan merupakan kanal untuk meningkatkan rasa percaya diri, mendongkrak harga diri.
Bisa jadi kebiasaan atau kesukaan pamer menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa atau gagal percaya diri, merasa dirinya berarti dari dirinya sendiri, sehingga perlu ‘backing’ kekuasaan, kedudukan dan kekayaan, yang terkadang bukan punyanya sendiri melainkan punya orang tua, sanak saudara atau bahkan circle-nya.
Pada dasarnya setiap orang memang suka pamer, namun sistem nilai dan moralitas tradisional masyarakat Indonesia pada umumnya melarang hal itu. Hanya saja benteng pertahanan nilai dan moralitas tradisional itu jebol karena berkembangnya platform media sosial.
Aplikasi yang bertujuan untuk meningkatkan silaturahmi, bertukar kabar dan pengetahuan itu kemudian menjadi medan subur untuk lahan pamer diri.
Flexing kemudian menjadi satu dari beberapa toxic words yang populer pada periode empat atau lima tahun belakangan ini.
Istilah ini akrab bersamaan dengan sebutan sultan, inces dan crazy rich di berbagai tayangan media sosial. banyak orang digelari atau mengelari dirinya sendiri dengan sebutan itu untuk menunjukkan sukses hidup. Sukses hidup itu simpel saja yakni kaya raya, uangnya tak berseri hingga jajannya saja Lamborghini.
Di media sosial orang berlomba menunjukkan kemewahannya walau sebagian besar yang pamer kemewahan itu sesungguhnya tidak kaya.
Lalu untuk apa orang pamer?.
Tentu saja untuk meningkatkan harga diri, sehingga bisa masuk dalam kelas sosial yang lebih tinggi. Istilahnya panjat sosial, dengan apa yang dikenakan, dikonsumsi atau dinikmati seseorang kemudian akan masuk kelas sosial tertentu, tak peduli kalau itu hanya tipuan.
Bermewah-mewah walau sebenarnya tak kaya dengan sangat bagus ditunjukkan lewat film semi dokumenter yang populer di Netflix berjudul Tinder Swindler dan Inventing Ana.
Seperti halnya Ana Sorokin, dari Indonesia ada juga sosialita palsu yang mengaku keturunan bangsawan dan orang kaya lalu melakukan penipuan di Hongkong. Mengaku bernama Azura Luna Mangunharjo, perempuan asal Kediri Jawa Timur berlaku bak sosialita yang terlahir dari keluarga terhormat dan kaya raya.
Dengan modal mengaku-ngaku, Azura melakukan penipuan di Perancis, Amerika Serikat, Italia dan Hongkong.
Di negeri kita sendiri, pamer-pamer kemewahan yang berujung penipuan membuat Indra Kent dan Doni Salamanan dijatuhi vonis hukuman penjara karena tindak pidana pencucian uang.
BACA JUGA : Narkobucks
Rheinald Khasali pada tanggal 6 Maret lalu mengunggah video berjudul Flexing 2.0 : Gelombang Disrupsi Keluarga Pejabat di channel youtubenya.
Profesor yang dikenal sebagai ahli manajemen perubahan ini menyorot gelombang flexing tahap berikutnya berdasarkan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh Mario, anak seorang pejabat di Dirjen Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Kasus ini viral karena hasil kepo netizen atas Mario berhasil menemukan kegemaran Mario memamerkan harta kekayaan orang tuanya di akun media sosialnya.
Gaya Mario yang bermewah-mewah ini kemudian menjadi petaka karena kekayaan orang tuanya kemudian disorot.
Berlandas undang-undang keterbukaan informasi publik tidak sulit bagi netizen untuk mengetahui berapa pendapatan atau take home pay dari para pejabat. Membandingkan antara pendapatan yang diperoleh serta harta kekayaannya membuat masyarakat bertanya-tanya darimana kekayaan orang tua Mario hingga dirinya bisa bermewah-mewah seperti itu. Tak mungkin kekayaan itu diperoleh dari gaji atau pendapatannya dalam kedudukannya saat ini.
Dan gara-gara kelakuan anaknya, sang bapak yang adalah pejabat itu kemudian berurusan dengan para pemeriksa baik di lingkungan Kementerian Keuangan maupun KPK.
Gemar memamerkan harta kemudian juga membuat seorang pejabat di lingkungan Bea Cukai terjungkal, dicopot dari jabatannya dan juga diperiksa asal usul kekayaannya.
Rheinald Khasali menyebut gejala pamer ini sebagai flexing 2.0 karena dilakukan oleh orang-orang yang memang kaya. Namun kemudian membuat kekayaannya diragukan asal-usulnya.
Dalam paparannya Rheinald menyebut para pelaku felxing 2.0 ini lupa pada nasehat “Belajarlah sampai ke negeri China.”
Menurutnya tahun lalu di China ada banyak kasus, pejabat dan aparat penegak hukum masuk bui atau dicopot jabatannya gara-gara perilaku flexing entah oleh anaknya, istri, keluarga dan selingkuhannya.
Pamer kemewahan yang berlebihan membuat pelakunya disorot hingga kemudian ditelusuri lalu terbongkarlah bagaimana kekayaan itu diperoleh, sebagian memang terbukti dikumpulkan dengan cara yang tidak benar lewat korupsi dan penyelewengan wewenang atau kekuasaan.
Rabu malam saya nongkrong karena sudah dibelikan segelas kopi lewat pesan antar. Menjelang tengah malam datang seorang anak muda yang baru pulang dari visum dan membuat laporan di kantor polisi.
Dengan tegas dia mengatakan bahwa tidak ada kata damai untuk lawannya, laporannya ke polisi tidak akan dicabut agar proses hukum terus berjalan.
Rupanya dia dipukuli oleh seseorang di dekat tempat saya dan teman-teman biasa nongkrong. Ceritanya saya tak tahu persis. Yang pasti pemukulan itu dipicu peristiwa ‘hampir senggolan’ kendaraan mereka berdua di jalanan.
Karena gugup saat menginjak rem dan menarik tuas kopling tanpa sengaja tangannya menggeber gas. Oleh orang lainnya dianggap menantang hingga kemudian terjadi pemukulan.
Temannya, seorang gadis berusaha melerai dengan berteriak namun ikut diterjang hingga terjengkang. Seorang ibu yang mendengar ribut-ribut di pinggir jalan lalu keluar dan bertanya kenapa hendak ikut disikat pula.
Pemuda yang kelewat pemarahan itu saat melakukan pemukulan berteriak kalau dirinya anak polisi. Dia juga berkata tak takut kalau hendak dipolisikan.
Sambil menyesap kopi yang rasanya agak watery saya tercenung. Sebegitu mudahkah kita begitu marah hingga melayangkan pukulan ke orang lain yang lebih lemah.
Serendah itukah diri kita sehingga harus memakai kekuasaan, kedudukan, kemapanan yang bukan punya kita sendiri untuk menunjukkan bahwa diri kita punya arti, punya harga diri yang harus dihormati.
Bersama dengan teman-teman yang mulai mengantuk, saya setuju kalau kesehatan mental sebagian besar warga bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
note : sumber gambar – BCA.CO.ID